Share

ACT 3. Dua dalam satu hari

Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore dan semua pekerjaan selesai tanpa perlu lembur. Semoga saja Crazy Baldie itu tidak datang ke ruangan dan menyuruh untuk kerja lembur menyelesaikan pekerjaannya. Selain itu masih punya waktu lebih dari satu jam sebelum pergi ke restoran yang menjadi tempat pekerjaan yang lain, tetapi sepertinya harus datang lebih awal karena hampir memasuki jam makan malam.

Lagi, hal yang membuat kesal sejak tadi adalah ada beberapa nomor yang tidak dikenal sama sekali terus menerus mengirimkan spam pesan. Isinya hampir sama, berisi ancaman-ancaman yang tidak tahu apa alasannya, tawaran pada sesuatu yang sudah jelas merupakan suatu penipuan. Mereka benar-benar tidak lelah mengganggu orang lain dengan cara seperti ini.

“Tricia? Kamu sudah pulang?” ternyata Julia yang memasuki ruanganku.

“Juli? Kupikir yang datang Thomas si Crazy Baldie,” aku muncul dari tempat persembunyianku dengan penuh kelegaan.

“Memangnya dia selalu datang ke ruanganmu setiap jam pulang kerja?” ujarnya menunggu di dekat pintu.

“Siapa lagi yang selalu mencariku di tempat ini selain orang itu, jika dia mencariku saat jam pulang seperti ini sudah pasti dia akan menyerahkan pekerjaannya padaku.” Setelah membereskan meja kerja sendiri dan memasukkan barang-barang pribadi ke dalam tas, cepat-cepat berjalan keluar dari tempat ini.

“Aku lihat ada seorang wanita yang masuk ke dalam ruangannya, tetapi aku sama sekali tidak tahu siapa orang itu mungkin bukan dari tempat kita.” Julia sudah mulai untuk bergosip ria.

“Benarkah? Bagaimana kamu bisa tahu? Apa kamu juga baru saja dari ruangannya?” Aku sebenarnya tidak tertarik dengan apa yang Julia bicarakan, aku hanya menghargainya saja dengan mendengarkan apa yang dia katakan.

“Jangan aneh-aneh! Untuk apa aku masuk ke dalam ruangan orang tua itu tanpa alasan, lebih baik aku berduaan di sebuah ruangan dengan Erick,” ujarnya dengan ekspresi yang malu-malu dan pipinya yang bersemu merah.

“Kamu sudah melakukan hal sejauh itu dengannya? Bagaimana bisa kamu menyerahkan diri dengan mudah pada seorang lelaki?” Patricia menggelengkan kepalaku pada pernyataan Julia bahwa dia menyukai berduaan saja dengan pacarnya di satu ruangan.

“Kenapa tidak? Semua orang pasti senang melakukan hal berdua saja dengan pasangan mereka, lagi pula aku dan Eric sudah cukup dewasa untuk melakukan hal semacam itu. Lagi pula, di negara ini pasangan mana yang tidak melakukan hubungan seks dengan pasangannya? Setidaknya mereka pasti sudah melakukannya, kecuali jika mereka tidak normal,” jawabnya sambil menyindirku.

“Tidak semua orang sebebas itu, mungkin juga ada beberapa orang yang tidak melakukan hal seperti itu sampai mereka akhirnya menikah. Memangnya kamu tidak takut, bagaimana jika kamu hamil dan dia tidak mau bertanggung jawab lalu meninggalkanmu dengan anak yang ada di dalam perutmu?”

Patricia menatap tajam Julia, mengingatkannya bahwa ada resiko lain dibalik tindakan sembrononya itu. Orang ini sepertinya tidak memikirkannya sama sekali, malah tersenyum simpul.

“Tenang saja, aku tidak akan hamil. Aku selalu meminum pil kontrasepsi dan dia juga selalu memakai pengaman. Jika dia meninggalkanku, berarti dia memang bukan untukku. Daripada waswas memikirkan hal yang belum tentu akan terjadi, aku menikmati waktu saat kami saling mencintai. Aku jamin, ketika kamu tertarik dan mulai mencintai seseorang kamu pasti mengerti bagaimana perasaanku.”

Aku menggeleng kepala tidak setuju. Bagaimana Julia mengucapkan hal itu dengan mudah saat aku menyaksikan dua orang yang saling mencintai berubah menjadi saling menyakiti satu sama lain. Papa yang menyukai Mama, malah membawa wanita lain ke dalam hidupnya membuat suasana di rumah menjadi tidak harmonis.

Keadaan di rumah memanas karena mereka berdua saling bertengkar dan berteriak satu sama lain, lalu di lain waktu rumah menjadi sangat dingin karena dua orang itu tidak berbicara satu sama lain. Mama mulai depresi ketika melihat Papa dan wanita simpanannya berada di dalam kamar berdua saja dengan tubuh yang setengah telanjang. Kehidupan di rumah menjadi seperti neraka karena wanita itu. Kuputuskan untuk membawa Mama dan dua adikku pergi dari tempat itu dengan membawa tabungan dan juga harta milik Mama untuk membeli rumah yang bisa kami tempati.

