Bram tampak memarkir kendaraan roda empat asal-asalan. Mendengar deru mobil Bram memasuki pekarangan, Laura langsung bergegas membukakan pintu utama.Selayaknya istri menyambut kepulangan suaminya pulang bekerja.Namun, naasnya, Bram malah mendorong tubuh mungil Laura hampir saja terjatuh kehilangan keseimbangan."Mas, kamu kenapa? Masih marah? Kenapa kasar gini?"Wati yang di kamar pun ikut keluar, tapi hanya berdiri di depan kamarnya, sambil menyuguhkan senyuman penuh arti."Aku mau kita pisah! Aku talak kamu! Kemasin barang-barang dan segera hengkang dari sini!""Mas, aku mohon, aku akan memperbaiki semuanya. Aku akan jadi istri seperti yang kamu harapkan. Kamu mau aku jadi Mbak Ratna. Oke aku akan lakukan, Mas. Asal kamu nggak talak aku, Mas.""Akhirnya Bram menalak si Jalang ini juga. Bagus!" ucap Wati dalam batinnya."Kekayaan dan hidup mewah sudah di depan mata," tambahnya kemudian."Ratna … tunggu mama ya. Kita harus serumah lagi.""Aku cinta sama kamu. Aku mau rumah tangga ki
Bram menghela napas berat. "Entahlah, Ma. Agak sulit. Ratna dingin padaku, tapi sama Arjuna dia bisa welcome dan humble," sahut Bram sembari mengubah posisi duduknya.Wati tampak agak terkejut. "Tadi aku ke rumah Ratna, Devina minta bawakan makanan kesukaannya. Aku bawakan ayam goreng. Mama tahu, Devina nggak suka. Emang selama di sini dia nggak pernah makan, Ma? Padahal dulu bukannya mama pernah telepon aku buat bawakan ayam goreng merk terkenal itu pulang?"Wati seketika salah tingkah. Bola matanya melirik sembarangan arah."Mati aku. Jangan sampai Bram tahu kalau dulu itu bukan untuk Devina. Tapi …." ucap Wati dalam hati."Ya buat anak kamu lah, Bram. Buat siapa lagi. Mungkin dia sengaja berbohong sama kamu, Bram.""Nggak mungkin Devina berbohong, Ma. Dia masih polos kalau untuk berbohong seperti itu," tangkas Bram tak percaya."Bisa aja, Bram. Bisa jadi Ratna yang ngajarin. Mungkin karena kecewa sama kamu.""Entahlah, Ma. Aku juga nggak tahu pasti. Parahnya, Devina malah lebih sen
Bram memacu kecepatan mobilnya menuju rumah Ratna. Dia tidak ingin telat walau sedetik."Pagi, Rat." Bram menyapa ketika baru saja keluar dari mobilnya. Berpapasan saat Ratna berdiri di balik pagar, menunggu taksi online yang akan menjemputnya."Papa.""Kamu masuk mobil ya! Biar papa anterin pagi ini ke sekolah," ucap Bram.Devina nurut lalu masuk ke dalam mobil."Nggak usah, Mas. Devina sama aku aja. Lagian taksinya udah jalan ke sini.""Yaudah kamu ikut aku aja, bareng-bareng kita antar Devinanya ke sekolah.""Nggak, biar aku aja antar sendiri. Lagian kamu tumben nganterin Devina. Seumur-umur dia sekolah, bisa dihitung pake jari kamu nganterinnya.Ratna tampak hendak membuka pintu bagian Devina duduk. Tapi, tangannya ditahan Bram."Rat, please. Beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Ini demi Devina. Aku sadar, aku salah, dan sangat bodoh."Ayuk, Pa. Kita berangkat, nanti Nana telat!" ucap Devina yang sekejap membuka kaca mobil."Ma, boleh ya. Sekali ini aja Nana diantar sama Papa
"Mbak Diana, makasih yah udah ngasih saya tumpangan.""Nggak masalah, Mbak. Lelaki kalau menyesal ya begitu, suka lupa diri dan nggak pandang bulu. Aku sempat mikir jangan sampai kalau balikan lagi.""Nggak kok. Oh iya, Mbak. Saya turun di sana aja, ya!" pinta Ratna seraya menunjuk posisi dimana dia ingin diturunkan."Lho, kok nggak sampai rumah aja, Mbak? Saya nggak papa kok, bisa nganterin."Padahal tadi Ratna memang ingin diantar sampai rumahnya. Namun, setelah dia pikir-pikir lagi, Ratna memilih untuk mengurungkannya."Saya ada urusan ke supermarket, Mbak. Baru ingat barusan ada yang kudu dibeli." Ratna beralasan."Oh oke. Di sini 'kan turunnya?" Bu Diana memastikan seraya menurunkan kecepatan kemudinya."Makasih banyak atas tumpangan dan pertolongannya, Mbak.""Sama-sama, Mbak."Mobil Diana melaju pelan meninggalkan Ratna yang langsung merogoh ponsel dari tas selempang yang dia pakai untuk memesan taksi online."Halo, ya, Mbak Diana. Ada apa?" tanya Ratna saat telepon tersambung.
