“Oh, iya. Sepia, Panji aku duluan ya, sudah ditungguin sama suamiku,” kata Ara lalu menepuk bahuSepia dan pergi meninggalkan mereka berdua di lorong lobi.“Aku minta maaf,” kata Panji.“Maaf untuk apa?” tanya Sepia.“Soal barusan.”Saat mereka berdua berjalan bersebelahan, tiba-tiba Kiara melewati mereka berdua begitu saja tanpa menoleh sedikit pun. Kiara langsung memasuki mobilnya dan pergi meninggalkan area kantor.“Sebenarnya siapa dia? Maksudku kenapa dia juga bisa masuk keluar kantor dengan mudah?”Panji terdiam sejenak. “Dia itu, sepupunya Nawang …,”Kiara adalah sepupu Nawang. Usianya baru 22 tahun, Panji mengenalnya sejak buku keduanya terbit di bawah naungan Nawang. Lepas dari kejaran Nawang yang dulu naksir berat terhadap Panji, ia harus menerima kenyataan baru bahwa Kiara juga menjadi penggemar berat barunya. Bahkan lebih parah dari Nawang yang masih bisa bersikap biasa saja, Kiara lebih posesif meski sebenarnya tidak ada hubungan apa-apa diantara keduanya. Panji merasa te
Berjam-jam lamanya, Alea duduk diam. Wajahnya sedang dirias oleh beberapa orang MUA. Persiapan pernikahan telah sempurna selesai, tinggal menunggu pengantin perempuan bersiap dan pengantin laki-laki datang. Pernikahan dilakukan di salah satu gedung yang tidak terlalu besar. Tamu dan keluarga besar sudah datang, makanan telah tersaji, dan dekorasi telah terpasang dengan indah sejak semalam.Sepia juga telah bersiap. Ia mengenakan setelan kebaya berwarna hijau sage yang dipadukan dengan rok batik. Rambutnya disanggul kecil dengan tambahan aksesoris bunga yang semakin membuat penampilannya begitu cantik. “Shabiru, Vanilla, ke sini dulu. Biar ibun rapikan pakaian kalian sedikit lagi!” panggil Sepia.Tugas terbesarnya yang lain dalam pernikahan Alea adalah membuat Shabiru dan Vanilla tetap anteng mengikuti jalannya pernikahan. Senada dengan dirinya, Vanilla juga mengenakan kebaya berwarna sama juga riasan sanggul kecil yang membuat penampilannya semakin manis. Shabiru juga mengenakan kame
Satu tahun sudah berlalu. Hari terus berganti membawa setiap orang menuju hal-hal baru setiap waktu. Kebahagiaan adalah hal yang mudah datang dan pergi, sehingga terkadang titik tersulitnya bukanlah saat kebahagiaan tidak kunjung datang, melainkan saat kebahagiaan telah berakhir. Semua orang sibuk dengan kehidupannya masing-masing. Begitu pula yang terjadi pada Sepia. “Bunga-bunganya disimpan di rak paling bawah, kertas dan kain di bagian rak atas. Kalau pita di lemari kaca saja. Untuk buket bunga yang punya nyonya Widia tolong dikirim sebelum jam empat sore ya, kalau untuk pesanan yang lain sepertinya tinggal yang santai, tidak ada yang mepet waktu,” jelas Sepia kepada dua orang pegawai tokonya.“Baik, Kak. Nanti Ahmad yang akan kirim bunganya,” sahut Meli.“Belanjaan sudah beres semua, Mel? Stok aman?” tanya lagi Sepia.“Sudah, Kak. Tinggal diletakkan di tempatnya. Kalau untuk pesanan Nadira yang buket bunga asli diambil jam berapa Kak?” tanya lagi Meli sambil sibuk membereskan bar
“Kita tidak pernah tahu yang terjadi sebenarnya sayang, mungkin ayah sedang punya masalah dan tidak ingin kamu tahu. Terakhir kali ibun dengar, restoran ayahmu ada yang sampai ditutup …,”Shabiru terdiam, anak itu tidak mau semengerti dulu. Ia mulai paham dan mengenali perasaannya sendiri. Banyak hal yang telah berubah, yang tidak ingin lagi dikekang dalam kata-kata yang menenangkan. Karena kenyataan yang telah terjadi ribuan kali lebih pahit dari kata-kata menenangkan ibunya. Selain lebih berani tegas soal perasaannya, Shabiru juga sudah tidak lagi seterbuka dulu.Mobil Sepia berhenti di depan toko bunga. “Mau ikut ibun memilih bunga?” tanya Sepia.Shabiru hanya memberikan jawaban lewat sebuah gelengan kecil kepalanya. Mata sibuk memandangi lalu-lalang jalanan dan memilih berpaling dari wajah ibu yang sedang mengajaknya untuk terun.“Baiklah. Ibun tidak akan lama,” kata Sepia.Sepia berjalan mendekati bangunan sederhana yang penuh dengan semerbak bunga. Sudah satu tahun juga ia menja
