Thea segera menyadari keadaan sekitar, dia membuka matanya. Saat yang pertama kali dia lihat adalah tatapan tajam Thomas, Thea mendadak bisu, tak ada isakan sedikitpun yang keluar dari bibirnya."Apa yang terjadi padamu?" tanya Thomas menatap tajam keadaan Thea. Pupil mata gadis itu bergetar, "A-aku ... " Thea tergagap, tak mampu mengutarakan apa yang terjadi padanya. Thomas yang memiliki temperamen buruk lantas berteriak, memanggil namanya dengan keras."THEA!"Thea tersentak, air mata kembali menetes dari matanya. Thomas tampak menyeramkan, gadis itu semakin menutupi wajahnya dengan selimut. Thomas mengacak rambutnya dengan kasar, urat-urat menonjol dari lehernya."Thea, ayo bicara denganku!" Nada bicaranya berubah menjadi lembut dalam sekejap mata, dengan suara bergetar Thea berucap, "T-tidak mau … k-kau tenangkan dirimu d-dulu!" Thomas mengembuskan napas kasar, berusaha menoleransi sikap Thea yang mengesalkan baginya."Ceritakan semua yang terjadi barusan, tolong. Selain sahabatmu,
Suara pintu diketuk membuat Thea harus terbangun dari istirahatnya, Thea mengucek mata sebentar lalu berjalan menuju pintu utama rumahnya, "Ya!" seru Thea menjawab ketukan pintu."Hai kakak!" suara remaja laki-laki yang baru memasuki masa puber masuk kedalam gendang telinga Thea, "Kenapa Raka, ada yang kau perlukan?" tanya Thea lantaran merasa aneh akan kemunculan anak ini dirumahnya, sebenarnya ia mengira bahwa yang mengetuk pintu rumahnya adalah Thomas. "Apa kau sakit?" tanya Raka berbasa-basi, "Ya, ada apa?" tanya Thea balik. Apakah wajahnya sangat pucat hingga orang yang baru bertemu dengannya menyadari bahwa ia sakit? Raka hanya mengangkat bahunya untuk menanggapi ucapan Thea, kemudian ia menyodorkan sebuah kantung plastik berwarna ungu tepat di hadapan Thea. "Apa ini?" tanya Thea, matanya memandangi wajah Raka lekat. "Tidak tahu," Raka mengalihkan pandangannya dari tatapan curiga Thea ,"buka saja!" seru Raka lalu segera melenggang pergi dari rumah
Thomas telah menyelesaikan administrasi rumah sakit Thea, beberapa saat lalu dia juga kembali untuk membantu Thea berjalan menuju tempat parkir. Wajah pucat Thea terus membuatnya khawatir, meskipun Thea terus mengatakan bahwa dirinya telah membaik Thomas terus saja mengkhawatirkannya."Thea," panggil Thomas ketika sudah berada di dalam mobilnya, wajahnya kembali ceria saat berada didekat Thea, gadis itu hanya menengok ke arah Thomas tanpa menjawab panggilan sahabatnya."Bagaimana rencanamu selanjutnya?" tanya Thomas, Thea hanya menundukkan kepala tanpa menjawab pertanyaan Thomas, beribu-ribu hal masuk dan terpikir di dalam kepala Thea. "Aku harap kau kembali memikirkan ucapanmu waktu itu," ujar Thomas kemudian melanjukan mobilnya meninggalkan gerbang rumah sakit.Jalanan sore ini cukup lenggang, dengan awan yang bersinar kemerahan Thea terus memandang keluar kaca, matanya menatap dahan-dahan dari pohon besar bergoyang akibat burung yang bertengger di atasnya. Angin
"Terserah, tapi Thea aku berharap kau tidak akan membuat keributan di cafe. Jangan pernah muntah karena morning sickness, itu akan membuat pelangganku kabur!" Thea termenung, Thomas yang dia kenal bukanlah orang yang seperti ini. Biasanya Thomas akan selalu memperhatikannya, lagipula Thomas juga pasti tahu, morning sickness tidak bisa dikendalikan oleh ibu bayi. Thea dengan perasaan yang campur aduk menganggukkan kepalanya, ia harus memaklumi bahwa setiap orang bisa berubah. Mungkin Thomas yang di sampingnya saat ini bukan lagi Thomas yang menjadi kawan semasa kecilnya.•••Thea sampai di rumahnya pada malam hari, Thea langsung membersihkan tubuhnya saat setelah berada di rumah. Rumah yang dibeli dengan uang hasil penjualan asetnya ini benar-benar nampak kumuh. Dinding yang telah mengelupas dan lantai yang berwarna kekuningan sama sekali tak Thea pedulikan. Bagaimanapun juga harga apartemen jelas lebih murah daripada harga rumah, beruntung Thea bisa membeli rumah dengan kondisi yang
