"Guru, anda yakin semua akan baik-baik saja?"Arya segera mempercepat langkahnya dan berjalan di sisi kanan Sudarta saat menyadari belasan pasang mata menatap tajam kearah mereka sambil berbisik. Dia, mulai merasa tidak nyaman, karena para penduduk desa itu seperti sedaang mendiskusikan sesutu."Jangan khawatir, mereka tidak akan berani melakukan apa-apa selama kita memegang pedang .... " Jawab Sudarta pelan, sambil memperhatikan bangunan-bangunan disekelilingnya."Bu.. Bukan itu maksudku guru, apa anda tidak merasakan keanehan dari sorot mata para penduduk desa itu?" Sahut Arya cepat."Sorot mata mereka?" Sudarta terdiam sesaat. Namun, ketika dirinya hendak mengamati lebih jelas orang-orang di sekitarnya, seorang wanita tiba-tiba menabraknya hingga terjatuh."Ah, maaf tuan ...." Wanita tua itu segera bangkit dan kembali berjalan cepat kearah gerbang desa."Hei tunggu nyonya, anda menjatuhkan sesuatu," Sudarta mengambil gulungan kecil yang tergeletak ditanah sambil memanggil wanita it
Sekar menarik nafas panjang sebelum menceritakan semuanya pada Sudarta. Sambil, sesekali memijat keningnya yang mulai terasa sakit, gadis itu juga menjelaskan, jika sebenarnya masalah ini tidak terkait langsung dengan Sayap Iblis."Begitulah kira-kira garis besarnya tetua. Semua masalah ini sebenarnya berawal dari beberapa pemuda Karang Waringin yang merampok dan membunuh putri ketua suku Tringgani..." Ucap Sekar menutup penjelasannya."Dan sekarang mereka ingin menuntut balas?" Kejar Sudarta cepat.Sekar Pitaloka mengangguk pelan, sebelum menyambar gulungan kecil yang ada didekatnya, dan menulis sesuatu."Harusnya aku membunuh mereka semua saat pertama kali tiba di desa ini.""Kenapa kalian tidak segera pergi dari desa ini jika sudah tau akar masalahnya?" Tanya Sudarta cepat."Kami tidak bisa melakukan itu tetua karena, ada sesuatu di desa ini yang harus kami lindungi," Jawab Sekar."Jangan bodoh! Suku Tringgani tidak akan berhenti memburu kalian sampai semua yang terlibat tewas!"Ar
"Meredam amarah mereka?"Wajah Sekar seketika berubah saat mendengar jawaban Arya. Dia, yang awalnya mengira pemuda itu adalah anak yang pintar, terlihat kecewa karena sempat berharap padanya."Dengar nak, jika semua masalah di dunia ini bisa diselesaikan dengan bicara, tidak akan ada pertarungan dan permusuhan antar perguruan..." Sekar segera bangkit dari duduknya, dan meminta Arya untuk bersembunyi diruangannya sementara waktu."Bersembunyilah sementara waktu di ruangan ini, sampai gurumu datang. Aku akan meminta ...""Kalian tak akan bisa menyelesaikan masalah ini dengan pertarungan nona, dan jika kau tetap memaksa, puluhan penduduk desa akan mengerang nyawa ditangan mereka," Potong Arya cepat."Lalu apa yang harus aku lakukan? Mengajak mereka bicara baik-baik, dan mengatakan jika anaknya tidak sengaja terbunuh?!!!" Sahut Sekar sambil menyambar pedangnya."Tunggu, beri aku waktu beberapa jam untuk bersiap, dan setelah itu ....""Brak!""Nona..."Belum selesai Arya bicara, seorang p
Dibawah guyuran hujan dan sambaran petir yang terus menggelegaar, dua pria setengah baya terlihat berdiri tegak, diantara tumpukan mayat yang bergelimpangan sambil saling menatap satu sama lain.Sekilas tak ada yang aneh dengan mereka, namun jika dilihat lebih dekat, tetesan air yang mengguyur keduanya perlahan berubah memerah, karena bercampur dengan darah segar yang terus keluar dari luka sayatan pedang di tubuh masing-masing."Wiratama, aku cukup terkejut dengan ilmu kanuraganmu yang ternyata tidak lebih besar dari namamu! Sepertinya, julukan Dewa Pedang yang disematkan padamu terlalu berlebihan ..." Ucap salah satu pria berbadan besar yang terlihat lebih tua, sambil terkekeh puas.Pria setengah baya yang dipanggil Arya Wiratama itu tidak langsung menjawab. Dia masih cukup terkejut dengan kekuataan puluhan pendekar misterius yang muncul tiba-tiba di area pertarungan itu.Bagaimana tidak, hanya dalam waktu tak sampai tiga jam, para pendekar sakti aliran putih yang dipimpinnya tewas
