Sebagai pengisi kesunyian, radio musik sengaja Raden nyalakan. Setidaknya ini akan membantu mereka agar merasa lebih nyaman meski tidak saling mengobrol.
Saat ini rintik-rintik air jatuh dan mengenai kaca jendela mobil. Hujannya hanya berupa gerimis, tidak deras tetapi tidak mau berhenti sama sekali. Ketika ia memandangi butiran-butiran air tersebut, Raden jadi teringat pada hari itu. Hari saat menjelang tanggal pernikahan.
Ingatannya masih segar untuk mengulang ulang rekaman tersebut. "Dia adalah anak yang pendiam dan juga penurut. Kamu tidak akan kesusahan menghadapinya."
Suara Masya saat itu terdengar ceria dan lembut. Tangan kirinya sibuk mengelus bahu Anna yang berdiri kaku. Melihat bagaimana Anna tidak merespon sama sekali membuat Raden memperkirakan hal yang sama.
"Kami mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Saya harap setelah anda menjadi suaminya, Anna bisa mendapat perlakuan yang baik juga," ujar wanita tersebut. Kala
Sepuluh hari kemudian, Raden kembali menghubungi sang istri dan menyuruh mereka untuk bertemu di sebuah restoran. "Ada apa?" "Aku ingin menawarkan sesuatu." Lelaki itu tidak sedang ingin banyak berbasa-basi hingga langsung menyebutkan tujuannya. "Aku merasa kamu pun akan menginginkan tawaran ini." Anna memutar mata malas. Apalagi yang ingin Raden lakukan terhadapnya? Omong-omong lelaki itu lebih cerewet dibanding biasanya. Hal itu patut dicurigai. "Apa?" "Aku ingin kita bertukar tubuh hanya untuk dua minggu ke depan." Kini wanita di hadapannya mengernyit dengan mata melebar, sudah jelas ada tanda tanya di dahinya. Apa yang membuat Raden mau melakukan itu? Bukankah pertukaran tubuh akan lebih merugikan pihak lelaki tersebut? "Pasti kamu mau mengerjaiku, kan?" tanya Anna tidak percaya. Lagipula untuk apa Anna mau melakukan itu juga? "Kamu tahu kan apa maksudnya kalau kita bertukar tubuh? Artinya salah satu dari kita harus bu--" "Iya, aku
"Kak, maafkan aku."Ponselnya segera dijauhkan dari telinga agar Raden bisa mengecek ulang siapa peneleponnya. Elisa, saudara Anna. Kenapa dia berkata-kata seperti itu? "Ada apa memangnya? Kok tiba-tiba sekali?"Setelah ia bertanya seperti itu, Elisa seperti sedang mempersiapkan kalimat-kalimat yang hendak disampaikan. "Karena aku sudah jahat ke kamu."Pikiran Raden semakin menjadi-jadi saat mendengar itu. Memangnya wanita seperti Elisa bisa menjahati seseorang? Apalagi orang itu adalah Anna yang notabenenya lebih galak dibandingnya? Atau sebelum mereka bertukar tubuh, kedua bersaudara itu sedang bertengkar?Untuk bertanya, Raden mencoba dengan cara sealami mungkin. "Jahat? Aku tidak ingat kalau kamu sudah berbuat hal yang aneh-aneh ke aku."Semoga saja jawabannya tidak terdengar aneh."Bukan itu, Kak. Maksudku untuk selama ini. Sejak kecil sampai sekarang. Maaf kalau aku kesannya pengecut, tapi aku baru bisa mengakui kalau tindakan orang tu
Kafe, 12.30 Mereka sudah berada di kafe yang jadi titik pertemuan mereka. Karena Raden yang tiba terlebih dahulu, sudah ada secangkir amerikano panas terhidang di atas meja. Dalam hati Elisa bertanya-tanya, sejak kapan Anna menyukai amerikano? Biasanya Kakaknya akan meminum amerikano jika baru melakukan tugas berat. Tetapi, bukankah sejak menjadi istri dari Raden, Anna nyaris tidak pernah menyentuh pekerjaan sama sekali? "Pesanlah sesuatu," sambut Raden sekaligus menyuruh Elisa. Ia mengira bahwa Elisa haus karena melirik ke kopinya, sama sekali tidak terpikirkan akan hal lain. Setelah minuman sekaligus makanan yang Elisa pesan sudah datang, mereka bisa memulai percakapan dengan santai. "Sebelum kamu mengatakan niatmu, apakah kamu bisa menjelaskan alasan kamu melakukannya secara mendadak? Setelah semua yang terjadi, apa yang mendorongmu untuk melakukan ini?" Itu merupakan pancingan yang cukup halus dan alami. Elisa terus mengiris makanannya dan menjawa
