.
.
.
Ceplak!!!
“Arkk!” Suara cambukan terdengar begitu keras mengenai punggungnya hingga Jayden disana mulai merintih kesakitan.
Ceplak!!!
“Arkk!” Disela-sela rintihannya ia kemudian memandang ke pintu didepannya dan berkata dengan lembut. “Mawar-” Sayangnya, sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, cambuk itu telah menyambarnya kembali sehingga ia kembali merintih.
Ceplak!!!
“Arrrk” Menahan rasa sakitnya, pria muda itu kemudain melanjutkan perkataannya, “Ayo kita pulang.”
Ceplak!!!
“Arkkkk!!!” Sekali lagi, cambuk itu mengenai tubuhnya tetapi sepertinya rasa sakit itu sama sekali tidak menghentikannya untuk terus memandang ke arah dimana isterinya saat ini berada.
Pemandangan itu tentu saja membuat seluruh orang di kampung itu merasa iba. Bahkan beberapa wanita disana sampai menangis karena melihat ketulusan dari pria muda yang ingin mengambil hati isterinya kembali itu. Rasanya, para
. . . “Jay… Kumohon jangan mati Jay!” Isaknya di punggung suaminya itu. Dengan pilu, ia terus memukuli punggung Jayden berharap bahwa pria itu tidak mati begitu saja sebelum menjelaskan semuanya. “Jay, bagaimana ini? Kau sudah menculikku... hiks.. kau sudah mengambil hatiku… dan sekarang kau meninggalkanku. Hiks…” Tidak mendapat jawaban dari tubuh itu, Mawar kemudian memeluk tubuh suaminya itu dengan sangat erat dan berbisik di telinganya. “Aku mencintaimu Jay… Jay!!!!!!! Kau dengar aku atau tidak?!!!!!!!!” Sekuat tenaga Mawar berteriak dalam isakannya yang membuat seluruh orang disana menitikkan air mata mereka karena begitu terharu. Wanita itu, sepertinya juga sangat mencintai suaminya. Lalu mengapa mereka berdua bisa berakhir seperti itu?! Batin mereka di dalam hati masing-masing sebelum akhirnya sebuah suara mengagetkan mereka semua. “Ma-war.” Suara itu terdengar begitu lirih dan hampir-hampir tidak terdengar
. . . Brak! Setelah memasuki rumah panggung disana, dengan satu tangannya, Jayden kemudian menutup pintu dan jendela dengan sangat rapat. Bahkan,tadi sebelum menutup jendela, pria itu terlihat menyambar robot J dan melemparnya begitu saja ke luar rumah hingga robot itu mengeluarkan suara kesakitan. Setelah semua tertutup, seketika Jayden menurunkan tubuh yang digendongnya itu dan menghimpitnya didepan dinding kayu rumah itu. “J-ja-jay? Ke-ke-kenapa? A-ada apa denganmu?” Dengan terbata-bata Mawar yang saat ini tengah disudutkan di dinding itu kemudian bertanya kepada pria yang saat ini menatap tajam ke arah dirinya. Bagai se-ekor burung elang, pria itu terus menatapnya sehingga membuat tubuh Mawar bergetar seketika. “Jay. Ada ap- Emmm,,,” Sebelum menyelesaikan pertanyaannya, seketika bibir wanita itu telah kembali ditangkup oleh bibir milik Jayden yang tanpa aba-aba langsung menyambarnya. Merasakan ciuman itu, Mawa
. . . Matahari telah terbit begitu tinggi di perkampungan Pulau Henai. Semua orang telah berangkat bekerja baik di kebun anggur, menangkap ikan maupun mencari kayu bakar di hutan disekitar sana. Sehingga suasana sepi sangat terasa di perkampungan itu, menyisakan dua insan yang masih tertidur setelah malam panjang mereka. Berbalutkan selimut yang tipis, pasangan suami isteri itu saling berpelukan dengan tubuh mereka yang masih belum mengenakan apapun. Waktu telah berlalu dengan cepat hingga akhirnya salah satu dari mereka terbangun karena sorot matahari pada celah kecil dinding kayu itu yang menyilaukan. Mengerjapkan matanya, wanita itu dapat merasakan rasa sakit yang seketika menjalar disekujur tubuhnya hingga ia akhirnya ia menyadari kehadiran sebuah tangan besar yang terus meraba-raba tubuhnya. “Arrkkkk!” Teriak Mawar seketika sebelum akhirnya ia memukul kepala suaminya itu untuk membangunkannya. “Brengsek kau Jay! Arrk!
. . . Sementara itu, didepan rumah kepala suku, beberapa orang telah berkumpul karena sesuatu hal aneh telah terjadi di perkampungan itu. “Kepala suku… Bagaimana ini?” Tanya seorang tetua yang saat ini begitu sedih karena isterinya telah hilang. Kemarin, tetua itu masih melihat isterinya itu pergi bekerja. Lalu setelah itu, ia melihat isterinya pulang dengan membawa Mawar. Kebetulan, sesuatu hal aneh sempat dirasakan oleh tetua itu karena suara sang isteri sedikit berbeda. Tetapi, ia tidak bisa mengkonfirmasinya karena Tuan Jayden tiba-tiba saja berkunjung ke perkampungan mereka dan membuat kehebohan. Dan setelahnya, ia tidak berjumpa dengan isterinya lagi, namun hanya sebuah benda aneh yang ditemuinya. “Apa ini?” Kepala suku itu bertanya-tanya di dalam hatinya, tetapi ia tidak menemukan jawabannya. Sampai kemudian, seseorang yang mereka kenal tiba-tiba saja muncul di belakang mereka dan memberikan sebuah penjelasan.
