Kira-kira si Bram mampu nggak ya membuktikan pada Arjuna? Apalagi cuma dikasih waktu satu kali tiga jam ...
Selepas kepergian Arjuna, wajah memelas Bram berubah menjadi sorot kebencian. Ia kembali membatin. "Jangan harap Kau merasa menang karena telah mengancamku, Arjuna." "Selagi saya masih hidup, jangan harap kemenangan bisa Kau genggam," gumamnya lagi. Kedua tangan Bram tampak mengepal kuat, hingga uratnya tampak mencolok.Bram menatap ke sekeliling. Beberapa karyawan yang satu lantai dengannya berusaha bersikap biasa-biasa saja, meski mereka tahu apa yang terjadi.Ketika ingin membuka pintu ruangan dia menatap Shintia dengan tajam, ada luapan emosi dari sorot matanya. Shintia mau tidak mau harus menyapa atasannya ini dikarenakan meja kerjanya persis dekat pintu masuk ruang kerja Bram. "Siang, Pak.""Temui saya di dalam!" titah Bram.Tak lama Bram masuk ruangan, Shintia pun menyusul kemudian, tak lupa juga dia membawa beberapa berkas yang harus ditandatangani oleh atasannya itu."Kamu bisa nggak becus sedikit kerjanya, kenapa nggak kasih tahu saya? Apa kamu sengaja bikin malu saya depan
Setelah melepas Bapak Santoso di pelataran lobby, Bram langsung merogoh ponselnya di dalam saku celana, hendak menelpon seseorang. Mood dia yang membaik karena deal-nya kontrak kerjasama, membuat otak Bram yang tadinya panas, mereda beberapa saat. Hingga dia kepikiran untuk menghubungi salah satu teman sekolahnya dulu."Jadi bagaimana, Bro? Bisa diselidiki?" tanya Bram ke inti pembicaraan setelah berbasa-basi awalnya."Bisa lah, Bro. Aman lah soal itu.""Siap, aku terima beres ya, Bro. Masalah uang jangan diragukan, nanti setelah beres uangnya ditransfer langsung. Untuk DP aku kirim 30% dulu ya."Sip … sip …."Pesan berisikan rincian nomor rekening pun dikirim Bobi tak lama sambungan telepon berakhir. Tanpa menunda, Bram langsung mengirim uang sebanyak tiga ratus ribu rupiah pada Bobi."Bram, kok cuma segini? Dikit amat DP-nya," protes Bobi tak terima. Bobi langsung menelepon Bram tak lama mendapat transferan uang. Dia sangat kecewa, karena nominal yang dikirim Bram terbilang kecil."
"Mas … nggak, Mas. Aku nggak mau kita pisah, Mas." Laura bangkit dari sofa lalu langsung memeluk kaki Bram dengan erat.Bram berusaha menyentak kakinya, tapi …, "Lepasin, Laura. Cukup kamu buat aku malu. Caramu murahan, nggak mikir ke depannya gimana. Jadi … lebih baik kita berpisah!" tegas Bram sekali lagi.Tampaknya dia tak bisa memberi toleransi pada Laura yang hampir saja menghancurkan karir yang susah payah diraih Bram selama ini."Mas … aku tahu, aku salah. Maaf, Mas. Maaf …."Laura melepaskan kedua tangannya, kemudian bersimpuh di hadapan Bram. Ada bulir bening menyertai. Luruh tanpa jeda di pipinya yang mulus itu. Wati hanya terperangah sembari melirik pada anak semata wayangnya itu."Aku ngelakuin itu karena aku cemburu, Mas. Aku cemburu kamu berubah sejak resmi bercerai dari Mbak Ratna."Tangis Laura semakin menjadi-jadi."Kenapa kamu diam? Benar 'kan dugaanku.""Coba kamu jadi aku, Mas! Coba kamu merasakan apa yang aku rasakan! Pasti kamu tahu sakitnya seperti apa!""Kamu it
"Bapak Arjuna," sentak Ratna. Ada sekejap getaran yang terasa di dadanya."Ada apa dia nelpon pagi begini?" gumam Ratna disertai tatapan kosong.Tak ingin membiarkan terlalu lama, Ratna pun segera mengangkatnya. "Halo, Pak," sapa Ratna setelah telepon tersambung.Seberang sana, Arjuna tampak salah tingkah, ada juga perasaan tak enak ikut campur terlalu jauh. Namun, satu hari dia mencoba mendiamkan kegalauan sanubari, tak bisa dia tahan. Dan, pagi ini dia putuskan untuk menghubungi Ratna."Hai, Bu Ratna. Gimana keadaannya? Baik-baik saja 'kan?" tanya Arjuna basa-basi. Berusaha menciptakan suasana hangat biar kekakuan melebur perlahan.Ratna diam sesaat, sedikit mengerutkan keningnya, merasa heran dengan apa yang ditanyakan Arjuna. "Saya baik, Pak. Lebih baik malah. Kenapa, ya?" Ratna bertanya balik, ada rasa penasaran juga dengan sikap Arjuna padanya.Apalagi, kedatangan Arjuna sebagai saksi dalam persidangan. Selain itu, ada beberapa kali Ratna menangkap pernyataan yang keluar dari mul
Terdengar derap langkah yang semakin lama semakin dekat, dan semakin tahu siapa pemilik langkah tersebut."Aku yang punya masalah sama kamu, Mbak!" Pandangan Ratna seketika beralih pada perempuan mungil. Dia tampak tersenyum kecut menatap Ratna.Perempuan ini memberi amplop coklat pada pelayan berambut keriting tadi. Lalu, dia menggerakkan kepalanya, mengisyaratkan agar si pelayan beranjak dari sana."Kamu?!" Ratna benar-benar murka, setelah melihat perempuan laknat itu berdiri di hadapannya.Pelayan tadi pun mengikuti perintah Laura."Kenapa, Mbak? Sakit?" ejek Laura dengan senyum penuh dendam. "Itu belum seberapa!" tambahnya lagi.Perebut suami orang memang sering lupa jika dirinya menyakiti perempuan lain. Namun, akan selalu ingat jika kebahagiaannya terancam diambil oleh perempuan yang pernah dia sakiti. Kini, Laura menggigil dalam kerisauannya.***Bukan tanpa alasan perempuan bertubuh mungil ini datang menemui Ratna. Hal ini dikarenakan, semalam saat terjaga dari mimpi buruknya.
