Dua minggu telah berlalu begitu saja. Pagi dan malam berlalu sangat cepat sampai mereka berdua nyaris lupa bahwa waktu untuk kembali ke tubuh masing-masing hampir tiba. Entah memang begitu atau mereka terlanjur terbiasa dengan tubuh yang tertukar.
Kini Anna kembali pulang di rumahnya. Baru ditinggal dua minggu saja sudah ada hawa asing yang terasa. Apakah ini yang Raden rasakan setiap ia datang ke rumah ini? Sebuah rumah yang sengaja dibeli hanya untuk mengurung sang istri.
Raden menuruni tangga dengan piyama renda favorit Anna. Sesaat pipi wanita itu memerah melihat lekuk tubuhnya tampak jelas di balik piyama tersebut--itu adalah alasan mengapa ia menjadikannya sebagai baju tidur terfavorit. Namun, beda ceritanya jika Raden tahu bahwa ia memiliki piyama itu--bahkan memakainya. "Ini kan belum jam tidur, kenapa kamu menggunakan piyama itu?"
"Udara di kamar sangat panas. Aku hanya mendapati kalau pakaian tertipismu adalah piyama ini."
"Tapi bukannya ada
'Apa kamu sedang menginginkan sesuatu dariku?' Meski kalimat itu hanya disampaikan berupa teks dalam ponsel, nada mengintimidasi wanita tersebut berhasil meraih tengkuk Raden. Dengan cepat Raden mengibaskan tangan agar perasaan aneh itu menghilang. Sontak salah satu alisnya naik sembari ia mencoba menilai ulang perbuatannya. Sejak mereka selesai bertukar tubuh, memang ia memberikan sedikit perhatian yang tidak biasanya diberi. Setiap hari, setidaknya ada satu sapaan atau pertanyaan yang dia kirimkan. 'Selamat malam.' 'Sudah tidur?' 'Sudah makan?' 'Bukannya butik favoritmu sedang mengumpulkan koleksi terbaru? Kamu tidak mau membelinya? Aku bisa membelikanmu.' Serta hal-hal lain semacamnya. Apakah itu berlebihan? Sebagai rasa simpati dan penggati bentuk perhatian selama tiga tahun pernikahan terlewati, bukankah ini sesuatu yang masih di dalam batas wajar? 'Memangnya itu aneh?' balasnya. Tidak l
"Jadi, apa yang ingin kalian bicarakan denganku?" tanya wanita itu tanpa basa-basi setelah memesan minuman. Sejenak dia sengaja melihat jam tangan sebagai isyarat bahwa waktunya tidak banyak. Erik berusaha untuk menatap sang Kakak dengan benar, tetapi ia tidak bisa mengendalikan ke mana matanya pergi. Saking gugupnya, sesekali dia akan melihat ke ujung ruangan tanpa bisa berbicara apapun. Sedangkan di samping ada Ariel yang asik bermain ponsel dibanding mengajak bicara Anna. Merasa waktu yang terbuang menjadi sia-sia, Anna berdeham. Melihat tingkah sang adik bungsu, dia paham bahwa tidak mudah bagi Erik membicarakan tujuannya. Alhasil, dia meminta Ariel untuk membantu. "Ariel, apa kamu bisa jelaskan maksud pertemuan ini?" Ariel melirik tajam ke arah Erik. Kini lelaki itu sudah menggoyangkan kakinya sebagai kode. "Ck, dasar. Kalau kamu yang meminta, seharusnya kamu yang menjelaskan. Kenapa jadi aku, sih." "Sepertinya kalian tidak benar-benar memiliki s
Sedari tadi sudah Elisa perhatikan wajah sang adik terkecil, sepertinya remaja lelaki itu sedang berada dimood terbaik. Senyuman di wajahnya tidak meluntur sama sekali telah melihat sesuatu di ponselnya.'Apakah dia diam-diam sedang melakukan pendekatan ke seseorang?' Mungkin saja begitu. Bukankah wajar bagi anak laki-laki yang baru memasuki dunia SMA dan merasa tertarik kepada salah satu siswi lain? Saat Elisa masuk ke SMA pun, naksir menaksir adalah hal yang tidak bisa ia hindari. "Erik, kamu sedang melihat apa?" Erik sedikit tersentak akibat pertanyaan dadakan. Untuk beberapa detik ia merasa linglung dan keceplosan memberitahu sesuatu yang seharusnya tidak boleh diberitakan. "Kak Anna dan Kak Raden akan ke festival sekolah kita." "Hais!" Desisan sebal milik Ariel menusuk tajam telinga Erik sehingga remaja itu langsung pucat. "Padahal kamu sendiri yang menyuruhku tidak mengatakan itu, tapi kamu juga yang kelepasan! Gimana, sih?"
