“Good morning class, this is your lecturer, David. I will teach and share my knowledge in this class for this semester. The terms and conditions would be shared in your chat room, any questions?” Pria berusia 30-an itu sedang berkacak pinggang, menelisik ke seluruh ruangan. Atmosfer terasa sangat tegang, karena sekolah hukum terkenal dengan dosen yang kaku dan tidak bersahabat.
“If there are no questions, let’s jump to the next section. Who wants to volunteer as the head of this class?” David berusaha menemukan tangan yang terangkat di antara dua puluh mahasiswa yang hadir dalam ruangan tersebut.
“I volunteer, sir!” suara itu memecah keheningan kelas.
David melempar pandangan ke arah anak tersebut, “Okay, great. what’s your name?”
“Its Allen. Allen Astro Hasibuan, sir!” mendengar nama tersebut, seluruh mahasiswa di kelas ramai berbisik “pasti dia pure blood!”.
“Thanks, Allen. Now I need the vice, who wants to volunteer?” David kembali melihat dan menunggu siapa yang akan mengangkat tangan.
“Me, sir. Seline Prima Danuarta,” Seline mengangkat tangannya. Lagi-lagi seluruh pandangan kelas tertuju padanya.
“Okay Allen and Seline, meet me after class at the library.” David meminta agar kedua orang tersebut dapat membantunya mengurus kelas dan mengumpulkan tugas.
“Then, for the rest please give me your opinion about the murder case Ferdy Sambo to Yoshua Hutabarat,”
Pertarungan opini dalam kelas tersebut cukup sengit, diantaranya terdapat Seline yang cukup menonjol dengan argumentasinya, membuat David mengangguk-angguk senang. “I appreciate your opinion Ms. Danuarta, that’s excellent,”
“I also have to give much appreciation to this class, especially for Alina. Both of you really make me satisfied,” David juga terkesan dengan kemampuan Alina walau tidak sebaik Seline.
“In the 3rd semester, I will hire an intern program, and help me with real cases. I hope you are all interested. See you next week class,” David pergi meninggalkan ruang kelas, diikuti oleh Allen dan Seline.
“Hah… gila gak? baru hari pertama diskusinya udah kek gini? Buat gue yang gada basic soshum sama sekali, bingung banget,” ucap perempuan muda yang duduk di sebelah Alina.
Perempuan cantik dengan rambut dan mata cokelat terang itu menghela nafas dan melanjutkan keluhannya. Selama di kelas, dirinya hanya diam dan tidak melontarkan opini apapun dalam diskusi kelas. Mendengar keluhan yang terus menerus itu, Alina tersenyum kecil dan sesekali terkekeh.
“Oiya, gue udah bicara panjang lebar, tapi gue lupa kenalan,” ia menjulurkan tangan yang terbalut kemeja putih bergaris hitam halus. Kulitnya kuning langsat, tubuhnya tinggi dan proporsional. “Hai, gue Namira,” ujaran itu keluar dari bibir indahnya dengan lesung di bawah matanya.
“Alina,” cepat-cepat Alina menjabat tangan dan ikut tersenyum, menampakkan giginya yang rapi dan apple cheeks yang menonjol.
“Whoa, jujur, gue kira lu orang yang serius dan kaku. Lu kalo senyum cantik banget,” ucap Namira yang terpukau dengan wajah Alina.
“Yah, gue tau sih kalau gue cantik, lu ga usah repot-repot muji,” balas Alina seraya terkekeh bercanda.
“Sialan juga ya lo, emang boleh sesombong itu?” lagi-lagi keduanya terkekeh. Mereka tahu, mungkin saat itu adalah awal persahabatan dari mereka berdua. Sedang orang-orang yang masih berada di kelas tersebut tertegun. Sungguh kombinasi persahabatan yang menyilaukan mata.
“Kantin yuk, otak gue butuh asupan makan!” Namira memegangi kepalanya, pusing.
“Okay, gue juga ga bisa banget nahan laper. Yuk,” ajak Alina.
Mereka berdua berjalan menuju kantin dengan tatapan kagum dari orang-orang yang mereka lewati. Betapa tidak? Dua makhluk dengan visual model sangat jarang ditemukan di sekolah ini. Rata-rata diantaranya berpenampilan kaku dengan warna-warna monokrom. Alina dan Namira tampil dengan warna pastel dengan paduan senada, namun dengan nuansa formal.
