Malik dan Masya telah kembali. Sama sekali tak ada sorot kecurigaan di mata mereka sebab semua tampak bersih. Meski para pengawal rahasia itu sempat dilumpuhkan beberapa jam, Raden yakin mereka tidak akan curiga pada dirinya. Memang sudah menjadi rahasia umum juga bahwa musuh Setiawan tidak hanya Kusuma saja. Jadi, mereka akan sulit menduga-duga para penyerang itu dari pihak mana.
Setelah semua tampak berjalan mulus sesuai dugaan, sekarang Raden melakukan pertemuan secara sembunyi-sembunyi dengan Anna. Bahkan wanita itu membuat semua orang di kantornya tidak tahu menahu kalau mereka akan bertemu.
Agar tak diketahui siapapun, tempat pertemuan kali ini ada di kafe luar kota yang cukup sepi pengunjung dan jarang diketahui namanya--dengan kata lain, itu adalah kafe yang akan segera bangkrut.
Anna memasuki pintu kaca kafe sedikit tergesa-gesa dan sudah mendapati seseorang menempati salah satu meja di ujung ruangan. Hanya dilihat dari punggung, Anna yakin itu adala
Selama ini Malik hanya menjadi sosok Ayah yang sekedar tak pernah mempedulikan anaknya. Meski sama-sama terdengar buruk, tetapi tak pernah sekalipun Anna membayangkan Malik akan pergi begitu jauh hanya untuk mencapai ambisinya. Bahkan ... membunuh? Karakter Malik memang cukup terkenal tenang. Tapi masa sampai semenghanyutkan ini? Bukankah ini keterlaluan. Tanpa disadari, dia sudah bernafas secara tidak karuan. Jantungnya berdetak cepat dan semakin cepat, bisa ia rasakan darahnya ikut berdesir dalam kepanikan. "Bagaimana ini? Seandainya aku berbuat kesalahan yang fatal, pasti Ayah akan dengan mudahnya membunuhmu...." Kepanikan itu bukan sesuatu yang dibuat. Setelah terkejut dengan informasi terbaru. sekarang Anna sedang mengkhawatirkan Raden alih-alih dirinya sendiri. Raden melembutkan suaranya, dengan hati-hati dia memegang tangan kanan sang istri dan mengelus berharap ini bisa membantu sedikit. "Tenang, kamu tidak perlu khawatir. Sekarang aku t
Tidak ada banyak hal yang terjadi di kantor. Selama Raden yang sebenarnya masih sibuk melakukan sesuatu di dalam rumah Anna, maka Anna terus berusaha yang terbaik dalam bekerja. Pengalaman dan kemampuannya tentu sangat jauh, tidak bisa dibandingkan, dengan Raden. Bahkan mungkin kemampuannya masih setara pegawai biasa perusahaan ini. Namun, karena Raden selalu memberikanbriefingtiap pagi, evaluasi tiap malam, dan kelas khusus untuk memperdalam ilmu setiap akhir pekan, Anna bisa menjalani semuanya tanpa banyak masalah. Seperti sekarang ini, barusan saja dia keluar dari ruangan sehabis rapat dengan luwes. Padahal sebelum pertengkaran hebat, setiap kali bertukar tubuh pasti Anna merasa bergetar harus berhadapan dengan kursi besar yang akan menjadi pusat di rapat. Dulu, dia akan grogi dan lebih banyak diam, tak tahu harus merespon seperti apa kecuali hal-hal umum atau yang sudah dipelajari saja. Laila dan pegawai lain juga sesekali akan khawatir dan memastika
Setelah dua hari lalu Raden mengirim pesan dengan emotikon yang sama sekali tidak cocok dengannya, tiba juga hari di mana mereka akan bertemu. Anehnya, Raden tidak mnegatakan apa pun mengenai pertemuan mereka seakan tak pernah menjanjikan hal tersebut. Entah jam berapa dan di mana mereka akan bertemu. "Apa dia benar-benar tak ingat?" gumam Anna sendirian. Gara-gara itu juga sedari tadi dia tidak bisa fokus dan terus mencuri-curi pandang pada ponsel berlogo apel di samping komputer. Merasa penasaran ini tak lagi terbendung, dia putuskan untuk mengambil ponsel dan bertanya secara langsung melalui telepon. Nyaris saja Anna menekan kontak Raden seandainya seseorang tidak mengetuk pintunya untuk diperbolehkan masuk. Kembali ia geletakkan ponsel itu dan menyuruh sang pengetuk masuk. Rupanya itu adalah Laila. "Kenapa kamu ke sini? Apakah ada masalah?" "Tidak, Pak. Hanya saja saya ingin memberi laporan kepada Anda," beritahu Laila sesudah kembali menutup pintu dengan
Di tengan sejuknya udara malam, suara kapal yang melewati air berdesir, bintang-bintang di langit yang remang-remang tertutup cahaya kota, saat itulah Anna mendengar seseorang membisikkan sesuatu di ujung telinga. "I love you to the moon and back." Barusan saja pernyataan cinta itu membuat jantung Anna terasa seperti berhenti berdetak selama satu detik. Padahal dia sudah menduga hal seperti ini bisa saja terjai, tapi ternyata tetap terkejut seakan sejak awal tidak tahu apa-apa. Lidahnya terasa kaku padahal ingin berkata-kata, tapi digantikan dengan gerakan tubuh yang ingin memutar ke belakang agar bisa langsung berhadapan pada sang suami. Menyadari gerakan kecil itu, justru Raden mengeratkan pelukannya dan menahan Anna untuk diam secara penuh. "Jangan bergerak. Kita nikmati malam ini dengan seperti ini." Baiklah, Anna menuruti permintaan tersebut. Tak lagi dia bergerak dan kembali menatap langit. Seiring keheningan berlalu, suara alunan musik
