Mendengar ini, senyum di bibir Alya pun sedikit memudar. Namun dia masih dengan lembut bertanya, "Perkataanmu benar juga, tapi aku masih agak penasaran. Boleh aku lihat ponselmu sebentar?"Lisa mengedipkan kedua matanya, lalu tertawa dengan canggung dan berkata, "Alya, ini sungguh bukan apa-apa. Mungkin foto profilnya hanya kebetulan sama?"Awalnya Alya tidak berpikir macam-macam, tetapi melihat Lisa yang menjaga ponselnya seperti ini dan tidak mau membiarkannya melihat sebentar saja, Alya pun mulai merasa ada yang aneh.Meskipun tidak sopan untuk meminta melihat ponsel orang lain, dia dan Lisa memiliki hubungan yang dekat sampai-sampai melihat ponsel satu sama lain bukanlah masalah.Tidak perlu jauh-jauh, dulu saat Lisa sangat bersemangat untuk menjodohkannya dengan Irfan, begitu ponselnya berbunyi, Lisa pasti akan mencoba untuk merebutnya."Biar aku lihat, pasti yang mengirimkanmu pesan adalah Irfan. Wow, benar! Biar aku yang membalasnya untukmu."Kemudian Lisa akan menggunakan ponse
Setelah mengatakan itu, Lisa dengan enggan menyodorkan ponselnya."Silakan lihat."Alya tertegun, dia tidak menyangka Lisa akan berubah pikiran begitu dia hendak pergi.Dia menatap Lisa dengan terkejut."Sebenarnya ... kalau kamu nggak nyaman, aku nggak akan memaksamu.""Aku nggak apa-apa." Lisa menggertakkan giginya. "Dulu aku juga sering melihat ponselmu, 'kan? Jadi kalau kamu melihat ponselku pun, itu wajar. Kalau aku hanya ingin melihat ponselmu tapi nggak membolehkanmu melihat punyaku, bukankah itu nggak masuk akal? Silakan lihat."Setelah itu, Lisa langsung mendorong ponselnya ke dada Alya.Alya memegang ponsel tersebut, sebuah senyum perlahan muncul di bibirnya."Terima kasih, Lisa."Kemudian Alya meminta Lisa membukakan kunci ponselnya. Sebelum menekan sidik jarinya, Lisa merasa gelisah. Dia pun memutuskan untuk mengaku terlebih dahulu, "Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu dulu. Belakangan ini aku menambahkan kontak seseorang dari bar, dia orang yang kamu tahu, yang pernah aku
Alya segera mengangkat kepalanya, dia tidak mau melewatkan detail apa pun."Pantas saja apa?""Aku ...." Lisa menggigit bibirnya dan tampak kesulitan. "Waktu itu, kamu sempat menitipkan anak-anakmu padaku, 'kan? Karena ada hal yang perlu kamu tangani.""Ya, lalu?""Aku mengambil beberapa foto dan mengunggahnya di story WhatsApp-ku. Pak Rizki ini melihatnya, lalu meneleponku."Mendengar hal ini, dada Alya mendadak terasa sesak. Merasa bahwa sesuatu yang penting akan diungkapkan, wajahnya pun memucat. Meskipun berdiri, dia rasanya seperti nyaris pingsan."Dia meneleponmu, lalu? Dia bertanya apa?""Dia bertanya tentang Maya dan Satya. A-Aku kira dia penggemar mereka, jadi aku nggak berpikir panjang dan memberitahunya semuanya. Maafkan aku, Alya. Aku juga membicarakanmu ... aku benar-benar nggak tahu semuanya akan jadi seperti ini."Ketika membicarakan hal ini, Lisa merasa sangat tidak enak. Dia memainkan jarinya dengan gelisah, merasa bahwa dia telah membuat kesalahan besar.Mendengar pen
"Mama kenapa?"Mungkin karena dia terus bengong dan diam, kedua anaknya pun merasa ada yang tidak beres. Ketike menoleh, dia melihat Maya dan Satya menatapnya dengan wajah khawatir.Alya merapatkan bibirnya, lalu memaksa tersenyum."Nggak apa-apa, Mama hanya memikirkan urusan kerja."Maya yang naif tidak lagi curiga setelah mendengar penjelasannya. Akan tetapi, Satya tidak mengatakan apa pun dan masih tampak khawatir"Mama, jangan pikirkan itu sekarang. Sekarang sudah di luar jam kerja," ujar Maya dengan lembut sambil berdiri dan memeluk lengan Alya."Ya, Mama mengerti. Tapi ada sesuatu yang ingin Mama tanyakan pada kalian, boleh?"Maya mengangguk."Apa siang ini Paman RezekiMalam datang ke sekolah?"Kedua anak itu serentak menggeleng.Melihat ini, Alya menyipitkan matanya."Kemarin dan kemarin lusa dia datang, tapi hari ini nggak?""Ya." Maya mengangguk dengan patuh. "Jojo bilang, pamannya mungkin sibuk bekerja, makanya nggak datang. Tapi pamannya menyuruh paman lain untuk mengantarka