Bram dan Joddy terdiam saat Arjuna berhenti di hadapan mereka yang tak merasa bersalah."Kenapa kalian masih di sini? Apa harus diliat klien dulu baru masuk?" tanya Arjuna dengan suara tegas."Maaf, Pak," sahut Joddy yang seketika langsung berdiri dan masuk ke ruangan meeting. Disusul Bram kemudian, setelah dia menatap Arjuna tanpa kedipan."Lihat saja apa yang akan kulakukan setelah ini." Bram berdiri seraya menatap tajam pada Arjuna."Masalah pribadi jangan kamu bawa-bawa ke kantor!" ucap Arjuna saat Bram lewat di depannya.Bram bungkam, tak ada respon dari mulut tak bermoralnya itu.***Meeting usai setelah dua jam berlalu. Bosan dan tak ada semangatnya begitu yang dirasakan Bram. Apalagi selama dua jam dia harus menatap lelaki yang dibencinya itu. Padahal, jika menoleh ke belakang, Arjuna adalah salah satu orang yang paling diajak sharing oleh Bram dalam membahas perkembangan perusahaan. Namun, semuanya berubah tiga ratus enam puluh derajat, semenjak waktu itu."Oh iya, Bram. Kenap
Setelah makan siang Bram mencoba menghubungi Ratna lewat panggilan telepon. "Apa ini sudah waktunya ya?" gumam Ratna menatap layar ponselnya saat nama Bram terpampang."Nanti saja, perjuangannya masih belum patut," tambahnya kemudian."Usahamu masih kurang, Mas!" tambah Ratna lagi.Keberuntungan belum berpihak pada Bram karena Ratna memilih untuk tidak mengangkat telepon yang masuk tersebut. Tidak menyerah begitu saja, Bram pun mengirim pesan pada mantan istrinya itu. [Rat, kok nggak kamu angkat teleponnya?][Aku cuma mau bilang, nggak bisa jemput Devina][Aku lupa kalau ada jadwal meeting. Jadi bentrok, nggak papa kan kamu jemput Devina sendirian?[Oh iya, nanti kalau udah kerjaan sudah selesai baru aku ke rumah ya.][Soalnya ada yang mau aku sampaikan ke kamu.]Ratna tidak langsung membuka pesan yang dikirim mantan suaminya itu. Namun, dia tahu apa saja isi chatnya."Baguslah, daripada dia bikin malu lagi di sekolah Devina," ucap Ratna sambil tersenyum lega.Ratna tiba-tiba kepiki
Malam hari di kediaman Ratna, tampak Bram dan Wati duduk di ruang tamu. Tak ada Devina di sana karena Ratna meminta anak semata wayangnya itu untuk masuk ke kamar setelah Wati meminta izin ingin ngomong serius dengan Ratna.***Pesan Bram yang tak kunjung dibaca Ratna hingga sore hari. Memutuskan dirinya untuk meminta pertolongan pada Wati. Bram beranggapan, semua akan sama seperti kunjungan sebelumnya jika dia datang ke rumah Ratna sendirian. Apalagi jika ada orang dia benci itu, ikut berkunjung juga."Ma, abis Magrib aku jemput ya! Mama udah siap nanti."Wati tersentak kaget saat baru saja menerima panggilan masuk dari Bram."Siap-siap kemana, Bram? Kamu tuh ya, bikin mama jantungan.""Aku mau ajak mama ke rumahnya Ratna. Aku yakin kalau lewat mama pasti semua akan berjalan sesuai rencana kita.""Oh, gitu. Lain kali kasih kode dulu kek dari siang atau apa gitu, Bram. Jadi mama bisa mikir skenarionya biar makin matang. Nih kamu malah ngajakin mendadak.""Ya gimana lagi, Ma. Namanya ju
Ratna mengangguk seolah paham. Ada gurat senyum tak lepas dia suguhkan."Tapi bukannya mama pernah bilang aku nggak pernah becus ngurusin rumah?" Nada bicara Ratna penuh penekanan di setiap kata yang terucap.Wati yang tadinya begitu lega, bahkan di dalam hatinya sudah begitu yakin kalau Ratna bakalan nurut, akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Dia bagaikan ketimpuk bola yang pernah dia lempar sendiri. Salah tingkah dan wajahnya pucat pasi."Wa-waktu itu, Ma-mama ….""Mama memang pernah salah juga sama kamu, Rat. Mungkin namanya orang tua ya. Tapi aku yakin, mama nggak akan begitu lagi," potong Bram saat melihat mamanya kehilangan kata-kata. "Ya 'kan, Ma?" tambah Bram, tambah lelaki itu mengedipkan kedua matanya saat Wati menatap Bram."I-iya, Rat. Mama khilaf. Maafin mama ya?" pinta Wati dengan memasang wajah penuh belas kasihan."Gimana, Rat? Kami sudah menjelaskan panjang lebar dan juga sudah meminta maaf sama kamu, apa kamu belum percaya juga kalau aku serius sama kamu? Kasih