Hari ini Noah diminta Malik untuk pergi bersama bermain golf di lapangan yang sudah disewa khusus. Kebetulan sedang tidak ada semua hal yang harus diurus sudah terkendali olehnya sehingga permintaan itu disanggupi meski harus mengambil tengah jam kerja. Lapangan hijau itu adalah lapangan yang sangat luas. Bahkan jika masih ada lima sampai enam orang bermain golf di sana selain mereka, pasti suasana akan tetap terasa sepi saking lebarnya lapangan. Hal itu membuat Noah semakin penasaran, mengapa Malik harus mereservasi lapangan seluas ini untuk bermain berdua saja? Ketika pria muda itu tiba, sudah ada Malik yang memukul bola putih dan memandang jauh untuk memastikan bola tersebut masuk ke lubang target. Noah sempat memperhatikan arah pukulan itu dan bisa langsung menebak. "Pukulan tadi agak meleset, ya?" "Benar. Sepertinya aku terlalu lama tidak memainkan ini," keluh Malik sebelum berbalik untuk mengambil bola. Sekali lagi tubuhnya diposisikan siap memuku
Di dalam ruangan kerja yang selebar sebuah kamar master di penthouse mewah, ada berbagai tumpukan dokumen penting dan seseorang yang tak bisa melepaskan mata dari Ipad-nya. Untuk memastikan tidak ada yang salah, Raden membaca secara hati-hati. Semua barang yang terkumpul baik di atas meja atau di dalam Ipad-nya adalah bukti-bukti sah dari perbuatan menyeleweng Malik, dokumen resmi yang bisa menunjang laporan, dan juga data-data para saksi yang akan dihubungi jika dibutuhkan. Semua saksi itu adalah orang yang terlibat di dalam kecurangan Malik, entah menjadi korban atau pernah diperintah melakukan hal serupa. "Sebentar lagi," gumamnya pelan. Dia tak bisa melihat Malik, sosok yang menghancurkan keluarganya dan berusaha membuat perusahaan Kusuma jatuh bangkrut, tampak bahagia di atas semua penderitaan orang lain. Maka dari itu, dia bisa memastikan bom yang tak bisa terhindari sebentar lagi akan meledak dan mengenai tepat di sasaran. Suasana hari ini cukup baik, tidak ad
Sejak hari itu, di mana dia melihat sendiri semua anggota keluarganya--kecuali adik ketiga--terbaring dengan darah kental yang berceceran di mana-mana dan tak lagi bernyawa, kehidupannya tak lagi sama. Tak ada lagi yang membuatnya bersemangat untuk hidup. Seandainya Malik tidak merawatnya, pasti dia juga sudah menyusul keluarganya ketika berjalan di jalanan yang kumuh nan sepi. Meski begitu, tetap saja Noah harus berterima kasih pada keluarga Setiawan itu. Berkat mereka, Noah tetap memiliki pendidikan yang baik dan tinggi serta tidak kehilangan fasilitas hidup yang memadai. "Aku tak ingin menjadi parasit untuk mereka. Aku harus melaukan sesuatu untuk mereka." Atas pemikiran itu, dia selalu menuruti apa yang Malik atau Masya katakan padanya. Selama bersekolah, dia memastikan dirinya menjadi peringkat satu, mendapat segala beasiswa agar tidak membebani Setiawan meski dia tahu kekayaan Setiawan tidak akan habis walaupun dia tak punya prestasi satu pun. Salah sat
Sebentar lagi. Benar-benar sebentar lagi. Sebelum diserahkan, Raden mendatangi sebuah rumah kecil yang jauh dari kota dan harus ditempuh selama tujuh jam lebih. Beruntung semua orang yang dia perlukan sudah tiba terlebih dahulu sehingga tak perlu repot-repot menunggu lagi. "Mari kita mulai," ucap pria tersebut sebagai pembuka. Beberapa orang yang tidak lagi berkepentingan sudah ia usir, hanya menyisakan dirinya dan tiga orang lain yang akan menjadi calon saksi. "Kalian harus ingat bahwa saat ini kalian hanya dibolehkan mengatakan perkataan yang sejujur-jujurnya. Tidak boleh berdusta, meski itu adalah hal yang memalukan nama kalian." Secara serentak ketiga orang itu menganggukkan kepala. Baiklah, Raden akan segera memulai pertanyaan. "Pertama," Sorot matanya menuju pada seorang pria berumur enam puluh tahun, penampilannya sangat apa adanya. "Tolong sebutkan nama Anda." Si pria tua mulai memperkenalkan diri, "Nama saya Cahyo Adiwarna, sudah bekerja untu