“Nomor siapa lagi yang meneleponku?” Patricia mengernyit begitu melihat layer ponselnya menunjukan nomor tidak dikenal terus meneleponnya. Sudah ada belasan nomor asing yang terus menghubunginya. Tak ingin diganggu lagi, Patricia mematikan teleponnya sebentar. “Kenapa, Kak?” Karin bertanya padaku karena Patricia terdiam cukup lama sambil menatap ponselnya. “Hari ini banyak sekali nomor yang tidak dikenal meneleponku. Mungkin aku harus mengganti nomor agar orang-orang ini tidak menggangguku lagi. Bagaimana dengan Will? Dengan menghubungimu lagi?” Karin mengambil bantal sofa lalu memeluknya. “Ya, hari ini dia cukup menggangguku dengan mengirimkan banyak pesan. Kamu bisa membacanya sendiri kalau mau tahu.” Karin menyodorkan ponselnya pada Patricia dan memperlihatkan pesan yang dikirimkan oleh adik lelakinya itu. Pesan yang dikirimkan William kurang lebih sama seperti yang sebelumnya, meminta uang milik Karin berapa pun yang dia punya. Cara memintanya pun sepertinya sangat mendesak, se
“Mengubah hidupku? Memangnya kamu siapa? Kamu Tuhan? Cukup, jangan bermain-main denganku Sean Fernandez. Aku bisa melaporkanmu pada polisi dengan tuduhan mengganggu orang lain.” Suara di telepon tertawa terbahak-bahak begitu mendengar ancaman yang keluar dari Patricia.“Kamu pikir itu lucu? Aku serius akan melaporkanmu jika kamu terus menggangguku seperti ini,” imbuh Patricia.“Lucu sekali caramu mengancamku. Lebih baik kau tahu dulu dengan siapa orang yang kau ancam, atau kau akan kehilangan semuanya yang kamu punya saat ini.” Kata-katanya membuat Patricia marah.“Kehilangan semuanya? Memangnya apa lagi yang mau kamu ambil dari hidupku? Aku sudah tidak memiliki apa pun lagi yang berharga selain adik dan ibuku. Kamu ingin mengambil mereka? Langkahin dulu mayatku, brengsek!” umpat Patricia dengan kesal.“Aku sama sekali tidak butuh adik dan ibumu, tidak ada gunanya aku mendapatkan mereka. Aku akan membantumu, kau sedang kesulitan keuangan bukan? Aku akan memberikanmu apa pun asalkan …”
Suara-suara pukulan yang membabi buta dan juga erangan kesakitan terdengar di belakang Patricia. Patricia terlalu takut untuk melihat apa yang terjadi di belakangnya, tubuhnya gemetar dengan sangat hebat karena ketakutan. Ingin berteriak minta tolong, tapi dia hanya membuka mulut tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Untuk berlari menjauh pun dia tampak tidak sanggup untuk berdiri, hanya bisa menangis dan berharap ada orang baik yang akan menolongnya.“Dasar berengsek, beraninya menyerang wanita yang berjalan sendirian di malam hari!” hardik seseorang. Tiba-tiba dia tidak berkata apa pun sehingga membuat suasana menjadi sangat hening. Patricia memohon pada siapa pun, jangan menganggu dan pergi saja, tinggalkan dirinya sendiri.“Kamu tidak apa-apa?” suara seorang pria dewasa bertanya dan menghampiri Patricia yang terduduk sambil memeluk kakinya. Patricia hanya diam saja tidak mau menjawab orang itu, siapa tahu dia adalah orang jahat lain yang mempunyai niat yang tidak baik padanya. Saa
Begitu masuk kedalam rumah, Patricia memergok Karin yang sedang bertelepon di ruang tamu. Gerakan mulut Karin memberitahuku bahwa William sedang menelponnya. Patricia bergegas mendekati Karin dan memintanya untuk menggunakan speaker tanpa dicurigai, tentu saja Patricia melakukan itu dengan gerakan mulutnya. Jika dia tidak mau berbicara pada kakaknya, Patricia akan meminta Karin untuk berbicara mewakilinya bicara.“Ayolah Karin, dia pasti memberimu uang kan? Pinjamkan aku beberapa, aku benar-benar sedang membutuhkan uang saat ini,” ujar William di telepon.“Will, kakak sudah memberimu uang yang cukup besar. Kenapa kamu bisa seboros itu menggunakan uangmu? Memangnya kamu pakai untuk apa saja?” Patricia mengetikkan hal-hal yang harus Karin tanyakan di ponselku.“Aku perlu uang untuk pindah apartemen, uang yang dia kirim sama sekali tidak cukup. Ditambah lagi aku juga perlu uang untuk membeli makanan juga uang untuk ikut kelas tambahan. Aku harus bayar untuk bisa ikut, itu akan sangat mem
