Riana dan Hana berpacu dengan waktu, sesakit apapun hati mereka di masa lalu, Hadi tetap menjadi bagian istimewa dalam hidup mereka. "Itu rumahnya, Bu," tunjuk Riana. "Kamu sudah tahu?" tanya Hana sambil melirik anaknya."Mm.. Aku dan Mas Rio pernah kemari, Bu. Setelah Ayah pergi dari rumah. Saat itu kami penasaran, dan masih berharap ayah akan memilih kembali pada kita," jawab Riana. Hana menghela nafas panjang, kedua anaknya memang keras kepala, namun berhati baik. Mereka berdua segera turun dari mobil. Hana berulang kali menelepon Hadi, tetapi tidak ada jawaban darinya. "Koq sepi?" tanya Hana pada Riana. Riana mengangkat bahunya dan menggelengkan kepala. "Jangan-jangan tadi memang jebakan dari Tante Sandra, Bu?" kata Riana. "Tapi tadi Ibu benar-benar mendengar suara ayahmu meminta tolong," jawab Hana. "Ya sudah, kita coba ketuk dulu," Riana mengetuk pintu beberapa kali, sampai akhirnya seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Sudah beberapa kali Riana dan Hana bertemu d
"Menyebalkan! Aku benci wanita itu!" teriak Riana di dalam mobil saat dalam perjalanan pulang ke rumah. Hana hanya menghela nafas dan tetap melihat lurus ke jalan di depannya. "Seharusnya kita gak perlu datang, Bu. Aku gak suka bertemu dengan Tante Sandra lagi. Dia sangat menyebalkan dan munafik. Sepertinya selama ini dia berbohong pada semua orang mengenai kondisi tubuhnya. Lihat! Dia sangat sehat dan lidahnya sangat tajam menghina kita," cerutu Riana. "Sudahlah, Ria! Kita datang untuk menolong ayah. Abaikan saja wanita itu!" ujar Hana, walaupun ia juga merasa geram dengan tingkah dan ucapan wanita yang telah menghancurkan rumah tangganya itu. "Kalau Mas Rio tahu bahwa kita masih mau datang menolong ayah, entah apa yang akan dia ucapkan. Pasti Mas Rio akan sangat kesal pada kita, Bu," ucap Riana. "Sayang, kendalikan amarahmu! Sabar, Nak!" kata Hana. "Mengapa ayah sampai meminta pertolongan pada kita? Apa ayah sengaja membuat kita bertemu dengan wanita licik itu?" geram Riana.
Kondisi kesehatan Hadi semakin memburuk karena sikap Sandra, rasa sesal dan bersalah yang menghantui dirinya. Hadi kembali terkena serangan stroke yang membuat kondisi bagian tubuh sebelah kirinya melemah. Ia harus duduk di kursi roda, kesulitan bicara, dan melakukan aktivitas harian. Sementara Sandra menikmati hari-hari nya untuk mengelola perusahaan, berfoya-foya, dan banyak berkegiatan di luar rumah bersama teman-teman sosialitanya. Sandra mencari seorang perawat untuk merawat suaminya. Sepanjang hari, Hadi dibiarkan merasa kesepian dan tak berdaya bersama asisten rumah tangga dan perawatnya. Itu membuat Hadi semakin tertekan dan larut dalam keterpurukan. Setiap hari Sandra pergi di pagi hari dan pulang saat malam telah larut. Ia tidak mempedulikan Hadi lagi dan dengan sengaja meminta perawat untuk memindahkan Hadi ke kamar tamu. Malam itu Sandra kembali pulang larut ke rumahnya. Tak seperti biasanya, Hadi masih menunggunya di ruang tamu. Hadi duduk di kursi roda dan menghadap
"Apa?! Ayah mengusir kita dari rumah? Mengapa Ayah sejahat itu? Semua harta dan kekayaan sudah dibawa oleh Ayah. Hanya rumah itu yang kita punya sekarang. Ini keterlaluan!" teriak Mario di ujung telepon. Riana mendesah pasrah, ia menjawab, "Orang suruhan Tante Sandra yang datang kemari, Mas," "Kalau ini kemauan Tante Sandra, gak mungkin Ayah gak tahu kan? Aku harus menemui ayah secara langsung. Aku mau bertanya apa maksud ayah melakukan ini pada kita," ucap Mario. Mario memutuskan untuk pulang ke rumah secara mendadak. Ia tidak bisa tenang memikirkan kondisi ibu dan adiknya yang hampir terusir dari rumahnya sendiri. Sore berikutnya, Mario sudah tiba di rumah. Ia hanya membawa tas ransel dan langsung memeluk ibu. "Mas, kita harus bagaimana? Dua hari lagi kita harus meninggalkan rumah ini," kata Riana. "Bu, kita harus menemui ayah dan wanita itu sekarang juga," ucap Mario. Mereka segera menuju rumah Sandra dan Hadi. Kondisi rumah itu sepi dan pintu rumah tertutup rapat. Mario me
