"Raka? Ngapain kamu di sini?" Mas Deni memandangi aku dan Mas Raka bergantian."Gilak kamu, Den. Kamu lupa, kalau ini rumah aku? Kamu yang ngapain datang malam-malam begini," balas Mas Raka. Dia seperti pura-pura tidak tahu saja tujuan Mas Deni datang untuk bertemu denganku.Mas Deni menatapku. Seolah mempertanyakan kenapa aku tak bilang sebelumnya. "Masuk, Dek. Udah malam!" Mas Raka memberi perintah. Dahiku mengernyit melihatnya.Mas Deni langsung berdiri seperti menantang Mas Raka. Aku pun ikut berdiri, takut terjadi perkelahian lagi di antara dua bersaudara ini."Apa hak kamu nyuruh-nyuruh Delima? Dia di sini sama aku," jawab Mas Deni ketus."Kamu nggak malu, Den? Nggak bisa nyari perempuan lain apa, selain istri orang?""Kalian sudah bercerai, Ka. Delima bukan lagi istri kamu. Delima berhak memilih dengan siapa dia bisa menjalin hubungan.""Tapi kami masih terikat secara hukum. Aku masih punya bukti kalau Delima masih istriku. Aku bisa aja nuntut kalian telah melakukan perzinahan
Usai sarapan, Mas Raka berangkat ke kantor. Sepertinya kemarin dia tidak masuk kerja karena masalahnya."Kenapa kamu tiba-tiba jadi pendiam, Delima?" tanya Mama. "Kamu nggak nyaman ada Raka di sini?""Eh, enggak kok, Ma. Delima baik-baik aja," sahutku. Tak ingin lagi ada perselisihan di antara Ibu dan anak itu hanya gara-gara aku."Apa Raka berbuat sesuatu sama kamu?""Enggak, Ma. Mas Raka sudah tau batasan sekarang.""Bener? Atau kamu diancam sama dia?" "Delima nggak bohong, Ma. Mas Raka masih memperlakukan Delima dengan baik.""Ya sudah, kalau begitu. Mama jadi lebih tenang sekarang. Banyak sekali masalah akhir-akhir ini. Dan Mama harap kamu nggak ninggalin Mama dalam kondisi seperti ini.""Iya, Ma. Delima janji. Akan terus nemenin Mama di sini." Mama tersenyum puas.Lalu kami mengobrol tentang banyak hal. Tentang kondisi Lara yang semakin membaik dan betapa lucu bayinya. Mama sampai berpikir tak mau pulang, saking gemasnya pada cucu yang baru lahir itu. Ternyata sesayang itu dia d
Mbak Silvi ingin kembali melayangkan pukulan. Namun dengan cepat aku menangkap tangannya dan mendorong tubuhnya. Dia terhuyung dan hampir jatuh. "Berani kamu, ya!" bentaknya."Mau apa kamu ke sini?" geramku, hingga aku tak lagi memanggilnya dengan sopan.Rasa perih di pipiku akibat tamparannya membuat hilang rasa hormatku padanya."Dasar nggak tau diri kamu! Kembalikan Mas Raka sama aku. Di mana dia kamu sembunyikan?""Cari aja sendiri. Mas Raka bukan anak kecil lagi yang bisa diatur-atur. Kalau dia pergi dari kamu, berarti memang ada yang tidak beres sama kamu.""Sudah berani kamu sekarang, ya. Dasar orang kampung. Sudah dikasi hidup enak malah ngelunjak." "Aku nggak pernah takut sama kamu. Kamu sendiri yang membuat suami kamu pergi. Kenapa harus nyalahin orang lain? Dasar orang gila!" Entah kekuatan dari mana hingga aku bisa selantang itu berbicara."Dasar perempuan kurang ajar. Kamu itu cuma gundik. Tidak lebih dari seorang pelacur." Dia kembali mendekatiku. Bermaksud hendak meny
Cih, pintar sekali wanita ini bersandiwara. Padahal baru saja dia bersikap seperti orang gila padaku."Kamu aja yang pulang. Dan tunggu surat cerai sampai ke tangan kamu.""Jangan, Mas. Aku nggak mau. Aku nggak mau cerai dari kamu. Kamu harus pulang sama aku. Kamu nggak boleh lagi tinggal sama pelacur ini.""Diam kamu, Silvi. Sekali lagi kamu hina Delima, aku nggak akan segan-segan lagi sama kamu.""Mas!""Jangan salahkan Delima untuk semuanya. Delima sama sekali nggak ada hubungannya dengan keputusanku.""Tapi aku istri kamu, Mas.""Kamu lupa kalau aku sudah menjatuhkan talak sama kamu?""Jadi kamu lebih memilih pelacur ini dari pada aku?"Plak!Aku menutup mulut dengan kedua tanganku saat Mas Raka menampar Mbak Silvi. Mbak Silvi menatap tajam suaminya sambil memegangi pipinya. "Tega kamu, Mas," rintihnya."Aku sudah memberi peringatan sebelumnya. Jangan pernah berani menghina Delima. Urusan kamu sama aku. Sekarang kamu pergi, atau aku panggil polisi karena kamu telah membuat keribu