Dari arah yang berlawanan, terdapat Seline dan Allen yang berjalan berdampingan. Visual mereka tak kalah menawan, sangat harmonis. Allen, pribumi dengan wajah eurasia dan badan tegap berwibawa. Melangkah kecil mengikuti irama Seline dengan kulit putihnya dan vibes imut menggemaskan.
Alina dan Seline bertatapan, seperti saling siaga satu sama lain. Alina kira, Seline akan mengatakan hal-hal tidak berguna yang menyakitinya. Di luar dugaan, Seline hanya berjalan melaluinya tanpa mengucap sepatah katapun. Alina menoleh ke belakang, Seline sungguh pemain yang tidak dapat ditebak.
Sesampainya mereka di kantin. Tiba-tiba ada seorang mahasiswi yang berjalan ke arah Seline dan Namira.
byur
Perempuan itu menumpahkan segelas air ke wajah Alina.
“You b*tch!” ujar perempuan itu dengan wajah memerah marah.
*****
“Bu, kami sudah menyortir lukisan-lukisan yang mungkin anda suka,” pegawai tersebut sedikit membungkuk sopan. Di seragamnya terdapat bordir tulisan “Trisia Art Gallery”.
“Baik, terima kasih Sam. Temani saya untuk melihat-lihat hasil karya itu,” Trisia langsung berdiri dan menghampiri tempat lukisan-lukisan tersebut berada. Menurutnya kegiatan ini sangat mendebarkan dan penuh dengan semangat.
“Hari ini, saya menemukan lima lukisan. Terdapat dua lukisan karya pendatang yang saya soroti karena memiliki judul yang sama,” Samuel menunjuk ke dua lukisan yang sama-sama berjudul “Dendam”.
Trisia melihat dengan detail dan cermat. Digunakannya kacamata The Jewel, sambil meraba tekstur keduanya. Trisia mengangguk-angguk dan tersenyum. Lukisan-lukisan selalu membuat ia larut dalam interpretasinya sendiri.
“Karya milik Pigeon selalu menarik perhatian saya. Seperti karyanya yang berjudul “Alone”. Tapi kali ini, Ranum Rampani memukau dengan cara yang berbeda” Trisia kembali memandangi lukisan tersebut dengan penuh kekaguman.
“Pajang lainnya di ruang pendatang. “Dendam” Ranu Rampani pasang di ruang kerja saya, kirim surel padanya dan bilang saya ingin bertemu,” ujar Trisia tanpa mengalihkan pandangan dari lukisan tersebut.
“Baik Bu,” Samuel undur diri untuk memanggil pekerja lainnya dan membawa lukisan-lukisan tersebut.
Ponsel Trisia berdering, menampakkan nama Lesmana di layarnya. Trisia mengangkat telepon itu dan tersenyum, mengatakan hal-hal rayuan dan indah. Keduanya seperti sedang kasmaran, merangkai cinta lama.
Setelah menutup ponsel, raut wajah Trisia berubah. Senyumnya telah surut, tergantikan dengan wajah jijik yang jengkel. “Lesmana, jangan kamu kira semudah itu menghapus kesalahanmu di masa lalu,” Trisia melangkah pergi, meninggalkan “Dendam”.
