"Ma, Disa pulang!"Mama Ayu langsung menyambut kepulangan Nadisa di kediamannya. Gadis Sanjaya itu segera mencium tangan sang Mama. Sementara Jeffrey masih tertinggal di belakang karena harus memarkir mobilnya.Mama Ayu mengerjap kaget melihat wajah anaknya yang terlihat sembab dengan mata memerah."Disa, kamu kenapa, Sayang? Kamu habis menangis?" tanya Mama Ayu dengan paniknya."Disa nggak apa-apa kok, Ma. Ini tadi kena debu saja, jadi mata Disa merah." Nadisa kembali tersenyum lebar. Ia tidak ingin memperpanjang masalah."Syukurlah kalau begitu." Untungnya, Mama Ayu memercayai Nadisa. "Disa, tadi kamu diantar oleh Jevan 'kan? Mana dia? Apa masih di luar?" tanya Mama Ayu."I-iya, Ma! Tadi Disa sama Jevan! Tapi dia sudah pulang!" Nadisa kembali membohongi mamanya. "Sudah dulu ya, Ma. Disa mau mandi. Nanti baru kita makan malam! Bye, Mama!"Nadisa menyempatkan diri mencium pipi Mama Ayu. Baru kemudian berlari menuju tangga rumahnya, lalu pergi ke kama
Motor sport hitam yang dikendarai oleh Jevano Putra Hartono akhirnya tiba di arena balapan liar. Jevano langsung menghentikan motornya tepat di hadapan kumpulan temannya. Lalu melepaskan helm full face yang dikenakannya. Masih berada di atas motor sport hitamnya."Yo, Jevan!" sapa seorang lelaki di sana.Marko Wijaya namanya. Putra tunggal dari keluarga Wijaya. Salah satu keluarga kaya di Indonesia. Juga merupakan kolega dari Jevano.Jevano hanya mengangkat sedikit alisnya."Lama tidak bertemu ya, Jevan. Terakhir kali kamu turun ke jalanan … enam bulan lalu?" Marko menebak santai. Seraya menyesap lintingan rokok di tangannya."Delapan." Jevano menjawab singkat.Teman-teman di sekitar Jevano hanya terdiam mendengarkan perbincangan sang Hartono dan Wijaya. Level mereka berbeda. Jadi mereka tidak ingin ambil risiko dengan ikut serta dalam obrolan keduanya."Ah, satu bulan lagi dan ibu hamil akan melahirkan anaknya. Hahaha…" Marko tertawa renyah. Tidak p
Haikal memarkirkan mobilnya di pekarangan kediaman Hartono. Rumah mewah berwarna putih yang kini terlihat sangatlah sepi. Hanya ada beberapa pegawai termasuk dirinya yang ada di sana. Dan sepertinya, sang Nyonya dan Tuan Besar masih belum tiba di rumah. Terlihat dari mobil utama Hartono yang masih belum ada di garasinya.Haikal mengembuskan napas lega.Ingatan Haikal kembali ke beberapa saat lalu. Sumpah, Haikal merasa jantungnya nyaris copot saat Nona Nadisa melihat kehadirannya di pekarangan kediaman Sanjaya. Gadis cantik itu memandanginya seakan menyadari bahwa orang yang telah menyerangnya sore tadi adalah Haikal. Akan tetapi, untung saja Nadisa tidak sampai menghampiri Haikal. Hingga penyamaran lelaki itu akhirnya tidak jadi terbongkar.Sekarang, Haikal hanya harus memikirkan bagaimana caranya ia meyakinkan sang Nyonya Besar yang kemungkinan akan segera tiba di kediaman Hartono. Agar Beliau tidak mencurigai kepergian putranya, yang hingga tengah malam ini belum juga menampakkan
Nadisa Tirta Sanjaya tengah berdiri di belakang kompor di dapur mewahnya. Ia sedang memanggang satu helai roti di atas wajan anti lengket milik sang Mama. Makanan yang akan ia jadikan sarapan bersama keluarganya.Dalam kegiatannya membalikkan roti, Nadisa justru terjebak dalam pikirannya sendiri.Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaimana caranya agar ia bisa mencegah takdir buruknya datang? Apa Nadisa sebaiknya memecat Karenia sekarang? Dengan memecat gadis itu dan mengenyahkan kehadirannya dari hidup Nadisa, Nadisa mungkin akan aman dan terhindar dari kematiannya.Akan tetapi, apakah Karenia akan terima saja jika ia dipecat? Bukan hal mustahil apabila gadis itu justru mempercepat niatan buruknya terhadap Nadisa. Itu … bukan hal mustahil, 'kan?"Hah…" Nadisa membuang napasnya. Ia masih terus membolak-balikkan roti di atas wajannya.Sepertinya, tindakan memecat Karenia justru akan berbahaya bagi Nadisa. Dengan tidak berada di sekitar Karenia, Nadisa jadi
