Bak pangeran berkuda putih yang sedang menjemput gadis malang nan cantik, di dunia nyata pangeran tampan itu adalah sesosok pria berdada bidang, tampan, dan membawa mobil hitam yang disetir oleh supir pribadi.
Sedangkan gadis malang dan cantik sangat cocok untuk Anna. Wanita itu memiliki tubuh bak model, tinggi namun ramping, wajahnya elok dengan bola mata cokelat yang gelap, tetapi nasibnya buruk. Saat ini dia sudah berdiri di depan pintu rumah dengan beberapa pekerja di sampingnya.
Sesuai ucapan di teks pesan, mobil hitam Raden memasuki area rumah Anna dan berhenti di depannya. Lelaki itu menjemput Anna untuk pergi bersama-sama ke bandara.
Tanpa diminta, Raden keluar dan mengambil koper Anna dari tangan salah satu pembantu dan memindahkan ke bagasi. Padahal biasanya sang supir akan melakukan itu, tumben sekali. "Ayo masuk."
Anna masuk terlebih dahulu, kemudian disusul Raden. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, mobil membawa mereka pergi dari ar
Halo~ Maaf bab kali ini lebih menunjukkan betapa 'ndeso'-nya Anna:') Maklum dia belum pernah naik pesawat, makanya agak panikan. Tapi beruntung ada Raden, ya:) Catatan tambahan, maaf ada kesalahan saat publish bab sehingga urutan bab 37 dan 36 tertukar, jadi pembaca bisa langsung loncat ke bab 36, ya (urutannya setelah 37). Maaf sudah membuat tidak nyaman
Negara yang mereka kunjungi adalah Hungaria, Anna cukup tidak familiar dengan nama tersebut, apalagi kotanya. Kini mereka telah menginjak tanah Budapest, ibu kota dari negara tersebut dan menjadi salah satu kota tercantik di Eropa. Bahkan mereka juga memiliki sejumlah situs warisan dunia yang diakui UNESCO. Meski di masa modern telah menjadi kota metropolis, Budapest tetap mempertahankan sejarah dan warisan budaya yang dapat dilihat dari berbagai bangunan kuno, museum, sampai memorial. Mungkin ini juga alasan Budapest menjadi kota yang mereka kunjungi, bukan tempat terkenal seperti Paris atau negara lain yang sudah sangat dikenal romantis untuk pergi dengan pasangan. Rupanya ada kota romantis lainnya yang tidak begitu sering disebut. "Mereka terkenal dengan mata air panasnya?" tanya Anna sambil menikmati waktu sejenak di balkon hotel. Kini terpampang nyata di matanya bahwa ada kota secantik Budapest. Beberapa bangunan besar juga terlihat jelas dari lokasi hotel. Tida
Raden tidak menyesal dengan pilihan Laila. Memang sekretarisnya direkrut karena memiliki kecerdasan tinggi dengan riwayat edukasi yang sangat baik, tetapi mana ia duga bahwa Laila pun berhasil menentukan destinasi negara terbaik untuk berkencan selain nama-nama kota yang sudah sering terdengar. Sekaligus liburan, rasa lelah yang sempat Raden tanggung pun terangkat. Kini mereka menyusuri jalan di jembatan. Ada orang-orang lain yang juga jalan bersama mereka, namun dunia terasa hanya diisi mereka saja. Tidak, bercanda, mereka tidak menghayati sampai sebegitunya. "Sehabis ini kembali saja ke hotel, aku sudah lelah," celetuk Anna setelah jeda keheningan terjadi cukup lama. Raden mengangguk setuju. Hari ini mereka sudah banyak mengunjungi tempat, mungkin kunjungan galeri seni bisa ditunda sampai besok saja. Lagi-lagi tidak ada yang bicara, mereka hanya menikmati udara sepoi-sepoi sekaligus melihat kendaraan-kendaraan yang melintasi jalan. Dari dekat, Raden
Terkadang di tengah malam yang sangat gelap, bocah lelaki kecil itu mulai berpikir. Dia sudah berada di rumah, tetapi kenapa dia masih bertanya seperti apa rumah itu? Bukan karena pendingin, tetapi rumah ini sangat dingin untuknya. Apakah memang sudah sepantasnya dia diperlakukan seperti itu? Tapi apa salahnya? Kenapa Ibu dan Ayahnya tidak pernah manatap dirinya dengan ramah? Setiap malam, dia selalu berdoa agar Ayahnya bisa memancarkan kehangatan dari matanya. Namun, tiap paginya dia hanya mendapati kenyataan bagaimana si Ayah enggan melirik ke tempat duduknya saat makan pagi bersama. Seperti biasa, anak lelaki itu tidak berkata-kata apa pun meski saudara-saudaranya sangat berisik. "Hari ini aku yang duduk di depan!" seru si anak kedua saat baru menduduki kursinya. Sedangkan si anak pertama hanya menggeleng sembari mencibir, bermaksud menggoda agar si adik lebih kesal."Ayo, dong, sekali-sekali kamu mengalah. Kamu kan anak paling tu