Para geng ibu-ibu komplek yang terbilang paling bersuara ini sudah berkumpul di rumah Bu Soimah satu jam sebelum Ratna sampai. Sebenarnya beberapa kali dia mendesak Bu Soimah agar menghubungi Ratna supaya lekas pulang ke kost. Namun, Bu Soimah punya pandangan lain, dia berpendapat Ratna akan lebih gampang mengelak kalau ditelpon karena disuruh pulang. Video fitnah yang sempat berseliweran di aplikasi toktok memang membuat khawatir."Akhirnya kamu menampakkan batang hidung juga di kost saya Ratna," ucap Bu Soimah dengan tatapan tajam."Ada apa, ya, Bu? Kalau memang ada kebutuhan mendesak kenapa tidak menghubungi aku saja? Bukannya ibu punya nomor hapeku," tutur Ratna terus berjalan mendekat pada Bu Soimah.Bukannya Bu Soimah yang menyahut, malahan Bu Nani yang sudah lebih menggebu. "Halah … gayamu, Rat. Memangnya kalau kamu ditelpon bakalan langsung menuju sini. Saya rasa sih cuma omong kosong aja. Nggak udah pura-pura bodoh kamu, Rat," cecar Bu Nani emosi."Udahlah, Bu Soimah. Tak usah
Bu Susi dan beberapa ibu lainnya tak terima sikap Ratna seolah meremehkan Bu Soimah. Belum lagi umur Ratna juga jauh dari Bu Soimah. Attitude Ratna dinilai buruk."Heh, Ratna. Kamu harusnya ngaca. Udah jadi simpanan om-om. Malah belagu lagi. Apa kamu nggak sadar, Bu Soimah itu usianya terpaut jauh dari kamu. Jadi, sopan dikit kalau ngomong sama yang lebih tua," sergah Bu Susi. Umurnya juga sepantaran Bu Soimah."Iya, Mbak Ratna. Lagian ya, kami di sini mengantisipasi segala sesuatu yang berdampak buruk. Mbak Ratna 'kan pendatang di sini. Tahu tempat ajalah menurutku, Mbak. Hmm ... kalau tahu tempat terlalu harus ya bahasaku. Tahu dirilah lebih tepatnya. 'Kan aku jadinya kasar gegara Mbak pancing.""Satu lagi video yang beredar juga nggak mungkin tanpa sebab," tambah Erika, umurnya kurang lebih sepantaran Ratna. Dia juga anggota arisan komplek. Salah satu anggota paling muda."Aku diam mereka malah makin menjadi menghinaku, tapi kalau aku bicara mereka pasti ngelunjak," batin Ratna. "Me
Seorang lelaki gagah, turun dari mobil sport keluaran terbaru itu. Ketampanannya tak perlu diragukan lagi. Penampilannya tak kalah juga dibanding oppa-oppa Korea. Bau tubuhnya, meski berjarak lima meter masih tercium harum dan tak menyengat sama sekali."Bapak Arjuna! Ada apa dia ke sini?" tanya Ratna dalam hati. Dirinya juga kadang bingung, mengapa sosok lelaki ini selalu datang di saat yang tepat."Tuh salah satu simpanannya," bisik Bu Soimah pada ibu-ibu yang berdiri di belakangnya yang sejurus kemudian menganggukkan kepala pertanda mengerti. Dirinya berbisik, tapi masih terdengar jelas di telinga Ratna."Ini mah bukan om-om, Bu Soimah," celetuk Bu Yanti.Bu Soimah agak tersinggung dengan komentar Bu Yanti."Kan saya bilang salah satu, Bu. Mungkin ini mangsa baru. Lagian tampan begitu mau ya sama janda."Ratna menaruh koper antara halaman dan teras kamarnya, dia pun menghampiri Arjuna yang berjalan masuk."Siang, Bu Ratna," sapa Arjuna ramah. Senyuman kaku memang selalu terbit kala