Share

Bab 8

Selagi Noel akhirnya diperintahkan Pak Tua Clark untuk kembali ke kantor terlebih dahulu, Vincen masih tampak berlari masuk ke dalam sebuah gang.

Sampai di ujung gang, yang menuju ke jalan besar lain, Vincen menoleh ke kiri dan ke kanan, tampak jelas mencari-cari sesuatu … atau seseorang.

Dengan alis tertaut erat, Vincen bergumam, “Aku yakin aku baru saja melihat wanita tadi malam di sini.”

Namun, berlari ke sana kemari di area itu sama sekali tidak membawakan hasil, membuat Vincen mengepalkan tangan kesal. ‘Sial …’ makinya. ‘Mungkinkah aku salah lihat?’ batinnya bertanya-tanya.

Ada rasa penasaran yang tidak bisa hilang di hati Vincen, terutama karena dia ingin sekalit ahu siapa sebenarnya wanita yang telah memberikan apartemen dan mobil kepadanya itu?

Kenapa dia membantu Vincen? Apa mereka pernah berhubungan dulu? Tahu tidak akan mendapatkan jawaban, dan yakin kalau tidak akan menemukan wanita itu lagi karena kehilangan jejak–atau salah lihat–Vincen akhirnya menghela napas dan memutuskan untuk kembali ke jalan menuju kantor.

‘Kalau memang ditakdirkan bertemu, kami pasti akan bertemu lagi.’ Vincen mendengus, ‘Lagi pula, wanita itu berkata kita akan bertemu lagi nanti.’

***

Vincen berhenti sejenak di depan gedung kantor perusahaan kakeknya, memandang bangunan itu dengan ekspresi datar sebelum melangkah masuk.

Sesampainya di dalam, dia menghampiri resepsionis dan langsung menyampaikan maksudnya. "Aku ada janji dengan Pak Tua Clark. Sampaikan padanya aku sudah tiba," ujar Vincen.

Resepsionis mengangkat alis sejenak, lalu menjawab sopan, "Maaf Tuan, boleh tahu siapa nama Anda?"

Vincen menghela nafas, menunjukkan ketidak senangannya terhadap formalitas yang tak perlu. "Vincen Adama," jawabnya singkat.

"Baik tuan, biar saya cek dulu," ujar Resepsionis sambil mengecek jadwal Pak Tua Clark.

Namun setelah mencari beberapa saat, ia tidak menemukan nama Vincen. Resepsionis meliriknya dengan tatapan curiga sebelum menjawab, "Maaf Tuan, tapi Tuan besar tidak ada janji dengan Anda. Silahkan kembali lagi saat Anda sudah membuat janji. Terima kasih."

Mata Vincen menyipit, tetap menahan emosinya yang mulai terpancing. Dalam hati dia sebenarnya kesal, namun dia sadar betapa pentingnya menghadapi situasi ini dengan kepala dingin dan sopan.

Vincen menghela nafas panjang, yakin bahwa Kakeknya memang sengaja tidak memberitahu karyawan lain di luar para eksekutif perusahaan tentang keberadaannya.

Karena mereka tak boleh tahu tentang asal usul Vincen sebagai anak dari pernikahan yang tak diakui olehnya, terlebih sebelum perusahaan benar-benar siap menghadapi media.Vincen memikirkan dampak negatif yang mungkin terjadi pada nilai saham perusahaan.

Vincen menatap resepsionis dengan seksama, mencoba membaca ekspresi wajah wanita itu. "Oke, katakan kalau aku memang belum buat janji dengan Pak Tua Clark, tapi bisa tolong buatkan janji untukku?" tanyanya sambil tersenyum tipis, mencoba untuk mengikuti prosedur perusahaan yang ketat.

"Maaf, Tuan. Jika Anda ingin membuat janji dengan Tuan besar, silakan hubungi asisten beliau," jawab resepsionis dengan nada dingin, masih berusaha menjaga kesopanan.