Dia menghentikan kata-katanya."Lagi apa, Mas?" tanyaku penasaran. "Eh, nggak. Mas juga jarang-jarang dengar suara kamu, kok." Mas Raka gelagapan. "Kamu kenapa belum tidur jam segini?" "Tadi sudah mau tidur. Tapi Mas Raka tiba-tiba nelpon. Apa lain kali tidak usah diangkat saja, kalau sudah mengantuk?""Eh, eh. Udah berani kamu, ya." Aku tertawa mendengarnya.Kudengar suara Mas Raka seperti bernapas lega. "Kenapa, Mas?" tanyaku lagi."Mas senang, kita bisa bicara santai seperti ini. Makasih ya, Dek. Kamu udah nggak takut lagi sama, Mas."Aku tertegun. Bahkan hal yang tak kusadari pun bisa membuat orang lain merasa lega.*Pagi ini aku pamit pada Mama untuk ikut Mas Deni. Sengaja menunggu Mas Raka berangkat ke kantor terlebih dahulu. Padahal Mama sendiri tidak tahu kalau aku dan Mas Deni sekarang lagi kucing-kucingan sama Mas Raka. Bertemu pun harus diam-diam.Aku bisa saja mengadu pada Mama. Tapi posisiku yang hanya menumpang membuatku tak bisa melakukannya. Seperti memakan buah si
"Oh, iya, Den. Soal pesta, nanti kita adakan di rumah kamu aja, ya. Biar kita buat acara yang meriah. Di kampung Delima kita adakan akad saja. Biar Delima nggak terlalu jadi sorotan orang kampung.""Kalau Deni nggak masalah, Bulek. Terserah Delimanya aja.""Kalau kamu, gimana, Delima?" Mama meminta pendapatku."Delima juga nurut, Ma. Gimana baiknya aja.""Ya sudah, nanti Mama tanyakan sama Ibu kamu. Setuju atau enggak.""Baik, Ma."Setelah Mas Deni pulang, aku langsung menuju ke kamar untuk menyimpan barang-barang yang aku beli tadi. Padahal aku tidak memintanya. Tapi dengan begitu royal dia membelikan semua ini untukku.Aku terduduk di ranjang sembari memegangi bibirku. Teringat saat Mas Deni mengecupnya tadi. Membuat perasaanku semakin tak karuan. Inilah ciuman pertamaku dengan seorang lelaki. Padahal sebelumnya aku berpikir, bahwa Mas Rakalah yang akan mengambil semuanya.Usai makan malam aku memijat punggung Mama. Mengobrol dan tertawa bersama. Tak lama Mas Raka datang dan bergabu
Aku segera menarik tanganku kembali. Namun Mas Raka tak mengizinkan dan malah menahannya. Dia terlihat begitu marah. Padahal saat di bawah tadi, dia terlihat biasa-biasa saja dan tak memperdulikan.Atau, jangan-jangan Mama bercerita tentang aktivitas aku dan Mas Deni tadi. Bukan salah Mama juga. Salahku yang tak berani bilang untuk merahasiakannya dari Mas Raka."Tega banget kamu, Dek. Mas udah bilang, jangan pergi sama Deni. Kenapa kamu masih nekat juga? Malah gantiin cincin Mas dengan cincin dari dia. Kamu pikir Mas main-main dengan ancaman Mas waktu itu?""Kenapa Mas melakukan itu? Kenapa Mas nggak ngijinin Delima sama Mas Deni? Jujur aja, Mas." Aku mulai berani."Kamu masih nanya? Kamu tau sendiri kenapa Mas melakukan itu, Dek.""Kenapa?" Aku meyakinkan."Tentu saja karena Mas mencintai kamu.""Bohong!" sanggahku dengan penuh amarah. "Mas Raka bohong. Mas Raka sama sekali nggak pernah mencintai Delima.""Itu nggak benar, Dek. Mas sayang sama kamu.""Delima nggak percaya. Mas Raka
"Kita rujuk ya, Dek?" Napasnya makin memburu di telingaku. Aku kembali menggeleng dalam tangisan."Kasi kesempatan Mas satu kali lagi untuk membahagiakan kamu, Sayang." Aku semakin menggeleng."Dek?""Kalau Mas benar-benar mencintai Delima dan ingin melihat Delima bahagia, tolong bebaskan Delima. Kalau Mas ingin balas dendam dan tidak ingin melihat Delima bahagia dengan Mas Deni, Delima akan turuti. Delima akan putuskan hubungan dengan Mas Deni dan akan kembali ke kampung. Apa itu cukup membuat Mas Raka puas?""Enggak, Dek. Bukan seperti itu maksud Mas. Mas ingin kamu bahagia sama Mas, Sayang. Kenapa kamu nggak percaya sama perasaan Mas?" Dia tampak gelisah sembari menyentuh pipiku dengan kedua tangannya. Aku hanya bisa memejamkan mata dengan pasrah. Melawan pun percuma. Hanya akan membuat keributan malam-malam begini."Delima hanya ingin hubungan Mas Raka dan Mas Deni kembali baik, Mas. Jangan lagi bermusuhan seperti ini hanya gara-gara Delima. Delima bukan wanita yang pantas untuk