Patricia dan Karin memutuskan untuk mengajak Mama berjalan-jalan di Central Park yang jaraknya sekitar satu jam setengah dengan naik bus. Selama perjalanan, Mama hanya diam saja sambil mendengarkan cerita-cerita panjang Karin sambil menggenggam erat kedua tangannya. Matanya sama sekali tidak pernah lepas menatap Karin, sepertinya dokter itu benar, Mama merindukan semua anak-anaknya dan kehadiran kami semua bisa membuat Mama lebih kuat dan semangat lagi.“Apa kalian sama sekali tidak menganggapku ada? Aku benar-benar sakit hati karena kalian hanya mengobrol berdua saja sejak tadi, aku benar-benar tidak dianggap.” Patricia pura-pura merajuk pada mama yang duduk bersama Karin di kursi seberang sebelah kiri.“Kamu sejak tadi hanya diam saja dan menatap keluar jendela, kupikir kamu tidak mau bergabung dengan Mama dan mengobrol, jadi kita biarkan saja dia sendirian. Benar kan Ma?” Karin mulai memperlihatkan sifat manjanya di hadapan Mama.“Dari tadi kalian hanya mengobrol berdua saja tanpa
“Kenapa kamu meninggalkannya sendirian untuk membuang sampah?! Bukankah aku sudah menyuruhmu untuk tidak meninggalkannya walau sedetik saja?! Kenapa tidak menunggu aku kembali dan kamu bisa membuang sampah itu? sekarang bagaimana kita mencarinya di tempat seluas ini?!”Patricia memarahi Karin yang begitu ceroboh meninggalkan Mama sendirian hanya untuk membuang sampah yang lokasinya memang tidak begitu jauh dari tempat kami duduk tadi. Karin menelpon Patricia ketika Patricia baru saja menyelesaikan urusannya di toilet dan mengabari kalau Mama hilang. Patricia langsung berlari menemui Karin karena dia mendengar teriakannya di kejauhan. Karin tertunduk merasa bersalah, orang-orang yang sedang lewat juga memerhatikan kami berdua dengan raut penasaran.“Maaf, aku tidak seharusnya memarahimu di tempat umum seperti ini. Aku panik dan takut Mama tidak bisa ditemukan.” Patricia menepuk bahu adiknya pelan, menenangkan adiknya sekaligus dirinya sendiri. Matanya mencari-cari keberadaan ibunya yan
Dokter Malvin datang sedikit lebih lama dari yang seharusnya, dia memakai kendaraan pribadi yang harusnya bisa datang lebih cepat karena tidakperlu memutar jalan seperti naik bus. Patricia memakluminya karena ada pasien rumah sakit yang membutuhkan penanganannya.“Apa dia akan terus seperti itu, dokter? Tidak ada cara lain untuk menenangkannya? Dia sudah menangis cukup lama, aku khawatir Mama akan…” Patricia tidak mau menduga-duga hal yang buruk pada ibunya sendiri.“Tidak apa-apa, dia masih memiliki kemarahan yang sangat besar pada suaminya dan sudah memendamnya terlalu lama. Begitu dia bertemu dengan sosok yang mirip, dia ingin melampiaskan semua pada orang itu dan tentu saja pemicunya adalah orang yang sangat mirip dengan orang yang membuatnya seperti ini, begitu juga dengan yang terjadi di rumah sakit beberapa waktu yang lalu.”Dokter Malvin menenangkan mama dengan merangkulnya dan mengelus lengannya pelan, tangis Mama perlahan semakin mereda sejak dokter Malvin datang. Patricia d
Ternyata orang yang dimaksud oleh Madam Gracia memang Sean Fernandes yang waktu itu. Pria berengsek yang hampir membuat Patricia nyaris mati karena hampir menabraknya dengan mobil, menggoda dan sekarang Patricia kembali berhadapan dengan orang itu di tempat ini. Nasib baik memang tidak pernah berpihak padanya. Dia melihat lelaki itu sedang bersenang-senang dengan beberapa wanita dengan pakaian yang sangat minim.“Yang lain saja, masih banyak yang lain untuk melayani orang itu selain aku,” tolak Patricia mentah-mentah. Dia sama sekali tidak mau berurusan dengan orang itu lagi.“Kamu menolak orang seperti itu? dia akan memberikan uang tips yang sangat besar jika kamu mengantarkan minuman atau melayani kebutuhannya selama dia di sini. Aku tahu kamu sedang butuh uang, manfaatkanlah selagi tidak merugikanmu,” usul Madam Gracia.“Aku memang butuh uang, tapi bukan berarti aku mau melakukan apa pun. Selain itu aku tidak mau mendekati seorang playboy, apa lagi dia menggunakan kekayaan orang tu