Setelah kedua anak itu selesai bercerita, Alya kurang lebih mengerti apa yang terjadi pada hari itu.Dia tanpa daya menghela napas, lalu mencubit hidung Maya."Kenapa kamu sebodoh ini? Hanya karena orang itu memperlakukanmu dengan baik, kamu ingin dia menjadi papamu? Bukankah sebelumnya Mama sudah mengajarimu, kamu nggak boleh semudah itu memercayai orang asing?""Hmm." Maya menutupi hidungnya dan berkata sambil cemberut, "Tapi Mama, Maya rasa Paman RezekiMalam bukan orang jahat. Maya sangat menyukainya."Mendengar hal ini, Alya tertegun."Kamu suka dia?""Ya." Maya mengangguk. "Paman RezekiMalam terasa seperti seorang papa. Mama, apa Paman RezekiMalam boleh menjadi papa Maya dan Kakak? Kakak juga menyukai Paman."Alya pun melihat ke arah Satya.Ketika bertemu dengan tatapannya, mata kecil Satya menjadi gugup dan menghindarinya."Satya?""Ng ... nggak, Mama. Satya ng ... nggak menyukai Paman RezekiMalam."Alya sendirilah yang menyaksikan kedua anak ini tumbuh, sehingga dia tahu jelas b
Keesokan harinya.Alya mengantarkan kedua anaknya ke sekolah seperti biasa, berpura-pura seperti tidak ada yang terjadi kemarin.Setelah mengantar Satya dan Maya, dia pun kembali ke perusahaan.Begitu sampai di perusahaan, dia menerima pesan dari Lisa."Alya, kemarin malam apa kamu sungguh nggak apa-apa?"Meskipun kemarin mereka telah memastikan keselamatan masing-masing, Lisa memutuskan untuk bertanya lagi setelah mengingat ekspresi Alya kemarin."Nggak apa-apa, kamu nggak usah khawatir.""Benarkah? Tapi kamu kelihatannya ...."Alya menghela napas. "Aku sungguh nggak apa-apa, aku hanya memiliki beberapa urusan yang harus ditangani. Setelah aku membereskannya, aku akan memberitahumu semuanya.""Oke, kalau begitu setelah kamu menanganinya, kamu harus langsung memberitahuku, bukan langsung memberi tahu Citra."Kalimat terakhirnya membuat Alya tertawa."Aku mengerti, aku akan langsung memberi tahu kalian berdua. Bagaimana kalau nanti kita teleponan bertiga?""Oke."Lisa pun menutup telepo
Kota Suryaloka.Di sebuah rumah sakit umum."Selamat, kamu hamil! Bayimu juga sehat."Alya Kartika mencengkeram erat laporan di tangannya, dia tampak tercengang.Hamil? Alya kaget dan juga senang, dia tak dapat memercayainya."Mulai sekarang, datanglah untuk pemeriksaan rutin. Di mana ayahnya? Panggil dia masuk, aku ingin berbicara sebentar dengannya."Perkataan sang dokter membawa Alya kembali ke kenyataan. Dia hanya bisa tersenyum dengan canggung. "Hari ini suamiku nggak datang.""Benar-benar, deh. Mau sesibuk apa pun dia, seharusnya dia menemani istri dan anaknya."Ketika keluar dari rumah sakit, hujan rintik-rintik mulai turun. Alya dengan lembut menyentuh perutnya.Di dalam perutnya, sebuah kehidupan kecil telah muncul.Anak dari Rizki Saputra dan dirinya ....Ponsel Alya bergetar. Dia pun mengeluarkannya dan melihat bahwa suaminya, Rizki, telah mengirim sebuah pesan."Sudah hujan. Antarkan payung ke alamat ini."Alya membaca alamatnya, Kelab XX.Tempat apa itu? Bukankah Rizki bil
Di tengah kerumunan yang menggoda mereka, Rizki melirik ke bawah dan membalas pesan Alya."Aku nggak butuh payungnya, kamu pulang saja."Ketika menerima pesan itu, Alya merasa bingung dan membalas: "Apa terjadi sesuatu?"Dia menundukkan kepalanya dan menunggu sejenak, tetapi Rizki tidak membalas pesannya.Mungkin saat ini suaminya benar-benar sibuk.Alya pun memutuskan untuk pulang."Tunggu."Seseorang memanggilnya dari belakang. Alya menoleh dan melihat dua wanita berpenampilan penuh gaya datang menghampirinya.Wanita yang tinggi menatapnya dengan curiga, lalu bertanya dengan angkuh, "Apa kamu Alya?"Dari wajahnya, jelas wanita itu tidak menyukainya. Alya pun tidak bersopan santun dan menjawab dengan datar, "Kamu siapa?""Nggak penting aku siapa, yang penting Hana sudah kembali. Jadi, tahu dirilah dan menjauh dari Rizki."Seketika pupil mata Alya mengecil.Sudah berapa lama dia tidak mendengar nama itu? Cukup lama .... Bahkan dia hampir lupa keberadaan orang itu.Wanita itu menyadari