***“You b*tch!” ujar perempuan itu dengan wajah memerah marah.Namira memekik kaget melihat apa yang terjadi di depannya, “Who are you? What’s wrong with you?”“Do you know her?” Namira beralih bertanya kepada Alina.Alina menggeleng tidak tahu. Dirinya juga bingung, apa gerangan yang terjadi, kenapa ia harus disiram air? Memang apa salahnya?Perempuan itu disusul dengan dua perempuan lainnya dan bertanya kepada Alina, “Lo ya yang namanya Alina?”“Dasar maba gak tahu diri, baru sehari ngirup udara kampus udah belagu mau ngerebut cowo orang!” ujar lainnya.Alina masih tidak memahami apa yang terjadi. Hari ini ia sama sekali tidak mengobrol dengan pria manapun. Bahkan untuk urusan perkuliahan, Alina lebih memilih untuk membicarakannya dengan Namira.“Jangan pura-pura polos deh lo. Bisa-bisanya lo ngasih surat yang isinya rayuan-rayuan receh dan murahan ke Mr. David. Dia tunangan gue!” pekik perempuan yan
"Plakk!"“Papa! Kenapa papa tampar Alina! Salah Alina apa?” dengan suara lirih dan takut, Alina memberanikan diri untuk bertanya kepada Lesmana.“Masih bisa bertanya kamu?” dada Lesmana naik turun, wajah dan telinganya memerah marah. “Baru satu hari kamu berkuliah, kamu sudah memalukan!” bentak Lesmana sambil menunjuk ke arah Alina.“Kamu tahu Alina, Papa adalah alumni terhormat dan banyak kolega papa di sekolah itu. Bisa-bisanya kamu membuat papamu malu dengan merayu dosen!” mendengar hal itu, Alina langsung berani menatap kedua bola mata Lesmana. Di belakang papanya terdapat dua manusia terkutuk yang menahan senyum puasnya.“Papa, papa harus percaya, bukan Alina yang melakukan itu, pa. Alina dijebak, itu semua perbuatan Seline!” air mata Alina sudah menggenang, siap jatuh. Seline tidak goyah, senyumnya hilang dan menampakkan wajah sedih.“Alina, aku tau kamu ga suka dengan aku dan mama semenjak kami pindah ke sini. Tapi aku nggak sangka kamu nuduh aku kaya gitu di depan papa!” air m
Sehari sebelumnyaKesalahpahaman antara dirinya dan David membuat hubungan mereka semakin kaku. David sama sekali tidak menerima pesan dan pertemuan pribadi dari Alina. Padahal Alina sudah meminta maaf dan mengatakan bahwa itu bukan salahnya. Alina sering menghubungi David karena ia sangat menyukai Hukum Pidana dan ingin mendiskusikan terkait hal itu.Setelah empat bulan, David akhirnya kembali mau membuka diskusi antara dirinya dan Alina. Akan tetapi, masih sebatas bertukar pesan. David juga tidak ingin membuat Alexa salah paham dengan dirinya dan Alina.Sekarang, Alina sangat membutuhkan surat rekomendasi dosen untuk mendaftar sebagai anggota BEM. Alina berusaha untuk menghubungi david untuk bertemu dan mendiskusikan surat rekomendasi, namun David menolak untuk bertemu.Setelah kelas usai, Alina berniat untuk mengejar David. Hasilnya tetap nihil, David sama sekali tidak mau bertemu secara personal dengan Alina. Alina kemudian terduduk lesu di depan kelasnya. Rasanya lelah dan ingin
ting tong ting tongSuara bel berbunyi nyaring, menandakan ada seseorang di balik pintu. Cepat-cepat pintu itu dibuka, dan menampakkan sosok laki-laki tinggi tampan mengenakan kemeja maroon dan celana kain. Laki-laki itu tersenyum pada sang pembuka pintu, kemudian melangkah masuk.“Allen! lo udah dateng?” Alina melonjak senang dan segera menghampiri sosok itu. Di hadapannya, Alina menggunakan dres merah beludru, benar-benar sangat serasi dipandang. Alina menggandeng Allen dan mendampinginya ke dalam suatu ruangan. Di sana, sudah terdapat tiga orang yang duduk di meja makan persegi panjang. Tentu Lesmana di ujungnya, diikuti Trisia dan Seline di sisi timur. Sedang Alina dan Allen akan duduk di sisi barat.Alina duduk di sebelah ayahnya, kemudian Allen berseberangan dengan Seline. Allen memandangi Seline yang sedang membuang muka, tak mau melihat ke arahnya. “Oke, sepertinya semua sudah berkumpul, mari kita berdoa sebelum makan,” kepala keluarga itu memimpin doa, dan yang lainnya menu
