Aku, Attala, menelan ludah dengan susah payah saat mendengar ucapan Rania tentang kehadiran Anita yang juga berpengaruh buruk bagi hubungan pernikahan kami.Pikiran buruk mulai menghantui benakku, jika itu memang terjadi, mengingat Anita memang seperti sedang menginginkan hubunganku dengan Rania berakhir. "Apakah benar Mas, jika Mbak Anita ingin menghancurkan hubungan kita?" Rania mengulang pertanyaannya kembali.Aku yang tak ingin semua itu terjadi, harus mulai mengantisipasinya lebih dulu, aku yakinkan Rania jika Anita juga perlu diwaspadai sebagai orang yang menginginkan hubungan pernikahan kami hancur."Iya, termasuk dia yang ingin hubungan kita berakhir, Sayang," jawabku tegas, mencoba menenangkan hatiku sekaligus menguatkan diri Rania.Rania terkejut mendengar apa yang aku katakan, dia tampaknya belum pernah terpikirkan bahwa Anita akan sampai melakukan itu. "Apa? Jadi, mbak Anita juga berkeinginan untuk menghancurkan rumah tangga kita?" tanya Rania dengan wajah yang semakin c
Satu Minggu Kemudian.Aku, Rania. Saat ini entah mengapa aku merasakan kepalaku sedikit pusing dan perutku mulai merasakan mual-mual.Huwek HuwekHuwekAku mengeluarkan isi yang ada di dalam perut ku.Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa mual sejak mencium aroma masakan Bu Ima tadi pagi. "Apakah aku kelelahan atau ada sesuatu yang salah dengan perutku?" pikirku bingung, sementara membatalkan niat untuk menyantap hidangan di meja. Sedangkan Mas Attala yang sudah rapi, menghampiriku sesaat setelah melihatku keluar dari kamar mandi belakang dengan wajah pucat. "Rania, kamu kenapa? Wajahmu terlihat sangat pucat, apa kamu sakit?" tanya Mas Attala mulai cemas dan mengusap wajahku yang diberondong oleh anak rambut yang menutupi wajahku.Aku menatap wajah cemas Mas Attala dan mencoba menjawab dengan jujur, "Aku tidak tahu, Mas. Tapi tadi pagi saat mencium aroma masakan Bu Ima, aku langsung merasa mual, mungkin aku masuk angin saja." Mas Attala terlihat bingung, seolah-olah mencari jawaban
Mendengar apa yang dikatakan oleh dokter saat ini, tentu membuatku bahagia, aku ingin memberikan sebuah kejutan untuk suamiku, Mas Attala, jika saat ini aku sedang hamil dan mengandung anaknya. Aku tidak akan pernah membayangkan bagaimana bahagianya dia akan mendengar semua ini."Aku akan ke kantornya sekarang, aku akan memberikan sebuah kejutan untuk Mas Attala di sana," gumamku dalam hati .Setelah menerima resep vitamin dari dokter, aku segera bergegas meninggalkan klinik tersebut.Dalam perjalanan, aku memutuskan untuk singgah ke sebuah mini market, hendak membeli cemilan dan minuman yang akan kubawa ke kantor Mas Attala. Aku tidak bisa memungkiri rasa cemas yang muncul, berharap kejutan yang aku berikan kepada Mas Atas Attala nantinya, dapat membangkitkan semangatnya yang tengah surut dan juga membuat dirinya tidak khawatir jika aku ternyata bisa hamil dan bisa membuktikan bahwa saat ini aku bisa memberikan keturunan untuk dirinya.Saat aku melangkah masuk ke mini market itu,
Aku terkejut mendengar perkataan Kalea yang penuh penyesalan, terasa seolah hatinya sedang terluka dan menyesali segala yang pernah ia lakukan padaku.Dalam hati, aku merasa kesal sekaligus penasaran, apa sebenarnya yang membuatnya berubah menjadi seperti ini? "Kau masih berpikir jika aku sangat senang melihatmu seperti ini? Justru aku iba dan simpati kepadamu, Kalea," ujarku dengan perasaan yang campur aduk antara marah dan simpati. Aku ingin menunjukkan bahwa aku tidak sekejam yang mungkin ia pikirkan."Benarkah? Aku tidak yakin hal itu, kau pasti setidaknya masih memiliki perasaan sakit hati kepadaku, merebut suamimu dan menjadikanmu pelayan di rumahku. Aku bahkan meminta Mas Raka untuk meminta ganti rugi atas uang yang kau bangun dari peluh mu saat itu. Aku tahu, aku adalah wanita yang paling jahat, apa yang aku lakukan kepadamu, langsung diganjar tunai dengan perlakuan Mas Raka dan istrinya kepadaku saat ini, suamiku direbut oleh menantu pilihan mertuaku dan mereka kini menjadik