Tok! Tok! Tok! Anna memutar malas gagang pintu, matanya masih ngantuk akibat tidur siang tetapi seseorang sudah mengganggu tidurnya. Saat pintu sepenuhnya terbuka, ia dapati salah seorang pembantu dengan keringat dingin. "Ada apa?" Suara paraunya menusuk tajam pekerja baru tersebut sampai-sampai sang pekerja menjadi tergagap. "I, itu. Ada seseorang yang datang." "Siapa?" "Katanya dari butik Angesta, Bu." Butik Angesta? Bukankah itu butik yang akhir-akhir ini sangat terkenal dengan kecantikan desain baju-bajunya, bahkan ini adalah butik berhasil mencapai pasar luar negeri setelah tiga tahun berjalan? Banyak sekali model-model lokal ataupun dari luar negeri yang mendatangi butik tersebut. Bahkan, untuk menjaga kemahalan baju mereka, butik tersebut membatasi jumlah per baju yang dijual, makanya harga baju bekasnya pun masih sangat mahal. Lalu, untuk apa seseorang dari butik tersebut datang ke rumahnya? "Apakah dia mengataka
Lampu mobil hitam tersebut mati setelah terpakir dengan benar, lantas kedua orang di dalamnya keluar dan masuk ke area sekolah setelah memberi dua tiket yang diberikan. Ketika sudah berjalan beberapa langkah, Anna tidak henti-hentinya menoleh kepala ke sana dan sini karena baru menyadari bahwa sekolah yang Ariel dan Erik terkesan cukup elit dan besar. Bahkan festival ini bisa dikatakan seperti bazar publik. Stand booth diatur sedemikian rupa dengan bentuk empat baris, bahkan panggung pun tidak terlihat jika para pendatang tidak masuk lebih dalam. Stand booth makanan berada di baris pertama dan keempat, sedangkan kedua dan ketiga diisi oleh stand booth kreativitas anak-anak per kelas. "Sepertinya kita sedikit terlambat. Acaranya sudah dimulai," beritahu Raden sambil mengeraskan suaranya karena speakerpanggung menyala lebih keras. "Apa kamu tahu kapan adik-adikmu tampil?" "Katanya mereka tidak akan tampil di awal acara, jadi kita masih pu
Suara riuh tepuk tangan menjadi tanda nyata bahwa permainan telah berakhir sekaligus kembali menyadarkan Anna. Baru kali ini dia merasa terbuai akan sesuatu dan sang pembuai itu tak lain adalah saudaranya sendiri. Di samping, tangan Raden ikut bertepuk keras. "Ternyata adikmu berbakat. Kudengar dia juga sempat ikut lomba musik internasional, apa nanti dia akan pergi ke sekolah musik luar negeri?" "Huh?" bingung Anna. Dia tidak pernah mendengar berita apa pun mengenai saudarinya, apalagi mengetahui ke mana Ariel pergi selepas SMA kelak. "Entahlah." Ariel dan temannya yang sudah selesai membungkuk pun pergi dari panggung. Banyak mata yang mengiringi kepergian mereka akibat permainan melodi yang tidak mudah dilupakan. Sang kawan langsung menarik nafas panjang dan tersenyum setelah melihat reaksi penonton, berbeda dengan Ariel yang masih memasang wajah was-was. Dari kejauhan Anna mendapati wajah tegang Ariel. Jujur saja, dia ingin sekali untuk melangkah p
"Erik, Ariel. Kita harus bicara," perintah Masya dengan mendadak sehabis kembali dari luar negeri. Kedua orang yang dipanggil saling melempar mata. Mereka heran kenapa sang Ibu terlihat hendak marah padahal baru saja pulang dari bandara. Apakah Ibu mereka mengalami hal buruk di luar negeri? Setelah semua barang bawaan selesai diambil dari bagasi mobil, mereka bertiga duduk di atas meja makan. Tanpa basa-basi, Masya menanyakan intinya, "Apakah Anna datang ke festival sekolah kalian?" Bulu kuduk mereka berdiri, merasa merinding. Padahal seharusnya posisi Masya saat itu masih di atas langit, tetapi kenapa mengetahui kedatangan Anna malam kemarin? Tidak ingin terkena masalah, Erik memberi jawaban lain, "Tidak." "Erik, jujurlah." "Tidak, Bu," keras kepala sang anak. Seharusnya Masya percaya, tetapi wanita baya itu malah menggebrak meja yang membuat Ariel berjengit dan berdiri dari kursinya. "Ibu sudah tahu dari mata-mata yang Ibu taruh di sini." As
Baru kali ini dia menjejaki kebebasan tanpa perasaan dikejar oleh siapa pun. Berkat kebaikan hati dadakan sang suami, Anna diperbolehkan untuk berjalan-jalan tanpa pengawasan satu orang pun. Perbedaannya tampak sederhana tapi dampak yang diperoleh sangat besar. Selayak wanita pada umumnya, hampir keseluruhan waktu yang ia punya diisi dengan berbelanja di beberapa kawasan. Uang yang suaminya berikan tidak mungkin habis meski dia merampok semua barang di dalam toko. Tak terasa, saking terlalu nyaman berbelanja, matahari telah terbenam dan bulan menampakkan cahaya cantik yang dimiliki. Sesaat Anna terpana bak orang yang tidak pernah melihat bulan. Entah dia lebay atau tidak, tetapi dari sini bulan tampak sangat cantik. Apakah setiap hari bulan memang secantik itu? Ada satu taksi yang datang dan berhenti tepat di hadapannya, padahal Anna tidak memberi isyarat sama sekali. Kebetulan Anna memang mau pulang dengan taksi sehingga dia pun langsung masuk setelah semua