Plakk
Satu tamparan mendarat di pipi mulus Alina. Perempuan itu mendesis kesakitan. Ia kira, jika sudah mengalaminya berulang kali, rasanya tidak akan sakit lagi. Air matanya dengan sekuat tenaga bertahan agar tidak jatuh. Dia harus kuat, tinggal sedikit lagi, rencananya akan sempurna.
“Kenapa kamu sangat egois Alina, papa tidak menyangka,” pria itu menghela nafas, “Walau tidak sedarah, kalian itu saudara, tidak seharusnya kamu berbicara seperti itu!”. Dengan wajah merah padam, Lesmana berjalan pergi, meninggalkan tiga wanita di ruang makan.
Salah satunya tersenyum, Seline. Sebagai anak baru di rumah ini, dia cukup pintar mengambil hati papa Alina . Rupanya, sedari kecil ibunya mengajarkan ilmu playing victim. Oleh karena itu, keduanya sangat mirip. Pemandangan itu mengiris hati Alina.
Seline, masih dengan senyum yang melengkung di bibirnya berkata, “Alina yang cantik, makanya ga usah sok deh jadi orang, pake cara mau ngaduin gue ke papa, hahahahah,” gelak tawanya terdengar menjengkelkan.
“Alina, lo udah bukan anak kesayangan lagi di sini, tahta itu udah turun ke gue! lebih baik lo tau diri ya,” cercanya dengan congkak.
Alina tahu dan sadar akan hal itu, dan membenci fakta bahwa dirinya tidak bisa melakukan apapun. Alina enggan bersuara, lalu beranjak dan pergi ke kamarnya dengan tenang. Pikirannya kalut, dilihatnya foto perempuan cantik mengenakan maxi dress yang sedang tersenyum ke arahnya.
“Mama, Alina kangen, apa mama ga bisa kembali?” air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya turun juga. Alina terisak, dunia ini sungguh tidak adil baginya, semua jahat.
Setelah menangis beberapa saat, Alina tersadar. Untuk keluar dari situasi yang menyesakkan ini, dia harus terus menjalankan rencananya. Alina beranjak, duduk di atas kursi belajarnya dan mulai menorehkan cat di kanvasnya. Dengan tekad yang penuh, tangannya mantap menggenggam kuas. Di atas kanvas itu, di ruangan kamarnya, Alina menciptakan “Dendam”.
*****
“Papaaaa, guru biola Seline kemarin bilang, kalau Seline mungkin bisa coba alat musik lainnya, Seline mau kursus main piano dong papa,” Seline bergelayut manja di lengan sang Papa.
“Seline, sudah jelas kamu punya bakat bermusik, bukannya kamu sudah memenangkan banyak kontes main biola, ya?” Lesmana tersenyum hangat.
“Iyaa sih paa, tapi Seline tetap mau kursus piano pah, biar nambah skill Seline, bukannya papa malah bangga ya, punya anak yang multitalent?” Seline mengerucutkan bibirnya, lebih merayu.
“Tentu papa bangga, sayang. Tapi apa nggak mengganggu kuliahmu? Kamu kan, baru masuk di Law School yang sama dengan papa dulu, dan itu berat,” jawab Lesmana.
Alina mengernyit, rasa-rasanya Seline lebih mirip papanya. Hal itu membuatnya terganggu, kenapa bukan dia yang mirip papanya, malah orang lain. Lagi-lagi Alina menghela napas, merasa asing dan terkucilkan di keluarga ini.
“Ah enggak dong, pa Seline kan pinter. Seline yakin bisa berprestasi saat menjadi pianis, tapi juga excellent di kelas, you should trust me, pa!” sanggah Seline meyakinkan.
“Bener kata Seline mas, dia memang anak yang pintar dan berbakat di dunia musik, tapi di pelajaran pun dia selalu juara satu. Gimana Kalau kamu masukin dia ke private course-nya Alina?” Trisia menambahkan.