. . . Sementara itu, di pulau kecil disamping Pulau Henai, Bos Li yang saat ini sedang berjemur di atas pasir putih dengan celana pantai bergambar daun kelapa nampaknya dikejutkan oleh kehadiran pembantunya. “Bos! Bos!” Dari atas perahu kayu, Kasim terlihat berlarian dan tersandung-sandung untuk menghampiri Bos besarnya yang sedang menatap nanar dirinya. Menegakkan tubuhnya, Bos Li kemudian duduk di atas pasir dan menanti suruhannya itu datang. Sebetulnya, bos Li berharap jika pesuruhnya itu lebih elegan disaat menghampirinya. Tetapi sudahlah, Kasim memang orangnya seperti itu. Sehingga, Bos Li hanya bisa membiasakan dirinya dengan Kasim yang selalu mengagetkannya. “Bos! Bos! Hah…hah…” Ter-engah-engah, Kasim mengatur nafasnya karena ia berlari begitu cepat. “Bicaralah.” Bos Li sudah tidak sabar mendengar sehingga ia kemudian membentak pesuruhnya itu. “Cepat Sim….!” Bos Li semakin tidak tahan dan ia kembali mengambil tongkat dis
. . . “Jay. Bibi itu sudah kembali. Apa yang sebenarnya terjadi?” Mawar bertanya kepada suaminya itu sesaat setelah Jayden kembali ke perkampungan Henai. Wanita itu kebingungan karena Bibi itu tadi sempat berkata bahwa ia tidak pernah mengajak Mawar menginap di perkampungan itu. Lalu, siapa yang mengajaknya menginap dan bahkan memberikan tiket kapal padanya?! Wajah mereka benar-benar sama persis! “Sayang, lain kali jangan mau diajak pergi oleh orang lain. Dan juga, jangan menerima apapun yang bukan berasal dariku. Apa kau mengerti?” Jayden memegang wajah isterinya itu dan memperingatkannya dengan lembut. “Memangnya kenapa?” Dengan polos, Mawar bertanya karena bibi itu kan meskipun dia menyamar dia tetaplah orang baik yang mau menolongnya untuk kabur. “Mawar… Dengarkan aku. Kau tau topeng ini? Tidak sembarang orang bisa membuatnya. Dan jika saja kau naik kapal itu. Kau bisa saja dibuang ke laut.” Jayden berbicara begitu untuk menakut-na
. . . Sebelum ia bertambah kesal, beruntungnya transaksi itu telah berhasil. Sehingga Bos Li kemudian meletakkan perangkatnya kembali dan hendak mandi sebelum akhirnya sebuah panggilan telepon kembali mengejutkannya. Ring! Begitulah bunyi telepon itu yang membuat Bos Li mengernyitkan alisnya. Siapa kira-kira yang menghubunginya lagi? Sepertinya, dia tidak punya urusan lain selain dengan agen swasta sialan itu. Kembali ke tempat duduknya, Bos Li kemudian mengurungkan niatnya dan mengambil ponselnya kembali. Melihat ke layar ponsel itu, Bos Li tahu jika itu adalah nomor agen rahasia yang disewanyan. Tapi mengapa mereka menghubunginya lagi? Toh mereka sudah mendapatkan uang mereka! Dengan penasaran, Bos Li kemudian mengangkat panggilan itu dan mendengar sebuah suara yang membuatnya terkejut. “Halo Tuan Li, Bagaimana Kabar anda?” Begitulah suara dari agen itu yang membuat Bos Li mengernyitkan alisnya. “Ada apa kau menghubungiku lag
. . . Malam hari begitu dingin di Pulau Henai. Saat ini, Mawar dengan memakai dress sifonnya tampak memandangi langit berbintang di atasnya. Sambil matanya mengamati lautan lepas, ia juga bisa melihat cahaya laut yang berpendar berwarna merah keungu-an ditepian pantai disana. Bagai lampu LED yang berkilauan, cahaya itu menerangi sepanjang pantai itu. Sungguh, cantik sekali. Batinnya dalam hati. Awalnya, Mawar tidak begitu mengetahui detail pantai itu pada malam hari. Tetapi, semakin lama dia disana, semakin ia bisa melihat detail keindahan yang ditunjukkan oleh pulau itu bagian demi bagian. “Kenapa kau melamun sendirian? Hm?” Tiba-tiba suara baritone seorang pria mengejutkannya hingga ia sedikit tersentak. “Astaga, kau rupanya.” Mawar menoleh, lalu mengembalikan posisinya seperti semula, memandang tepian lautan dihadapannya. “Kalau bukan aku, memang kau mengharapkan siapa lagi? Rasyid?” Suara itu semakin mendekat