Malam ini adalah malam terakhir mereka tidur di hotel ini. Besok mereka harus segeracheck out dan menaiki pesawat lagi untuk kembali ke Indonesia. Sampai detik ini juga, jujur saja Anna merasa puas. Kota kedua yang mereka kunjungi tidak kalah cantik dan menariknya. Rupanya ada negara yang sangat menjaga warisan dan kecantikan dari budaya lama di Eropa, salah satunya Hungaria. "Apa kamu sudah punya ide ingin pergi ke negara mana lagi setelah ini?" "Hm, entahlah. Mungkin masih di Eropa." Anna menjawab dengan senyuman yang sangat lebar, dia sendiri tidak sadar jika kedua sudut bibirnya sudah tertarik selebar itu. Di samping ada Raden yang ikut tersenyum melihat istrinya sedang terlarut dalam bayangannya sendiri. "Biasanya aku hanya melihat paratravellerdi Youtube. Tapi sekarang aku bisa jalan-jalan seperti mereka. Kira-kira aku bisa keliling dunia enggak, ya?" Ketika sadar dia sudah melanturkan hal bodoh, Anna menutup mulutnya
Suasana di rumah sangatlah aneh ketika Anna tiba. Para pekerja di rumahnya menyambut dengan ramah dan menaruh rasa hormat. Padahal selama ini tidak pernah Anna disambut seformal ini--meski begitu, bukan berarti selama ini para pekerjanya kurang ajar. Apakah karena kali ini adalah kepergian terlama Anna sejak tiga tahun tinggal di sini? Mungkin saja. Sangat mudah untuknya berpikir positif, tanpa tahu jika diam-diam para pekerja itu melirik ke Raden dan kembali teringat dengan kejadian beberapa hari lalu. "Anna," panggil Raden sebelum dia kembali pulang. "Aku akan membuka lowongan pekerja untuk rumah ini. Tapi, bukan aku yang memilihnya, melainkan kamu sendiri. Jadi, kamu harus segera bersiap-siap menyiapkan kisi-kisi pertanyaan." Sebentar, kenapa tiba-tiba lowongan pekerja rumahnya dibuka? "Para pekerja di sini sudah cukup banyak." "Tapi beberapa hari lalu baru saja beberapa pekerja rumah ini dipecat sepihak." Kedua bola mata cokelat itu terbuka lebar,
Setelah menghabiskan berjam-jam hanya untuk mendengar kisah nasib anak ketiga yang malang, Anna mempersilakan Fitra melakukan pekerjaan pertamanya di rumah ini. Sedangkan di dalam kamar, dia mulai merenung dan mengumpulkan semua pecahan informasi menjadi satu kisah. "Pantas saja dia mudah bersimpati setelah kita bertukar tubuh," ucap Anna pelan sembari menghela nafas. "Ternyata nasib kita hampir mirip. Bedanya, keluarganya terlalu cepat pergi. Sedangkan aku tidak bisa terlepas sama sekali dari orang tuaku." Raden, sebagai anak ketiga, sangat tidak wajar jika mendapat perlakuan yang berbeda dari orang tuanya. Padahal dua kakak dan adiknya sangat disayangi, tetapi dia sebagai anak tengah akhir malah tersisihkan. Saat ditanya mengapa bisa begitu, rupanya Fitra pun tidak tahu. Mengingat dia hanya bekerja selama lima tahun sebelum kebakaran besar terjadi, Raden baru berumur dua tahun dan sudah biasa mendapat perlakuan diskriminan. Mirisnya, dia mendapatkan hal ter
Secara khusus Anna mencari restoran yang bisa menyewa satu ruang sendiri untuk memberi privasi pada perbincangan mereka. Beruntung, ada banyak restoran di sekitar gedung yang seperti itu. Mereka putuskan untuk berhenti di salah satu restoran mewah Tionghoa. Ketika masuk, suasana Tionghoa langsung terasa. Tempat untuk makan dibagi menjadi dua bagian. Di sebelah kanan diperuntukkan orang yang tidak bisa duduk di lantai sehingga disediakan kursi setiap meja. Sedangkan di sisi lain dipersiapkan meja dan bantalan kursi khas untuk langsung duduk di lantai. Untuk tanpa kursi, lantai dibuat lebih tinggi daripada lantai dasar. Khusus ruangan pribadi, adawaitress yang memandu untuk naik ke lantai dua dan memperlihatkan ruangan mana yang akan dipakai. Namun, sebelum diarahkan,waitress akan bertanya terlebih dahulu. "Ingin menggunakan kursi atau duduk dengan bantalan kursi saja?" Anna menoleh ke orang tua di sampingnya, dia ingin memastikan
Tanpa terasa, meja sudah dipenuhi piring kosong saja. Sebenarnya Anna sudah kekenyangan di pertengahan karena menunya cukup banyak. Namun Adit dengan tegas menyuruh Anna untuk tetap makan dan menghabiskan semuanya. Katanya, tidak baik jika menyia-nyiakan makanan. Ya sudahlah, salah Anna juga yang memilih satu set menu tanpa melihat ulang seberapa banyak porsinya."Ayo kita keluar," ajak Adit.Saat Anna hendak berdiri, tiba-tiba layar ponselnya berkedip-kedip dan mengeluarkan getaran. Cepat-cepat Anna memeriksa siapa si penelepon, rupanya Raden. Merasa tidak mungkin dia menjawab telepon Raden saat bersama Adit, Anna menolak.Di lain sisi, ada Raden yang heran. Seharusnya jika Anna bergerak sesuai jadwalnya, jam segini dia sudah bersantai di rumahnya. Tetapi kenapa Anna malah menolak panggilannya? Sekali lagi Raden menekan nomor telepon ponselnya dan mendapatkan suara membosankan yang sama.Tidak menyerah, Raden membuat ponsel Anna tidak berhenti menyala da