“Bener tuh kata mama, pa. Seline mau kok private bareng sama Alina. Alina pasti juga seneng, ya kan Alina?” ujar Seline dengan senyum smirk yang mengganggu.
Ingin sekali Alina mengatakan tidak. Seni adalah salah satu caranya untuk healing. Jika Seline ada di sana, pasti membuatnya semakin terganggu. Ah, tapi apakah papanya akan lebih mendengarkan ucapan Alina daripada Seline?
“Papa, Alina sudah dalam tingkatan expert karena udah main piano sejak lama, apa Seline bisa mengikuti Alina? Apalagi kalau Seline sama sekali belum tau caranya,” balas Alina, mungkin memang sia-sia, tapi Alina lelah selalu mengalah di setiap keadaan.
“Aku pernah main piano kok! Aku tau aku ga semahir kamu, tapi aku janji akan belajar sungguh-sungguh. Kan, aku juga pingin lebih deket sama kamu,” balas Seline dengan wajah memelas dan suara yang sedih.
Alina bergidik ngeri, benar-benar kemampuannya menjadi anak manja sangat menjengkelkan. Padahal sifat sebenarnya tidak demikian. “Pah, Alina sibuk. Alina ga bisa ngajarin Seline, papa cari guru private baru aja,” timpal Alina.
“Alina, kamu keterlaluan. Sekarang kalian berdua sudah bersaudara, dan Seline punya niat baik untuk dekat dengan kamu,” ujar Lesmana dengan nada tinggi.
“Sepertinya papa terlalu memanjakan kamu, kalau kamu tidak mau mengajari Selina, uang bulanan kamu, papa potong!”.
Alina melongo tidak percaya dengan apa yang dikatakan papanya, air matanya hampir tumpah. Papa yang selama ini sangat mencintai dan memanjakannya, bisa berubah 180 derajat karena kehadiran dua makhluk yang jahat ini.
“Sayang, kamu ga boleh kasar dengan Alina. Aku dan Seline memang masih orang asing bagi Alina. Kami paham dan ngerti kalau alina belum menerima aku dan Seline,” Trisia mengelus pundak Lesmana menenangkan.
Alina sudah terlanjur muak dengan sifat ular ibu anak yang ada di depannya saat ini. Ia berdiri dan mendorong kursinya dengan penuh amarah, “Alina berangkat!” sambil menghentak-hentakkan kakinya keluar dari ruang makan.
“Alina! Alina! Kembali ke sini Alina!” teriak sang papa tanpa gubrisan dari Alina. Lesmana merasa bersalah kepada Seline dan Trisia. Lesmana berjanji akan memasukkan Seline ke tempat private course yang sama dengan Alina.
*****
“Good morning class, this is your lecturer, David. I will teach and share my knowledge in this class for this semester. The terms and conditions would be shared in your chat room, any questions?” Pria berusia 30-an itu sedang berkacak pinggang, menelisik ke seluruh ruangan. Atmosfer terasa sangat tegang, karena sekolah hukum terkenal dengan dosen yang kaku dan tidak bersahabat. “If there are no questions, let’s jump to the next section. Who wants to volunteer as the head of this class?” David berusaha menemukan tangan yang terangkat di antara dua puluh mahasiswa yang hadir dalam ruangan tersebut. “I volunteer, sir!” suara itu memecah keheningan kelas. David melempar pandangan ke arah anak tersebut, “Okay, great. what’s your name?” “Its Allen. Allen Astro Hasibuan, sir!” mendengar nama tersebut, seluruh mahasiswa di kelas ramai berbisik “pasti dia pure blood!”. “Thanks, Allen. Now I need the vice, who wants to volunteer?” David kembali melihat dan menunggu siapa yang akan mengan