Hari hampir gelap ketika Hana, Riana, dan Mario berjalan menyusuri sebuah gang kecil. Mario yang masih tertatih kesakitan berjalan di belakang. Riana melihat sebuah pos ronda dan menuntun Mario untuk beristirahat sejenak."Mas Rio dan Ibu duduk dulu di sini, ya. Aku akan berkeliling dan bertanya, mungkin ada rumah yang disewakan di sekitar sini," kata Riana. Riana berlari kecil ke ujung jalan, beberapa rumah memang sepi dan tertutup. Ia melihat ke sekitarnya dan menghampiri sebuah warung. "Permisi, Bu. Apa ada rumah yang disewakan di daerah sini?" tanya Riana. Pemilik warung itu adalah seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk, ia berdiri dari kursinya dan berpikir sejenak. "Rumah yang diujung dan bercat biru itu pemiliknya di luar kota. Dulu pemiliknya sempat mencari orang yang mau menyewa rumah itu. Coba saya telepon dulu, ya Dek," katanya. "Terimakasih, Bu," jawab Riana. Ibu itu mengambil ponselnya dan berbicara selama beberapa menit di telepon. Setelah itu ia meletakkan kemb
"Ini tidak adil! Sandra, kamu sangat keterlaluan! Jangan mencampur masalah pribadi dengan urusan pekerjaan! Apa kamu belum puas juga menghancurkan hidupku dan keluargaku?"Kali ini Hana yang biasany tenang tidak mampu lagi menguasai dirinya. Sandra tersenyum sinis. Ia menantang Hana dengan tatapan matanya. "Aku suka melihatmu frustasi dan tidak berdaya, Hana. Aku merasa puas melihat hidup kalian hancur," kata Sandra. Hana spontan maju dan menyerang Sandra. Ia mendorong dan menambaknya. Sandra terkejut dan berusaha menahan Hana, tapi ia terlambat mengantisipasi gerakan Hana yang cepat. Sandra terduduk ke sofa, dan Hana menindihnya tanpa ampun. Donna panik dan berusaha menolong Sandra. Ia berteriak meminta semua karyawan menolong dan menarik Hana. Dua orang memegang Hana di sebelah kanan dan kirinya. Sandra duduk terengah-engah dan tersenyum menatap Hana. Rambutnya dan wajahnya kini berantakan. "Apa-apaan kamu, Hana?" tegur Donna. Hana tidak peduli, karena dia juga bukan karyawan
Hadi terlihat terkejut mendengar ucapan Mario itu. Entah mengapa hati Riana terasa sakit dan iba melihat kondisi sang ayah yang tidak berdaya. Hadi melirik Sandra, tetapi tidak ada perkataan yang sanggup keluar dari bibirnya. "Mau apa kalian datang kemari? Meminta bantuan ayah kalian? Lihat kondisi ayahmu, jangankan menolong kalian, menolong dirinya sendiri saja sudah tidak mampu," kata Sandra dengan keras. "Pasti Tante yang sudah membuat ayah sakit," ujar Riana. "Apa urusan kalian? Ayahmu ini sudah membuang kalian. Kalau kalian protes dan melapor padanya tentang penderitaan kalian, percayalah dia gak akan peduli," kata Sandra sambil melipat kedua tangannya. "Gak mungkin!" ucap Riana lirih, namun masih terdengar. "Nur, bawa bapak masuk ke kamar!" titah Sandra. Nur mendekati Hadi dan mendorong kursi rodanya. Hadi meraung dan menolak sebisanya, ia enggan masuk ke dalam kamar yang kini menjadi penjaranya. Namun Sandra tetap meminta Nur membawa Hadi. "Pergi kalian dari rumahku! Ked
"Ria, dengarkan dahulu penjelasanku! Aku sama sekali tidak pernah mendukung dan membenarkan sikap Tante Sandra. Sekalipun aku ada hubungan darah dengannya, aku tahu perbuatannya itu salah," kata David. Riana terdiam, ia memejamkan matanya dan berusaha mencerna perkataan David. Riana sudah terlalu sering melihat kemunafikan, sejak Tante Sandra mengusik kehidupan keluarga mereka. "Maaf karena selama ini aku menyalahkan kamu atas semua perbuatan tantemu, Mas. Aku harap perkataanmu itu benar, bahwa kamu tidak ada sangkut pautnya dengan rencana busuk Tante Sandra untuk menghancurkan keluargaku. Lihat, Mas! Wanita itu tidak pernah puas, sekalipun kami sudah kehilangan semuanya. Dia sudah merebut ayah kami, mengusir kami dari rumah, dan membuat ibuku kehilangan pekerjaan," kata Riana. Sejujurnya beberapa waktu setelah David menjauhinya, hati Riana dipenuhi dengan tanya, apakah keputusannya memutuskan hubungan dan membenci David sudah tepat? Karena Riana merasa David tulus dan tidak menyem