“Tricia, hello? Tricia?” Julia yang melambai-lambaikan tangannya di depanku segera kutepis. “Kamu melamun, apa yang kamu pikiran sampai beberapa kali aku panggil kamu gak dengar?”

“Tidak ada. Terserah kamu saja ingin melakukan hal apa pun dengan pacarmu itu, yang penting jangan datang padaku saat ada masalah dengannya. Masalahku sudah cukup rumit.” Aku berjalan semakin cepat, Julia juga semakin menyamakan langkahnya denganku.

 “Kamu masih saja kaku denganku padahal kita sudah berteman cukup lama, bicaralah dengan santai padaku,” ujar Julia dengan ceria.

“Jangan memaksa Julia. Aku akan cerita kalau aku mau,” balasku dengan gusar.

“Tricia, kamu tidak boleh seperti itu. Kamu butuh teman seperti aku untuk mewarnai hidupmu.” Julia merangkul bahu Patricia dengan dengan ekspresi yang senang. Lebih baik tidak perlu mempedulikannya sebelum dia benar-benar menjadi terlalu percaya diri.

“Akk! Kenapa kamu menarik leherku?! Aku harus pergi ke arah sana, lepaskan aku?!” Patricia berusaha melepaskan rangkulan yang terlihat seperti kuncian siku.

“Aku akan mengantarmu ke tempat kerja paruh waktumu itu, temanmu ini sangat baik hati bukan?” jawabnya dengan sedikit sombong.

“Dengan apa kamu mengantarku? Memangnya kamu punya kendaraan?” sama sekali aku tidak bermaksud untuk merendahkan temanku, tetapi aku tahu dia sama sepertiku bepergian dengan kendaraan umum. Julia lebih banyak menghabiskan uangnya untuk membeli kosmetik, perawatan wajah dan pakaian juga tas daripada menabung untuk membeli mobil.

“Tentu saja aku punya.” Dia mengeluarkan sebuah kunci dan mengayun-ayunkan di jarinya.

“Sejak kapan kamu punya mobil? Selama ini aku tidak pernah melihatmu membawa kendaraan?” Perempuan ini benar-benar tidak bisa diduga sama sekali.

“Sebenarnya ini bukan punyaku. Erick sedang libur dan berada di apartemenku sejak semalam jadi aku meminjam mobilnya sebentar saja.” Dia mengerlingkan matanya. Ternyata milik pacarnya, tak disangka  dia memiliki kekasih kaya meskipun yang dia punya sepertinya mobil keluaran lama.

“Lalu, apa kamu bisa mengendarai mobil? Aku tidak mau nyawaku menjadi taruhannya, atau kau bisa biarkan aku menyetir sendiri sampai ke tempat kerjaku yang lain.” Semoga saja dia tahu caranya menyetir mobil.

“Jangan meremehkanku Patricia! Aku bisa buktikan padamu aku bisa menyetir dengan baik! Justru aku yang harusnya bertanya padamu memangnya kau bisa menyetir? Kamu juga tidak memiliki kendaraan apa pun sepertiku,” balasnya dengan sebal.

“Tentu saja, di masa lalu…” gumamku pelan.

“Masuklah, kamu bisa menilai bagaimana aku membawa mobil ini.” dengan perasaan yang tidak menentu kami naik ke mobil itu dengan mengencangkan sabuk pengaman.

***

Benar-benar bencana. Sesuai seperti prediksi, Julia memang belum terlalu mahir dalam mengemudikan mobil. Bagaimana bisa dia mengebut dengan kecepatan hampir 100km/jam di jalanan yang cukup ramai sampai aku berpegangan dengan erat pada hand grip. Belum lagi dia mengerem dengan mendadak ketika akan berbelok dan berhenti ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Tubuhku maju mundur dengan kasar ketika dia menginjak pedal gas dan juga rem. Benar-benar tidak tahan lagi, isi perut seolah ingin meronta keluar, penglihatan juga seolah berputar tidak bisa fokus.

“Sudah sampai?!” seru Julia dengan senang. “Bagaimana, aku bisa mengendarainya dengan cukup mahir bukan? Kenapa kamu terlihat begitu pucat? Kamu mabuk darat, Tricia?”

Patricia menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya pelan-pelan, dia lakukan itu berulang kali sampai rasa mual dan pusingnya hilang.

“Mau kubelikan obat atau minuman yang segar?” tanyanya lagi. Aku menggelengkan kepala pelan untuk meresponnya.

“Lebih baik kamu tidak mengendarai mobil lagi Julia, itu sangat membahayakan orang lain dan juga penumpang sepertiku?” rasa mual di perutku masih juga belum hilang.

“Aku belum pernah menabrak siapa pun selama Erick mengajarkanku bagaimana caranya mengendarai mobil. Ini ketiga kalinya aku membawa mobil Erick dan mobil ini juga masih mulus tanpa tergores sedikit pun,” belanya pada diri sendiri.

“Terserah, pokoknya aku tidak mau lagi naik mobil jika kau yang mengendarainya.” Patricia keluar dari mobil itu. “Terima kasih sudah susah payah untuk mengantarku kesini.”