***“You b*tch!” ujar perempuan itu dengan wajah memerah marah.Namira memekik kaget melihat apa yang terjadi di depannya, “Who are you? What’s wrong with you?”“Do you know her?” Namira beralih bertanya kepada Alina.Alina menggeleng tidak tahu. Dirinya juga bingung, apa gerangan yang terjadi, kenapa ia harus disiram air? Memang apa salahnya?Perempuan itu disusul dengan dua perempuan lainnya dan bertanya kepada Alina, “Lo ya yang namanya Alina?”“Dasar maba gak tahu diri, baru sehari ngirup udara kampus udah belagu mau ngerebut cowo orang!” ujar lainnya.Alina masih tidak memahami apa yang terjadi. Hari ini ia sama sekali tidak mengobrol dengan pria manapun. Bahkan untuk urusan perkuliahan, Alina lebih memilih untuk membicarakannya dengan Namira.“Jangan pura-pura polos deh lo. Bisa-bisanya lo ngasih surat yang isinya rayuan-rayuan receh dan murahan ke Mr. David. Dia tunangan gue!” pekik perempuan yan
"Plakk!"“Papa! Kenapa papa tampar Alina! Salah Alina apa?” dengan suara lirih dan takut, Alina memberanikan diri untuk bertanya kepada Lesmana.“Masih bisa bertanya kamu?” dada Lesmana naik turun, wajah dan telinganya memerah marah. “Baru satu hari kamu berkuliah, kamu sudah memalukan!” bentak Lesmana sambil menunjuk ke arah Alina.“Kamu tahu Alina, Papa adalah alumni terhormat dan banyak kolega papa di sekolah itu. Bisa-bisanya kamu membuat papamu malu dengan merayu dosen!” mendengar hal itu, Alina langsung berani menatap kedua bola mata Lesmana. Di belakang papanya terdapat dua manusia terkutuk yang menahan senyum puasnya.“Papa, papa harus percaya, bukan Alina yang melakukan itu, pa. Alina dijebak, itu semua perbuatan Seline!” air mata Alina sudah menggenang, siap jatuh. Seline tidak goyah, senyumnya hilang dan menampakkan wajah sedih.“Alina, aku tau kamu ga suka dengan aku dan mama semenjak kami pindah ke sini. Tapi aku nggak sangka kamu nuduh aku kaya gitu di depan papa!” air m
Sehari sebelumnyaKesalahpahaman antara dirinya dan David membuat hubungan mereka semakin kaku. David sama sekali tidak menerima pesan dan pertemuan pribadi dari Alina. Padahal Alina sudah meminta maaf dan mengatakan bahwa itu bukan salahnya. Alina sering menghubungi David karena ia sangat menyukai Hukum Pidana dan ingin mendiskusikan terkait hal itu.Setelah empat bulan, David akhirnya kembali mau membuka diskusi antara dirinya dan Alina. Akan tetapi, masih sebatas bertukar pesan. David juga tidak ingin membuat Alexa salah paham dengan dirinya dan Alina.Sekarang, Alina sangat membutuhkan surat rekomendasi dosen untuk mendaftar sebagai anggota BEM. Alina berusaha untuk menghubungi david untuk bertemu dan mendiskusikan surat rekomendasi, namun David menolak untuk bertemu.Setelah kelas usai, Alina berniat untuk mengejar David. Hasilnya tetap nihil, David sama sekali tidak mau bertemu secara personal dengan Alina. Alina kemudian terduduk lesu di depan kelasnya. Rasanya lelah dan ingin