Melihat bagaimana Anna membalas dengan dingin seakan-akan tidak peduli sama sekali, Raden menjadi lebih bersimpati. Setelah sekilas mendengarkan masa kecil Anna dari Elisa, ia merasa bahwa sikap wanita tersebut cukup wajar. Apalagi dia jadi teringat dengan masa kecilnya sendiri. Tidak ia duga bahwa ternyata mereka bisa berbagi nasib yang sama meski berujung beda. ***** "Sepertinya sudah saatnya aku mati." "Maksudnya?" Orang tua itu terkekeh dengan hangat. "Bukan, jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Astaga, muka terkejutmu itu lucu sekali." Anna tidak paham sama sekali meski si paman tampak lebih santai dibanding sebelumnya. "Apakah itu pantas untuk dijadikan candaan?" "Raden," panggilnya dengan kelembutan. Wajah Anna yang mengeras kembali melemas. "Semakin pamanmu ini bertambah tua, dia semakin sadar bahwa kematian bukan sesuatu yang harus ditakutkan. Apalagi kamu sudah berhasil berpijak di atas kaki sendiri. Beban pam
Dua minggu telah berlalu begitu saja. Pagi dan malam berlalu sangat cepat sampai mereka berdua nyaris lupa bahwa waktu untuk kembali ke tubuh masing-masing hampir tiba. Entah memang begitu atau mereka terlanjur terbiasa dengan tubuh yang tertukar. Kini Anna kembali pulang di rumahnya. Baru ditinggal dua minggu saja sudah ada hawa asing yang terasa. Apakah ini yang Raden rasakan setiap ia datang ke rumah ini? Sebuah rumah yang sengaja dibeli hanya untuk mengurung sang istri. Raden menuruni tangga dengan piyama renda favorit Anna. Sesaat pipi wanita itu memerah melihat lekuk tubuhnya tampak jelas di balik piyama tersebut--itu adalah alasan mengapa ia menjadikannya sebagai baju tidur terfavorit. Namun, beda ceritanya jika Raden tahu bahwa ia memiliki piyama itu--bahkan memakainya. "Ini kan belum jam tidur, kenapa kamu menggunakan piyama itu?" "Udara di kamar sangat panas. Aku hanya mendapati kalau pakaian tertipismu adalah piyama ini." "Tapi bukannya ada
'Apa kamu sedang menginginkan sesuatu dariku?' Meski kalimat itu hanya disampaikan berupa teks dalam ponsel, nada mengintimidasi wanita tersebut berhasil meraih tengkuk Raden. Dengan cepat Raden mengibaskan tangan agar perasaan aneh itu menghilang. Sontak salah satu alisnya naik sembari ia mencoba menilai ulang perbuatannya. Sejak mereka selesai bertukar tubuh, memang ia memberikan sedikit perhatian yang tidak biasanya diberi. Setiap hari, setidaknya ada satu sapaan atau pertanyaan yang dia kirimkan. 'Selamat malam.' 'Sudah tidur?' 'Sudah makan?' 'Bukannya butik favoritmu sedang mengumpulkan koleksi terbaru? Kamu tidak mau membelinya? Aku bisa membelikanmu.' Serta hal-hal lain semacamnya. Apakah itu berlebihan? Sebagai rasa simpati dan penggati bentuk perhatian selama tiga tahun pernikahan terlewati, bukankah ini sesuatu yang masih di dalam batas wajar? 'Memangnya itu aneh?' balasnya. Tidak l
"Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan denganku?" tanya wanita itu tanpa basa-basi setelah memesan minuman. Sejenak dia sengaja melihat jam tangan sebagai isyarat bahwa waktunya tidak banyak. Erik berusaha untuk menatap sang Kakak dengan benar, tetapi ia tidak bisa mengendalikan ke mana matanya pergi. Saking gugupnya, sesekali dia akan melihat ke ujung ruangan tanpa bisa berbicara apapun. Sedangkan di samping ada Ariel yang asik bermain ponsel dibanding mengajak bicara Anna. Merasa waktu yang terbuang menjadi sia-sia, Anna berdeham. Melihat tingkah sang adik bungsu, dia paham bahwa tidak mudah bagi Erik membicarakan tujuannya. Alhasil, dia meminta Ariel untuk membantu. "Ariel, apa kamu bisa jelaskan maksud pertemuan ini?" Ariel melirik tajam ke arah Erik. Kini lelaki itu sudah menggoyangkan kakinya sebagai kode. "Ck, dasar. Kalau kamu yang meminta, seharusnya kamu yang menjelaskan. Kenapa jadi aku, sih." "Sepertinya kalian tidak benar-benar memiliki s
Sedari tadi sudah Elisa perhatikan wajah sang adik terkecil, sepertinya remaja lelaki itu sedang berada dimood terbaik. Senyuman di wajahnya tidak meluntur sama sekali telah melihat sesuatu di ponselnya.'Apakah dia diam-diam sedang melakukan pendekatan ke seseorang?' Mungkin saja begitu. Bukankah wajar bagi anak laki-laki yang baru memasuki dunia SMA dan merasa tertarik kepada salah satu siswi lain? Saat Elisa masuk ke SMA pun, naksir menaksir adalah hal yang tidak bisa ia hindari. "Erik, kamu sedang melihat apa?" Erik sedikit tersentak akibat pertanyaan dadakan. Untuk beberapa detik ia merasa linglung dan keceplosan memberitahu sesuatu yang seharusnya tidak boleh diberitakan. "Kak Anna dan Kak Raden akan ke festival sekolah kita." "Hais!" Desisan sebal milik Ariel menusuk tajam telinga Erik sehingga remaja itu langsung pucat. "Padahal kamu sendiri yang menyuruhku tidak mengatakan itu, tapi kamu juga yang kelepasan! Gimana, sih?"