Sekali lagi, dia menarik napasku dalam-dalam dan menghembuskannya. Rasa mual di perut sedikit membaik saat berada di luar mobil.

“Aku akan mengantarmu lagi jika Erick meminjamkan mobilnya padaku!’ ujarnya heboh dari balik kaca mobil yang dia buka.

“Cepatlah pergi Julia, sudah kubilang aku tidak akan menumpang jika kau yang mengendarainya,” sahutku dengan kesal. Dengan perasaan yang seperti ini, aku bisa saja membentak Julia dan membuatnya sakit hati. Entah kenapa aku bisa sabar menghadapinya meskipun suasana hatiku sedang kesal.

Kulihat Julia tertawa kemudian melambaikan tangannya padaku. Mobilnya menjauh dengan kecepatan yang tinggi. Semoga tidak terjadi apa pun ketika dia sedang membawa mobil. Kulangkahkan kaki imi masuk ke dalam restoran yang menjadi tempat kerja kedua meskipun hanya sebagai pekerja paruh waktu.

Melalui pintu belakang dan segera menuju ruang ganti untuk mengganti pakaian formal dengan pakaian seragam restoran fastfood ini yang berwarna merah dengan celemek hitam. Tidak lupa aku juga mengikat rambut ke belakang dan mengganti sepatu agar lebih nyaman berdiri dalam waktu yang lama. Begitu sampai di dapur, beberapa orang sangat sibuk menggoreng dan beberapa lain sibuk membuat adonan.

“Tidak biasanya kita sibuk seperti ini, maksudku setiap jam makan kita memang selalu sibuk tetapi hari ini kita jauh lebih sibuk dari biasanya. Apa ada sesuatu?” ujarku sambil membantu mereka menyiapkan semuanya.

“Patricia! Syukurlah kamu datang lebih awal, ada seorang pelajar yang merayakan ulang tahunnya dan mentraktir teman-teman satu kelasnya. Seperti yang kamu lihat kita kewalahan dengan semua pesanan yang masuk!” seru salah satu pegawai yang aku tidak tahu namanya karena sebelumnya dia tidak pernah satu shift denganku.

“Serahkan padaku, kau bisa mengurus yang lainnya.” Aku mengambil alih bagian penggorengan ayam yang sedang dia lakukan, sementara dia mengerjakan bagian lain.

Suasana di dapur menjadi semakin panas, karena semua alat masak seperti penggorengan dan juga panggangan menyala, orang-orang yang sibuk berjalan kesana kemari untuk memastikan jumlah pesanan sesuai dengan yang sudah mereka buat, lalu disajikan. Keringat mulai bercucuran padahal belum lama berada di dapur. Belum lagi aku sedikit lapar karena hanya makan sepotong sandwich yang aku buat dari sisa sandwich untuk Karin.

“Apa ada satu atau dua orang dari kalian yang membantuku untuk melayani pesanan? Kerjaan kalian hanya menaruh makanan sesuai dengan pesanan customer lalu memberikan pada mereka, Jeff dan Sam sedang keluar untuk layanan antar makanan!” teriak seseorang, namun tidak ada satu pun yang menanggapinya.

“Kamu, tolong bantu aku di depan. Tidak mungkin aku bekerja sendirian untuk memberikan pesanan mereka.” Aku diam saja karena tidak berpikir dia menunjukku.

“Apa kamu berpura-pura untuk tidak tahu! Dia menunjukmu!” seseorang mendorong bahuku sehingga tanganku terkena cipratan minyak panas. Wajahnya terlihat tidak suka padaku.

“Oh maaf, baiklah aku akan kesana. Kamu tolong gantikan pekerjaanku disini.” Aku segera pergi ke bagian depan untuk membantu menyocokkan pesanan tanpa sempat mengobati luka bakarku lebih dahulu.

Rupanya, anak yang sedang merayakan ulang tahun di tempat ini adalah seorang pelajar dari sekolah yang sama dengan Karin. Melihat seragam yang sama seperti yang dia pakai tadi pagi, seragam sekolah privat terbaik di kota New York. Apa dia ada sini juga dengan teman-temannya sekarang?

Satu jam kemudian, semua kesibukan itu mulai mereda dan tinggal menunggu mereka selesai lalu pergi dari tempat ini. Patricia mengambil orange juice yang menjadi jatahnya, menenggaknya sampai habis. Minuman dingin setelah pekerjaan yang sibuk benar-benar bisa membuat tubuh kembali segar. Sepertinya Karin bukan teman mereka karena tidak melihatnya ada di sini.

“Bisa aku bicara denganmu sebentar?” seorang pegawai yang mendorongku tadi, kulihat tag namanya bernama Milla. Dia masih saja menatapku dengan tidak suka.

“Silakan, ingin bicara apa denganku?”

“Tidak di sini, ikut aku.” Dia membawaku ke bagian belakang, tempat masuk karyawan lalu ke tempat yang paling ujung dan sepi, tempat yang jarang dilalui orang.

“Kenapa harus di tempat sepi?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status