ting tong ting tongSuara bel berbunyi nyaring, menandakan ada seseorang di balik pintu. Cepat-cepat pintu itu dibuka, dan menampakkan sosok laki-laki tinggi tampan mengenakan kemeja maroon dan celana kain. Laki-laki itu tersenyum pada sang pembuka pintu, kemudian melangkah masuk.“Allen! lo udah dateng?” Alina melonjak senang dan segera menghampiri sosok itu. Di hadapannya, Alina menggunakan dres merah beludru, benar-benar sangat serasi dipandang. Alina menggandeng Allen dan mendampinginya ke dalam suatu ruangan. Di sana, sudah terdapat tiga orang yang duduk di meja makan persegi panjang. Tentu Lesmana di ujungnya, diikuti Trisia dan Seline di sisi timur. Sedang Alina dan Allen akan duduk di sisi barat.Alina duduk di sebelah ayahnya, kemudian Allen berseberangan dengan Seline. Allen memandangi Seline yang sedang membuang muka, tak mau melihat ke arahnya. “Oke, sepertinya semua sudah berkumpul, mari kita berdoa sebelum makan,” kepala keluarga itu memimpin doa, dan yang lainnya menu
Menginjak semester 2, Alina disibukkan dengan kegiatan perekrutan BEM. Dirinya memutuskan untuk gabung di organisasi tersebut untuk memperluas relasinya. Kalau-kalau rencana pelarian Alina berhasil, dirinya tidak akan kesusahan untuk menemukan kolega.“Oke, tahapan seleksi akan berjalan selama satu bulan penuh. Kalian akan melalui proses wawancara, magang divisi, dan evaluasi. Semua ketentuan dan syarat sudah tertera di juknis,” Ronald menatap satu persatu mahasiswa yang hadir dalam ruangan tersebut.Setelah semua rangkaian pertemuan selesai, ketua rekrutmen BEM tersebut menghampiri Alina. “Hai Al. Akhirnya lo gabung BEM ya, gue apresiasi kemauan lo untuk mengubah masa depan,”.Alina malas menanggapi Ronald. Entah mengapa, dirinya merasa Ronald punya maksud lain ketika menghampirinya. “
Drrt.. drt.. Ponsel Alina bergetar singkat, menampakkan pesan dari nomor tak dikenal. Sang pemilik sedang enggan membukanya. Dirinya sedang serius menorehkan cat ke kanvas. Menggambar lukisan abstrak, dengan gabungan warna-warna neon yang cerah. Saat melihat torehan cat itu, Alina membayangkan bentuk abstrak dari mimpi. Ketika seseorang berkata bahwa mereka memiliki mimpi, seperti apakah mimpi itu? Apakah berwarna cerah, atau pastel, bahkan abu-abu? Mungkin akan langsung tergambar situasi dan kondisi yang manusia itu harapkan. Alina tentu juga punya, mimpi yang diinginkannya. Warnanya cerah seperti tone cat yang berada di hadapannya sekarang. Setelah menjual beberapa lukisan kemarin, perasaan hatinya mulai ringa. Karena, berarti karyanya dapat dinikmati oleh orang lain. Kemudian, Alina teringat dengan salah satu lukisan yang menurutnya cukup kontroversial. Ada seorang anonim yang sengaja membeli lukisan itu darinya. Mungkinkah mereka berdua memiliki musuh yang sama? Atau malah, ka
“Papa dengar kalian berdua diminta untuk tampil di Law School Graduation, ya?” tanya Lesmana sembari mengunyah makanan kepada kedua putrinya. Alina dan Seline mengangguk. Pihak kemahasiswaan menghubungi mereka berdua untuk tampil solo dengan memainkan alat musik. Memang, kelulusan di Law School selalu memamerkan bakat para mahasiswanya secara besar-besaran. Karena, di sana hadir berbagai macam orang dengan berbagai macam latar profesi. Tentu, jika salah satu dari mereka tertarik, maka mahasiswa tersebut sudah pasti dapat menapaki masa depan yang gemilang. “Papa pasti nonton kan, ini perdana Seline bawain piano loh!” Seline menampilkan senyum termanisnya di depan sang ayah. Alina hanya dapat memutar kedua bola matanya, terganggu dengan Seline yang sangat bermuka dua. “Lo, Seline, bukannya kamu lebih ahli main biola, ya?” Lesmana sangat penasaran kepada kemampuan berpiano Seline. Bukankah anak ini baru belajar piano selama lima bulan? “Seline udah bisa main lagu yang rumit, kok p