Nadisa terkekeh kecil mendengar penuturan bernada serius dari Jeffrey. Gadis yang mengenakan blus merah muda dengan rok putih selututnya itu tampak lebih santai dibandingkan sebelumnya."Disa, Kakak nggak bercanda. Kakak lagi bicara serius sama kamu," kata Jeffrey.Nadisa menghentikan tawa kecilnya. Ia memegang bahu Jeffrey yang terlapisi oleh kemeja putihnya."Kak, Kakak sudah bilang ke Disa tentang itu beberapa kali. Disa sudah hafal, jadi Kakak nggak perlu mengulanginya lagi." Nadisa berkata santai, seraya beranjak dari posisi duduknya di ayunan.Nadisa berjalan menjauhi Jeffrey. Membuat lelaki tampan dan tinggi itu bangkit dari posisi berlututnya. Menatapi punggung adiknya."Disa," panggil Jeffrey pelan. Sukses menghentikan langkah Nadisa. Gadis itu menoleh dengan senyumannya. Kontras dengan wajah Jeffrey yang sarat akan rasa khawatir pada adiknya.Melihat bagaimana Nadisa tadi nyaris membahayakan dirinya karena tenggelam da
Nadisa sedang menyuap sosis ke dalam mulutnya, ketika suara bel di depan kediamannya berbunyi dengan keras. Membuat Mama Ayu beranjak dari posisinya.Nadisa masih santai saja menikmati sarapannya. Bagaimana pun juga, Nadisa membutuhkan banyak sumber energi untuk menghadapi sumber masalah di kantornya. Jadi ia tidak boleh menyia-nyiakan sarapannya."Selamat pagi juga. Ayo masuk, Disa masih di ruang makan. Belum selesai sarapan."Dahi Nadisa kontan berkerut tatkala sayup-sayup suara Mama Ayu terdengar di telinganya. Kenapa Mama Ayu menyebut namanya? Seingat Nadisa, ia tidak memiliki janji dengan siapa pun. Dan lagi, hari ini 'kan hari kerja. Orang gila mana yang bertamu di saat Nadisa bahkan sebentar lagi akan berangkat?Nadisa menolehkan kepala ke belakang. Melihat kedatangan sang Mama dengan seseorang yang mengekorinya.Kedua mata Nadisa melebar.Itu Jevano. Lelaki itu ada di sini. Bagaimana mungkin?! Kenapa takdir hidupnya jadi kacau begini?!"Pagi,
Nadisa masih tidak habis pikir. Pagi ini, akhirnya ia kembali berada dalam mobil mewah yang sangat melekat di ingatannya. Pun, kini Nadisa sedang bersama seseorang yang bahkan ia rutuki keberadaanya. Jevano Putra Hartono.Kalau saja Mama Ayu tidak memerintahkan Nadisa untuk ikut serta dengan Jevano, jelas saja Nadisa tidak akan sudi berada di sana."Mau beli kopi?" tawar Jevano yang sedang sibuk mengendarai mobilnya. Dirinya tentu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatannya untuk bersama Nadisa lebih lama.Nadisa memutar bola matanya malas. "Nggak.""Kenapa? Kita masih ada waktu. Kamu tidak perlu takut terlambat, Nadisa.""Alergi," sahut Nadisa singkat.Jevano mengernyit bingung. Lelaki itu melirik singkat pada Nadisa. "Alergi? Bukankah kamu sering minum kopi?""Aku bilang alergi ya alergi!" seru Nadisa dengan kesal.Tidak, Jevano tidaklah salah.Nadisa memang tidak memiliki alergi terhadap kopi. Dahulu, ia bahkan berdamai dengan Jeffrey setelah menerima makanan beserta kopi darinya. Ta
Mentari sudah mulai bersinar terik di kota Jakarta. Menemani Nadisa yang kini berjalan menyusuri trotoar area perkantoran, untuk tiba di kantor Sanjaya.Pernyataan Jevano tentang cintanya tadi masih bergaung di dalam benak Nadisa.Lelaki sialan. Dia bisa semudah itu bilang cinta pada Nadisa. Tapi kalau memang Jevano cinta padanya, kenapa di kehidupan sebelumnya Jevano justru bermain api dengan Karenia? Padahal waktu itu Nadisa sudah memberikan Jevano segalanya. Nadisa bahkan sudah mulai mencintainya.Tapi apa yang Nadisa dapatkan? Tidak ada, kecuali rasa kecewa. Karena pada akhirnya, ia tetap ditinggalkan. Jevano akan lebih memilih Karenia dibanding dirinya.Jevano … sama saja dengan sang Papa. Nadisa tidak akan mau mempercayainya. "Miaw… miaw…"Suara anak kucing yang terdengar lemah itu membuat Nadisa menghentikan langkahnya. Padahal ia sudah tiba di depan halte kantor Sanjaya.Nadisa mengikuti sumber suaranya, lalu menemukan satu kardus berisi seekor anak kucing berwarna putih tepa