"Ra.. Rasa sakit ini? Inikah yang dinamakan kematian?!"Arya Wiratama merasakan sakit yang luar biasa sesaat setelah kepalanya terpenggal oleh pedang Harsa Wiseso. Dia yang menyadari jika waktunya di dunia sudah habis, kemudian mencoba untuk meredam penyesalan dihatinya dan melupakan kejadian tragis yang baru saja dialaminya.Arya jelas tak ingin mati penasaran serta membawa penyesalannya ke alam kematian. Dia merasa sudah cukup dan ingin mati dengan tenang setelah apa yang dilewatinya semasa hidup.Namun semakin Arya Wiratama berusaha meredam rasa bersalah itu, hatinya justru semakin sakit, menggantikan rasa sakit ditubuhnya yang perlahan mulai menghilang."Dasar bodoh! Apa kau pikir bisa melupakan semua kesalahanmu yang telah mengakibatkan terbunuhnya ratusan pendekar aliran putih?!" Arya Wiratama seketika tersenyum kecut saat mengingat kembali apa yang baru saja terjadi.Walau kemunculan para pendekar misterius itu bukan sepenuhnya salahnya, tapi penyerangan besar-besaran para pend
"Perguruan Racun Selatan?! Ah sial, kenapa mereka selalu muncul disaat yang tidak tepat," Sudarta langsung menendang kayu bakar yang berada di dekatnya. Dia berusaha menahan jarum beracun yang bergerak mengincar Arya dengan kecepatan tinggi."Hei nak, cepat menjauh!" Teriak Sudarta sambil mencabut pedangnya.Arya mengangguk cepat, dia kemudian bergerak mundur, sambil menghindari lesatan beberapa jarum beracun yang lepas dari pengamatan Sudarta."Kakek, perhatikan sisi kananmu!!" Teriak Arya Wiratama cepat ketika teringat pada salah satu pendekar Racun Selatan yang dulu bersembunyi dibalik pohon dan berhasil membunuh Sudarta."Si... Sisi kanan?!!" Belum sempat Sudarta memahami ucapan Arya, lima pendekar Racun Selatan muncul dari segala arah dan langsung menyerang."Bedebah!!! Apa kalian hanya bisa bertarung dengan cara seperti ini!" Sudarta memutar tubuhnya di udara sebelum menyambut serangan mereka bersamaan."Jurus pedang Dewa Naga naik ke langit!""Tap!"Saat serangan pedang mereka
Arya kembali merasakan sakit yang luar biasa diseluruh tubuhnya saat mendapatkaan kembali kesadarannya. Namun berbeda dari sebelumnya yang tidak bisa langsung bergerak karena kehabisan tenaga, kini, dia merasa tubuhnya begitu bugar seolah sudah tertidur cukup lama."A ... Aku masih hidup?!" Ucap Arya pelan sambil memeriksa dadanya yang terkena tapak penghancur tulang para pendekar Racun Selatan."Oh kau sudah sadar? Kupikir akan butuh waktu beberapa hari untukmu siuman,""Beberapa hari?!! Memangnya, sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?" Balas Arya pelan sambil menoleh ke arah Sudarta yang duduk tidak jauh darinya."Sepertinya empat atau lima jam," Jawab Sudarta cepat."Hanya empat jam?!! Tapi bagaimana mungkin, aku bahkan merasa tubuhku begitu bugar dan...""Para pendekar yang menyerang kita tadi, adalah anggota Racun Selatan yang mengincarku dan sekarang, kau sudah terlibat dalam masalah ini.. Jika dirimu tidak memiliki tujuan, ikutlah denganku karena mereka pasti akan mengincarm
"Kenapa? Apa kau bisa menebak orang yang akan kutemui?!!" Wajah Sudarta berubah serius ketika melihat reaksi terkejut Arya."Ah tidak guru, aku hanya terkejut guru memiliki kenalan di desa kecil ini... " Jawab Arya sambil memasang wajah polos.Sudarta kembali terdiam saat melihat wajah Polos Arya Wiratama. Dia mulai merasa bersalah karena sempat curiga pada anak itu."Sepertinya, aku sudah terlalu berlebihan mencurigai anak ini," Ucap Sudarta dalam hati sebelum mengajak Arya menuju desa kecil, yang terlihat dikejauhan itu."Seseorang yang kutemui ini adalah teman masa kecilku. Lagupula tidak ada larangan bagi seorang pendekar untuk berteman dengan siapa saja, termasuk orang biasa selama bukan berasal dari aliran hitam," Jawab Sudarta pelan.Arya tampak tersenyum kecil, walau Sudarta merendah dengan mengatakan temannya itu orang biasa, tapi dia tahu sosok yang akan mereka temui kali ini bukan orang biasa."Anggara Dwipa ... Jika aku boleh menebak, pendekar jenuis itu yang akan ditemuin