Vincen tidak tahu harus tertawa atau menangis, dia merasa terjebak dalam peraturan perusahaan yang akan menjadi miliknya. Ia menghela napas, lalu kembali mencoba bernegosiasi. "Begini saja, Nona. Tolong sambungkan aku dengan asisten Pak Tua Clark. Bilang padanya Vincen Adama ada di lobi dan ada masalah penting."

Resepsionis menatap sinis Vincen, kesabarannya mulai habis. Matanya mengerling tajam, wajahnya merah padam karena emosi. "Tuan, lebih baik Anda pergi dari sini, sebelum saya memanggil keamanan!" Suaranya meninggi, sarat dengan amarah yang terpendam.

Vincen tersenyum kecut, merasa tidak berdaya. Matanya menatap nanar resepsionis yang terus menerus memandang curiga ke arahnya.

Sejenak, tangannya terangkat hendak menyentuh lengan wanita itu, namun seketika ia urungkan niatnya. "Percaya padaku, Nona. Aku sungguh ada masalah penting dengan Pak Tua Clark. Aku bukan orang sembarangan."

"Tuan cukup! Lebih baik Anda pergi sekarang juga!" tegur resepsionis dengan wajah merah padam, tak mampu menyembunyikan rasa emosinya.

Menghela nafas panjang, Vincen menahan kekesalan hati saat merasa diusir dari perusahaannya sendiri. Mencoba untuk tetap sabar, karena tahu kalau Resepsionis hanya menjalankan tugasnya.

Vincen mengambil ponselnya dan menggulirkan kontak mencari nomor Noel, berharap segera bisa membicarakan keadaan ini.

Namun begitu terhubung, belum sempat Vincen membuka mulut untuk berbicara, suara keras Noel langsung menggema di seberang sambungan, seolah tak sabar menghadapi masalah. 

"Tuan Muda! Anda di mana!? Tidakkah Anda tahu betapa khawatirnya saya dan Tuan Besar?!"

Vincen menjauhkan telepon dari telinganya dengan kening sedikit berkerut, lalu menjawab, "Lobi. Tidak boleh masuk tanpa janji, jadi tolong jemput aku."

Sebelum Noel sempat menjawab, Vincen memutuskan sambungan teleponnya. Resepsionis yang mendengar percakapan Vincen, kini memandangnya dengan tatapan curiga.

'Apa orang ini benar-benar ada janji dengan Tuan Besar Clark?' batinnya, merasa sedikit bersalah karena tadi sudah bersikap begitu keras. 

Akan tetapi, resepsionis merasa dirinya tidak salah. Dia hanya menjalankan tugas dan prosedur sesuai aturan. 

Akhirnya, resepsionis itu menghela napas dan berkata dalam hati, '_Menjalankan prosedur tidak berarti aku harus bersikap tidak sopan, 'kan?_' 

Akhirnya, resepsionis itu menghadap Vincen. "Tuan, duduklah di ruang tunggu. Hari ini Tuan Besar ada pertemuan khusus dengan para eksekutif, jadi ada kemungkinan Anda akan menunggu lama."

Mendengar ucapan sang resepsionis, Vincen hanya tersenyum tipis. "Tidak masalah. Akan ada yang menjemputku sebentar lagi." Kemudian, dia tetap berdiri di depan resepsionis sambil memainkan ponselnya menunggu kedatangan Noel.

Resepsionis pun mengangkat kedua bahunya, paling tidak dia sudah berusaha memperlakukan tamu perusahaan dengan sebaik mungkin. 

"Wah, bukankah ini kurir miskin menyedihkan yang kehilangan istrinya beberapa hari lalu?” 

Kalimat tersebut membuat Vincen dan sang resepsionis tersentak. Mereka menoleh ke belakang dan melihat dua orang datang menghampiri meja resepsionis.

Ekspresi Vincen pun berubah buruk, tidak menyangka akan bertemu secepat ini dengan dua bedebah yang membuatnya sempat hancur di hari yang lalu. 

"Lidia ... Marko ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status