"Apasih, kenapa kau membenciku! Aku itu kan ayahmu!" bentak Richard, suaranya menggelegar mengagetkan Thea. Sebenarnya dia telah seringkali mendengar suara dengan nada ini, tapi tak pernah sekalipun Thea bisa terbiasa. Thea menarik nafas panjang, berusaha mendapatkan ketenangannya kembali."Kau masih bertanya mengapa aku membencimu, ayah? Kau sungguh masih bertanya?" Thea tersenyum saat mengatakan hal itu, berusaha menutupi rasa sakit yang terasa di hatinya. Rasa sakit mulai menjalar, melewati setiap saraf yang ada di tangannya. Rasa nyeri menyebar ke seluruh tubuhnya, ini adalah rasa sakit yang selalu ia rasakan saat berbicara dengan ayahnya. Rasa sakit itu terus menjalar melewati jari-jarinya, tangan Thea terkepal menahan rasa ngilu. "Ibuku, kau meninggalkannya saat setelah melahirkan. Kau bahkan tidak pernah memperbolehkan aku untuk bertemu dengannya. Kau," Suara teriakan menggema, hal itu berasal dari Richard. Pria tua yang memiliki jiwa arogansi yang tinggi tak mu
Thea menoleh saat merasakan tepukan di bahunya, Thea berjingkat kaget saat berbalik untuk melihat siapa yang menepuk pundaknya. "Ah Raka, kenapa?" tanya Thea. Kenapa anak itu bisa sampai di daerah ini? Biasanya Raka hanya ada di pinggiran kota, sedangkan ini di tengah kota.Raka yang memandang wanita di depannya ini dengan pandangan aneh, Raka hanya menepuk pundaknya lalu mengapa Thea sampai harus berjingkat kaget seperti itu? "Maaf aku menyentuhmu, sedari tadi saat aku memanggil namamu kau sama sekali tidak menjawab," ucap Raka menjelaskan. Ia tak ingin dipandang aneh karena telah menyentuh orang lain tanpa izin terlebih dahulu."Ah ya, tak apa. Aku memang sedang termenung tadi. Jadi Raka, apa yang kau butuhkan?" Thea memandang anak remaja di depannya dengan pandangan penuh selidik. Biasanya walaupun mereka bertemu secara tidak sengaja, Raka tidam akan pernah menegurnya. Tak ada hal yang istimewa tentang hubungannya dengan Raka.Raka mengeluarkan sebuah a
Suara telepon berdering memecahkan suasana di dalam mobil yang hening, nama Thomas terpampang jelas di sana. Waktu menunjukkan bahwa Thea sudah sangat terlambat untuk datang ke tempat kerja. Wanita yang berumur hampir seperempat abad itu menghela nafas panjang sebelum akhirnya menggeser naik tombol hijau yang tertera pada layar ponselnya.[Olá Thomas, Bom Dia ...] [Halo Thomas, selamat pagi …] sapa Thea, keringat dingin mengalir di pelipisnya saat tidak mendengar sahutan apapun dari seberang. Hanya suara nafas yang terdengar, telapak tangan Thea mulai mengeluarkan keringat.[Thomas?] [Thomas?] panggil Thea sekali lagi, baru setelah itu terdengarlah suara sahutan dari seberang yang membuat Thea akhirnya bernafas lega.[Sim. Bom dia também Thea, você está com problemas?][Ya. Selamat pagi juga Thea, apa kau sedang berada dalam masalah?] sahut Thomas pada akhirnya. Dalam keadaan seperti ini sebisa mungkin Thea harus berkata jujur,
Ekspresi itu hanya muncul saat Thomas berada pada puncak amarahnya, berbeda dengan saat berada di dalam mobil kemarin … Thomas saat itu masih bisa mengendalikan dirinya. Thea menunduk, pasrah akan hidupnya. Bagaimanapun Thomas adalah orang yang lebih mengerikan dari pada ayah atau seluruh mantan keluarga besarnya."M-maaf," Hanya itulah kata-kata yang mampu terucap pada lisan Thea. Ruangan hening, Thea masih menunduk sementara Thomas tak memberikan jawaban apapun. Hanya suara detik jam yang menjadi tanda bahwa waktu terus berjalan, sama sekali tidak berhenti."Duduklah!" perintah Thomas menunjuk kursi di depan sofa tempatnya duduk. Thea menggigit bibir cemas, dengan langkah yang sangat pelan dia berjalan ke arah sofa. Ruangan ini memiliki desain yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan beberapa minggu lalu, karena Thomas telah merombak keseluruhan isi dari ruangan ini. Saat Thea bertanya mengapa, hanya senyumanlah yang Thomas berikan sebagai jawaban untuk Thea.