Menginjak semester 2, Alina disibukkan dengan kegiatan perekrutan BEM. Dirinya memutuskan untuk gabung di organisasi tersebut untuk memperluas relasinya. Kalau-kalau rencana pelarian Alina berhasil, dirinya tidak akan kesusahan untuk menemukan kolega.“Oke, tahapan seleksi akan berjalan selama satu bulan penuh. Kalian akan melalui proses wawancara, magang divisi, dan evaluasi. Semua ketentuan dan syarat sudah tertera di juknis,” Ronald menatap satu persatu mahasiswa yang hadir dalam ruangan tersebut.Setelah semua rangkaian pertemuan selesai, ketua rekrutmen BEM tersebut menghampiri Alina. “Hai Al. Akhirnya lo gabung BEM ya, gue apresiasi kemauan lo untuk mengubah masa depan,”.Alina malas menanggapi Ronald. Entah mengapa, dirinya merasa Ronald punya maksud lain ketika menghampirinya. “
Drrt.. drt.. Ponsel Alina bergetar singkat, menampakkan pesan dari nomor tak dikenal. Sang pemilik sedang enggan membukanya. Dirinya sedang serius menorehkan cat ke kanvas. Menggambar lukisan abstrak, dengan gabungan warna-warna neon yang cerah. Saat melihat torehan cat itu, Alina membayangkan bentuk abstrak dari mimpi. Ketika seseorang berkata bahwa mereka memiliki mimpi, seperti apakah mimpi itu? Apakah berwarna cerah, atau pastel, bahkan abu-abu? Mungkin akan langsung tergambar situasi dan kondisi yang manusia itu harapkan. Alina tentu juga punya, mimpi yang diinginkannya. Warnanya cerah seperti tone cat yang berada di hadapannya sekarang. Setelah menjual beberapa lukisan kemarin, perasaan hatinya mulai ringa. Karena, berarti karyanya dapat dinikmati oleh orang lain. Kemudian, Alina teringat dengan salah satu lukisan yang menurutnya cukup kontroversial. Ada seorang anonim yang sengaja membeli lukisan itu darinya. Mungkinkah mereka berdua memiliki musuh yang sama? Atau malah, ka
“Papa dengar kalian berdua diminta untuk tampil di Law School Graduation, ya?” tanya Lesmana sembari mengunyah makanan kepada kedua putrinya. Alina dan Seline mengangguk. Pihak kemahasiswaan menghubungi mereka berdua untuk tampil solo dengan memainkan alat musik. Memang, kelulusan di Law School selalu memamerkan bakat para mahasiswanya secara besar-besaran. Karena, di sana hadir berbagai macam orang dengan berbagai macam latar profesi. Tentu, jika salah satu dari mereka tertarik, maka mahasiswa tersebut sudah pasti dapat menapaki masa depan yang gemilang. “Papa pasti nonton kan, ini perdana Seline bawain piano loh!” Seline menampilkan senyum termanisnya di depan sang ayah. Alina hanya dapat memutar kedua bola matanya, terganggu dengan Seline yang sangat bermuka dua. “Lo, Seline, bukannya kamu lebih ahli main biola, ya?” Lesmana sangat penasaran kepada kemampuan berpiano Seline. Bukankah anak ini baru belajar piano selama lima bulan? “Seline udah bisa main lagu yang rumit, kok p
“Gue benci banget sama Ronald!” Alina menggebrakkan tangannya ke meja kelas. Namira yang duduk di sebelahnya berjingkat kaget. “Lo apa-apaan sih, Al. Baru masuk kelas udah jelek aja mood lo!” Namira heran dengan kelakuan Alina. Biasanya Alina bersikap tanpa emosi dan cenderung datar. Entah setan mana yang merasuki dirinya hari ini. Alina menenggelamkan wajahnya ke dalam kedua tangannya. Ronald membuat perasaannya seperti di roller coaster. Setelah memberinya kehangatan yang nyaman, Ronald membawa hatinya pada puncak paling tinggi di lintasan. Namun layaknya roller coaster, perasaan tersebut cepat sekali terjun ke lintasan paling dasar. “Al? Lo gapapa kan? Emangnya Ronald ngapain lo lagi?” Namira memang mengetahui banyak hal tentang Alina. Karena saat ini, Alina sangat yakin Namira adalah satu-satunya orang yang berada di pihaknya. Namira tidak butuh keuntungan maupun pertolongan apapun dari Alina dan keluarganya. Keluarga Namira sudah cukup terpandang dan berpengaruh di negeri in