Share

Makin Kejam

🏵️🏵️🏵️

Hari ini, aku tidak banyak melakukan kegiatan seperti biasanya. Aku sengaja mengurung diri di kamar, meratapi nasib yang telah menimpa diriku. Aku menangis sesenggukan karena tidak pernah menyangka akan mengalami penderitaan seberat ini.

Ingin rasanya bersandar di pundak Ibu lalu menumpahkan semua yang telah Mas Damar perbuat kepadaku. Hanya Ibu yang mengerti dengan kesusahan putrinya.

Aku kembali mengingat apa yang telah Ayah sampaikan ketika aku dan Mas Damar masih berstatus sebagai sepasang kekasih.

“Ayah tidak bermaksud untuk melarang hubunganmu dan Damar, tapi Ayah khawatir dengan keluarganya. Ayah dapat merasakan kalau mereka tidak menyukai hubungan kalian.” 

“Yang jalanin semuanya Tari dan Mas Damar, Ayah. Jadi, Ayah nggak perlu khawatir.” Kalimat itulah yang keluar dari mulutku untuk meyakinkan Ayah saat itu.

Sekarang aku baru menyadari semuanya, ternyata Ayah memiliki perasaan yang sangat kuat tentang apa yang akan menimpa diriku.

Aku merasa bersalah karena tidak mendengar ucapan Ayah kala itu. Aku telah dibutakan oleh cinta dan sikap lembut Mas Damar. Aku tidak pernah menyangka kalau dia akhirnya berubah menjadi seperti ini.

Begitu hebat dan kuat pengaruh yang Tia berikan hingga Mas Damar sekarang berubah menjadi sangat jahat dan kejam kepadaku. Tidak ada lagi cinta yang tersisa untukku karena semuanya telah dirampas oleh Tia.

🏵️🏵️🏵️

Waktu telah menunjukkan pukul 20.06 WIB, aku mendengar suara ketukan pintu. Aku segera melangkah keluar kamar menuju pintu ruang tamu. 

Setelah pintu terbuka, berdiri sosok Mas Damar di depanku. Aku sangat heran karena dia pulang tidak larut malam. Apakah dia ingin berubah? Namun, jika itu terjadi, aku tidak ingin memaafkan dirinya lagi.

Dia duduk di ruang tamu, tidak seperti biasanya langsung menuju kamar. Aku kembali menutup pintu lalu melangkah menuju kamar kedua di rumah ini.

Saat aku melangkah, tiba-tiba dia meraih tanganku lalu memaksa duduk di sampingnya.

“Suami datang bukannya di sambut, ini malah menghindar!” tukasnya membuatku kaget.

“Suami apa seperti kamu? Tega menduakan istri dengan sahabat istrinya sendiri. Kenapa kamu tidak bilang ke Tia kalau aku sudah tahu tentang kalian?”

“Dia nggak perlu tahu tentang semua itu, aku tidak mau jika dia merasa terbebani. Aku nggak mau dia sedih.”

Pantas saja Tia masih menunjukkan sikap seolah-olah aku masih sahabatnya. Ternyata Mas Damar tidak memberitahukan kenyataan kalau aku telah mengetahui kedekatan mereka.

“Sebesar itu perhatianmu untuk dia, Mas? Sudah jelas-jelas dia bukan siapa-siapa.”

“Ha-ha-ha! Bukan siapa-siapa kamu bilang? Dia wanita idamanku dan dia juga istriku!”

Aku hampir pingsan mendengar pengakuan Mas Damar. 

“Nggak mungkin!” Aku tetap tidak percaya.

“Sudah setahun aku menikah siri dengannya.”

“Jahat kamu, Mas!”

“Kenapa? Kamu kaget?” Dia memegang daguku.

“Lepasin! Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu!”

“Tenang aja, aku tidak akan menceraikanmu. Kadang aku masih ingin memadu kasih denganmu. Udah lama, yah, nggak bercinta denganmu. Tapi malam ini aku akan mengajakmu kembali mengarungi telaga indah dan mengelilingi indahnya samudra cinta.” Dia makin mendekatkan wajahnya kepadaku.

“Maksud kamu apa, Mas?”

“Malam ini Tia tidak dapat memadu kasih denganku karena berhalangan. Jadi, kamu yang harus memenuhi kebutuhanku.” Aku sangat sakit mendengar penuturannya.

Dia dengan kasar membopong tubuhku ke kamar lalu merebahkanku ke tempat tidur. 

Aku tidak ikhlas harus menjalankan kewajibanku sebagai istri malam ini. Aku merasa jijik setelah mengetahui dirinya juga suami Tia. 

Akan tetapi, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya bisa menangis melihat apa yang dia lakukan kepadaku.

Tolong aku, Ayah. Bantu aku, Ibu.

🏵️🏵️🏵️

Dua hari setelah kejadian itu, tubuhku terasa sakit, mungkin karena tidak ikhlas melakukannya dengan Mas Damar. Bagiku saat ini, dia tidak lebih dari laki-laki yang sangat kejam kepada wanita yang dulu dia cintai.