Tamu? Siapa memangnya? Kenapa kamu jadi panik begitu?” Afandi menyela.“Nadira, Kak. Aku sama Ahmad enggak sanggup menghadapi perempuan yang itu hehe,” Meli terkekeh.Sepia menghela napas kesal ia pikir siapa yang datang sampai-sampai Meli mendadak panik. Sepia bangkit dari duduknya. “Padahal janjinya besok, tapi kenapa dia malah datang sekarang, ya?” “Itu dia, Kak. Terlebih mukanya dia judes banget enggak ada senyum-senyumnya,” jelas Meli.“Aku ke depan dulu, ya Fan.”Sepia dan Meli kembali ke depan, meninggalkan Afandi yang masih ingin diam di belakang. “Kamu lanjutkan pekerjaanmu saja. Biar bisa pulang lebih awal.”Sepia berjalan ke depan, Nadira duduk di kursi pelanggan. Seperti apa yang sudah Meli bilang, wajah Nadira memang begitu ketus dan muram. Pantas saja Meli menjadi seperti itu. Pekerjaan terkadang menjadi lebih sulit ketika menghadapi pelanggan yang terlihat menyebalkan, tetapi Sepia harus lebih bersabar agar produknya tetap bisa terjual pada banyak orang. Terlebih Nadir
"... Bertemu denganmu lagi setelah sekian lama menjadi hal yang tidak bisa kutampik kebahagiaannya. Meski aku sadar ada jarak panjang yang memisahkan kita, ada batas yang kamu bangun untukku agar tidak lagi sedekat dulu. Aku tetap bersyukur, meski sebenarnya masih sedikit berharap takdir akan membaik. Bertahun-tahun aku menunggu. Setiap kapal yang membawaku berlabuh ke tepian, aku selalu berharap kamu senantiasa menungguku di dermaga dan kita akan pulang ke rumah yang sama. Namun, itu hanya angan-anganku semata. Semua itu tidak mungkin lagi terjadi. Aku yang membuatmu menjauh dari kehidupanku, tetapi akhirnya aku yang paling merasa kehilangan. Sungguh lucunya kebodohan yang pernah aku lakukan. Bagaimana pun, aku selalu berdo'a agar kamu selalu berbahagia dengan siapapun laki-laki baik yang menggenggam tanganmu dengan erat. Laki-laki baik yang menghapus air matamu kala menangis. Aku menyesal, karena laki-laki yang berada di sampingmu bukanlah aku. Namun sekali lagi itu bukanlah kesala
“Mau makan dulu, Kak? Pasti dari pagi Kak Pia belum makan,” Afandi membawakan makan siang.Dalam kondisi seperti ini tidak ada yang namanya lapar atau haus yang ada hanyalah perasaan cemas yang semakin lama semakin menggunung tinggi. “Aku belum lapar, kamu makan saja duluan.”“Baiklah, Kak kalau begitu. Aku keluar sebentar, ya.” Afandi keluar.Hanya menyisakan Sepia dan Shabiru dalam ruangan itu. Sepia memperhatikan cairan infus yang terus menetes dan merasakan betapa heningnya ruangan itu. Ia beranjak mendekati jendela.Firasat yang kuat telah terhubung antara ibu dan anak. Perasaan Sepia yang mendadak tidak enak ternyata terbukti, tetapi ia tidak perah menduga bahwa hal seperti itu bisa terjadi. Sepia berdiri mematung di depan jendela ruangan perawatan. Ia berandai-andai seandainya ia bisa memutar waktu, maka ia tidak akan pergi kemana-mana dan ia juga tidak akan membiarkan Shabiru pergi kemana-mana. Pikirannya kembali sibuk berdebat sekaligus mengumpulkan keyakinan tentang memberit
Rumah sakit, Bandung.Jam menunjukan sekitar pukul delapan malam. Sekarang ayah dan ibu Sepia juga telah datang sejak sore hari. Keadaan Shabiru masih sama saja belum ada perubahan yang berarti, ia harus lebih banyak tidur untuk meredam rasa sakit yang mendera tubuh kecilnya.“Ayahnya sudah diberitahu, Pi?” tanya ibunya Sepia.Sepia mengangguk. Sebenarnya dalam situasi seperti ini ia tidak ingin melibatkan ayah dan ibunya, ia tidak ingin membuat mereka cemas, tetapi tidak mungkin juga untuk menyembunyikan hal ini. Pikiran Sepia benar-benar kalut, tidak benar juga jika ibunya terus mempertanyakan kehadiran Ray.“Lalu bagaimana? Akan ke sini?” cecar ibunya.“Aku tidak tahu, Bu. Tadi yang mengangkat telepon adalah istrinya,” jelas Sepia.“Kalau begitu telepon lagi dan minta dia untuk datang,” perintah ibunya Sepia.Sepia menghela napas. Tidak, ia tidak akan bisa menelepon Ray. Suara Arumi yang ia dengar telah membangkitkan banyak luka yang tadinya sudah lenyap tertimbun kesibukkan. “Suda