Mas Attala tampak terkejut saat aku mengatakan kecurigaanku kepadanya. "Rania, tenangkan dirimu, jangan biarkan emosi menguasai pikiranmu. Aku dan Anita hanya membahas masalah pekerjaan, kami tidak melakukan apa-apa yang tidak semestinya," ungkapnya dengan tegas."Benarkah? Tetapi sikapnya tampak jauh dari profesional, seolah-olah dia sedang merayumu, Mas, mana ada dia bersikap profesional, jika pakaiannya saja seperti itu, seolah memancing hawa nafsu lelaki," kataku, menatap wajah Anita dengan penuh curiga.Aku tahu bahwa Mas Attala bisa merasakan kegundahan hatiku, dan dia akhirnya mencoba untuk memberikan penjelasan kepadaku."Rania, aku mohon, jangan berpikiran buruk tentang diriku. Aku tidak tertarik pada Anita, meskipun dia berusaha untuk menarik perhatianku, hingga saat ini aku pun tidak tertarik dengan dirinya," ujar Mas Attala, berusaha menenangkan perasaanku. Aku mulai merasa agak lega, tapi tetap sulit untuk mengusir rasa cemburu ini sepenuhnya.Dengan perlahan, aku menari
Aku melihat reaksi Mas Attala, terpana mendengar kabar kehamilan yang baru saja ku sampaikan kepadanya. "Apa? Kamu hamil?" tanyanya dengan tatapan tidak percaya. Aku mengangguk mantap, menyodorkan bukti tespack kepadanya sebagai bukti nyata. "Iya Mas, aku hamil anakmu," ucapku dengan penuh kebahagiaan. Melihat bukti tespack itu, senyuman bahagia segera terukir di wajah Mas Attala. Dia langsung memelukku erat, seperti tak mampu menahan perasaan bahagianya. "Alhamdulillah, Ra. Akhirnya kita mendapatkan amanah dengan diberikan calon buah hati. Mas sangat bersyukur dan bahagia. Jadi, tadi kau merasa tidak enak badan dan mual-mual karena tanda-tanda kehamilan?" tanya Mas Raka, masih dengan ekspresi takjub di wajahnya. "Mungkin iya, Mas. Bi Ima bilang gejala yang aku rasakan seperti tanda-tanda hamil, lalu dia menyarankanku memeriksanya ke klinik. Di sana, dokter menyuruhku tes kehamilan dengan tespack. Alhamdulillah, benar-benar tak menyangka kita diberikan kepercayaan oleh Allah unt
Aku terkejut melihat Mas Raka yang tampak sangat marah saat dia menyaksikan diriku dicium oleh Mas Arif."Mas Raka, ini bukan seperti yang kamu pikirkan," kataku sambil panik mendorong tubuh Mas Arif menjauh dariku.Dalam hati, aku merasa campur aduk. Aku begitu ingin menjelaskan bahwa ini adalah perangkap yang dibuat oleh Mas Arif, tetapi kata-kata itu terasa terlalu sulit untuk diungkapkan saat ini.Tak tahu malu, Mas Arif malah tampak santai saat menyaksikan kekacauan yang ia buat, ia tampak tak pedulikan tatapan kemarahan Mas Raka saat itu."Apa yang ada di benak orang ini? Kenapa dia begitu santai dan seolah tak hiraukan apa yang sedang terjadi," gumamku kesal dalam hati.Sementara itu, wajah Mas Raka semakin memerah marah saat ia menatap Mas Arif yang asyik mengusap bibir basahnya dengan ibu jarinya."Bagaimana kau berani menyentuh istriku, sopir yang tak tau diuntung dan tidak tahu tata krama dengan majikannya!" geram Mas Raka, matanya melotot penuh amarah.Aku merasa terjebak
Aku terkejut saat mendengar apa yang baru saja diucapkan Mas Raka. Kulihat tatapan wajahnya yang murka, pasti Andin sudah berhasil menghasut suamiku. "Apa maksudmu, Mas? Bercerai? Tidak, aku tidak mau bercerai dengan dirimu," teriakku dengan penuh penegasan, menolak keinginan Mas Raka untuk menceraikan diriku.Kemudian, aku mulai merenung sejenak dan bertanya-tanya apa yang mungkin menyebabkan suamiku sampai berpikiran seperti itu. Kenapa dia begitu mudah percaya dengan omongan Andin? Apakah aku pernah membuatnya kecewa sehingga dia merasa perlu untuk berpisah denganku? Aku tidak habis pikir, apa yang membuat suamiku sampai sesakitan ini? Sementara itu, Mas Raka balas menegurku dengan marah, "Kenapa? Bukankah kau bisa bersama dengan lelaki ini setelah kita bercerai nanti?" ungkapnya dengan nada kesal dan marah kepadaku. "Cukup, Mas! Kau jangan menghardik diriku!" seruku sambil berusaha menenangkan diri. "Kau kira aku suka dengan sopir itu? Kau kira aku sudi bersama dengan dia? Tid