 

Badanku meriang, juga sangat lemas. Untuk berdiri saja rasanya sangat susah. Tidak ada yang bisa kuharapkan dengan kondisi yang seperti ini.

 

Aku melihat Mas Damar sedang menikmati acara kesukaannya di ruang TV. Sementara aku dengan tenaga yang kumiliki saat ini, berusaha menghampirinya karena ingin meminta tolong kepadanya.

 

“Mas, tolong masakin aku bubur.” Aku sangat mengharapkan bantuannya karena saat ini aku sangat lapar.

 

“Apa hakmu ngatur-ngatur aku?” Kalimat itu yang kudapatkan darinya.

 

“Aku minta tolong, Mas. Aku sakit.” Aku masih tetap berharap kepadanya.

 

“Masak aja sendiri!” Dia dengan kasar mendorongku lalu mengambil kunci mobil, kemudian pergi.

 

Hatiku sangat sakit dan bingung harus berbuat apa. Akhirnya, aku mencoba berdiri lagi, tetapi rasanya tidak kuat. Satu-satunya cara supaya bisa sampai ke dapur dan mencoba memasak bubur adalah dengan merangkak. Aku mulai menggeser tubuh sambil mengingat Ayah dan Ibu. Bayangan mereka yang menguatkanku.

 

Aku harus kuat dan bersabar demi orang tua yang kusayangi. Mereka tidak boleh mengetahui apa yang kurasakan saat ini. Mereka harus tahu bahwa sampai sekarang, aku tetap bahagia dan baik-baik saja.

 

Aku dengan semangat berusaha bangkit demi orang tua. Akhirnya, aku berhasil memasak bubur dan segera memindahkannya ke perut yang sudah sangat ingin diisi.

 

Setelah perut terisi, tubuhku menjadi sedikit kuat dan tidak lemas seperti tadi. Akhirnya, aku berhasil berdiri dan melangkah menuju kamar sambil tetap berpegangan pada dinding.

 

Tidak sampai sepuluh menit, terdengar suara pintu sedang dibuka. Aku yakin itu adalah Mas Damar karena saat dia tadi keluar, dia membawa kunci rumah.

 

Terdengar suara ketukan di pintu kamar. Semenjak Mas Damar pulang larut malam dan sikapnya berubah, aku sekarang tidur di kamar yang berbeda darinya. Dia yang telah mengusir dan mendorongku dari kamar impian kami dulu.

 

“Buka pintunya!” Suara Mas Damar memintaku membuka pintu.

 

“Aku mau istirahat. Untuk apa kamu memintaku buka pintu?” Aku berusaha menghindarinya.

 

“Aku bilang buka! Aku ini suamimu dan kamu harus nurut!”

 

“Aku nggak mau, kamu selalu tidur di kamar utama. Jadi, untuk apa kamu ke sini?”

 

“Kalau kamu nggak mau buka pintunya, aku dobrak, nih!” Dia mengancamku.

 

Terus terang, aku takut dengan ancamannya. Bagaimana kalau dia berbuat nekat jika aku tidak memenuhi keinginannya? Aku mendengar suaranya tidak stabil. Aku yakin dia pasti habis minum.

 

Aku dengan langkah gontai, segera menuju pintu lalu membukanya. Setelah pintu terbuka, dia dengan kasar langsung mendorongku ke tempat tidur.

 

“Kenapa kamu sangat lama baru buka pintu? Seharusnya kamu tahu apa yang menjadi kewajibanmu!” Aku melihat wajahnya penuh dengan kemarahan.

 

“Maksud kamu apa, Mas?”

 

“Penuhi hakku, aku menginginkannya!”

 

“Jangan, Mas ... aku mohon. Aku nggak mau.” Aku berusaha mendorong tubuhnya.

 

“Berani kamu membantah suami, hah!”

 

Dia makin beringas dan tetap memaksaku. Dia tidak peduli dengan keadaanku saat ini. Dia dengan sangat kejam meminta haknya sebagai suami. Aku dengan tubuh yang tidak berdaya harus memenuhi hasrat itu.

 

Setelah Mas Damar mendapatkan apa yang dia inginkan, dia keluar dari kamarku. Namun sebelum beranjak, dia melemparkan senyuman kemenangan kepadaku.

 

Kejadian ini memaksaku berjanji akan membuat perhitungan dengan Mas Damar dan Tia. Aku sudah cukup sabar menjadi wanita dan istri penurut. Kebaikanku mereka balas dengan pengkhianatan.

 

Aku akan menyusun rencana untuk memberikan pelajaran kepada Tia karena dia penyebab dari perubahan Mas Damar. Dia telah berhasil membuat Mas Damar menjadi orang lain untukku. Mereka harus merasakan sakit yang kurasakan saat ini.

 

=============

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status