Terkadang di tengah malam yang sangat gelap, bocah lelaki kecil itu mulai berpikir. Dia sudah berada di rumah, tetapi kenapa dia masih bertanya seperti apa rumah itu?
Bukan karena pendingin, tetapi rumah ini sangat dingin untuknya. Apakah memang sudah sepantasnya dia diperlakukan seperti itu? Tapi apa salahnya? Kenapa Ibu dan Ayahnya tidak pernah manatap dirinya dengan ramah?
Setiap malam, dia selalu berdoa agar Ayahnya bisa memancarkan kehangatan dari matanya. Namun, tiap paginya dia hanya mendapati kenyataan bagaimana si Ayah enggan melirik ke tempat duduknya saat makan pagi bersama.
Seperti biasa, anak lelaki itu tidak berkata-kata apa pun meski saudara-saudaranya sangat berisik.
"Hari ini aku yang duduk di depan!" seru si anak kedua saat baru menduduki kursinya. Sedangkan si anak pertama hanya menggeleng sembari mencibir, bermaksud menggoda agar si adik lebih kesal. "Ayo, dong, sekali-sekali kamu mengalah. Kamu kan anak paling tu
Malam ini adalah malam terakhir mereka tidur di hotel ini. Besok mereka harus segeracheck out dan menaiki pesawat lagi untuk kembali ke Indonesia. Sampai detik ini juga, jujur saja Anna merasa puas. Kota kedua yang mereka kunjungi tidak kalah cantik dan menariknya. Rupanya ada negara yang sangat menjaga warisan dan kecantikan dari budaya lama di Eropa, salah satunya Hungaria. "Apa kamu sudah punya ide ingin pergi ke negara mana lagi setelah ini?" "Hm, entahlah. Mungkin masih di Eropa." Anna menjawab dengan senyuman yang sangat lebar, dia sendiri tidak sadar jika kedua sudut bibirnya sudah tertarik selebar itu. Di samping ada Raden yang ikut tersenyum melihat istrinya sedang terlarut dalam bayangannya sendiri. "Biasanya aku hanya melihat paratravellerdi Youtube. Tapi sekarang aku bisa jalan-jalan seperti mereka. Kira-kira aku bisa keliling dunia enggak, ya?" Ketika sadar dia sudah melanturkan hal bodoh, Anna menutup mulutnya
Suasana di rumah sangatlah aneh ketika Anna tiba. Para pekerja di rumahnya menyambut dengan ramah dan menaruh rasa hormat. Padahal selama ini tidak pernah Anna disambut seformal ini--meski begitu, bukan berarti selama ini para pekerjanya kurang ajar. Apakah karena kali ini adalah kepergian terlama Anna sejak tiga tahun tinggal di sini? Mungkin saja. Sangat mudah untuknya berpikir positif, tanpa tahu jika diam-diam para pekerja itu melirik ke Raden dan kembali teringat dengan kejadian beberapa hari lalu. "Anna," panggil Raden sebelum dia kembali pulang. "Aku akan membuka lowongan pekerja untuk rumah ini. Tapi, bukan aku yang memilihnya, melainkan kamu sendiri. Jadi, kamu harus segera bersiap-siap menyiapkan kisi-kisi pertanyaan." Sebentar, kenapa tiba-tiba lowongan pekerja rumahnya dibuka? "Para pekerja di sini sudah cukup banyak." "Tapi beberapa hari lalu baru saja beberapa pekerja rumah ini dipecat sepihak." Kedua bola mata cokelat itu terbuka lebar,
Setelah menghabiskan berjam-jam hanya untuk mendengar kisah nasib anak ketiga yang malang, Anna mempersilakan Fitra melakukan pekerjaan pertamanya di rumah ini. Sedangkan di dalam kamar, dia mulai merenung dan mengumpulkan semua pecahan informasi menjadi satu kisah. "Pantas saja dia mudah bersimpati setelah kita bertukar tubuh," ucap Anna pelan sembari menghela nafas. "Ternyata nasib kita hampir mirip. Bedanya, keluarganya terlalu cepat pergi. Sedangkan aku tidak bisa terlepas sama sekali dari orang tuaku." Raden, sebagai anak ketiga, sangat tidak wajar jika mendapat perlakuan yang berbeda dari orang tuanya. Padahal dua kakak dan adiknya sangat disayangi, tetapi dia sebagai anak tengah akhir malah tersisihkan. Saat ditanya mengapa bisa begitu, rupanya Fitra pun tidak tahu. Mengingat dia hanya bekerja selama lima tahun sebelum kebakaran besar terjadi, Raden baru berumur dua tahun dan sudah biasa mendapat perlakuan diskriminan. Mirisnya, dia mendapatkan hal ter
Secara khusus Anna mencari restoran yang bisa menyewa satu ruang sendiri untuk memberi privasi pada perbincangan mereka. Beruntung, ada banyak restoran di sekitar gedung yang seperti itu. Mereka putuskan untuk berhenti di salah satu restoran mewah Tionghoa. Ketika masuk, suasana Tionghoa langsung terasa. Tempat untuk makan dibagi menjadi dua bagian. Di sebelah kanan diperuntukkan orang yang tidak bisa duduk di lantai sehingga disediakan kursi setiap meja. Sedangkan di sisi lain dipersiapkan meja dan bantalan kursi khas untuk langsung duduk di lantai. Untuk tanpa kursi, lantai dibuat lebih tinggi daripada lantai dasar. Khusus ruangan pribadi, adawaitress yang memandu untuk naik ke lantai dua dan memperlihatkan ruangan mana yang akan dipakai. Namun, sebelum diarahkan,waitress akan bertanya terlebih dahulu. "Ingin menggunakan kursi atau duduk dengan bantalan kursi saja?" Anna menoleh ke orang tua di sampingnya, dia ingin memastikan
Tanpa terasa, meja sudah dipenuhi piring kosong saja. Sebenarnya Anna sudah kekenyangan di pertengahan karena menunya cukup banyak. Namun Adit dengan tegas menyuruh Anna untuk tetap makan dan menghabiskan semuanya. Katanya, tidak baik jika menyia-nyiakan makanan. Ya sudahlah, salah Anna juga yang memilih satu set menu tanpa melihat ulang seberapa banyak porsinya."Ayo kita keluar," ajak Adit.Saat Anna hendak berdiri, tiba-tiba layar ponselnya berkedip-kedip dan mengeluarkan getaran. Cepat-cepat Anna memeriksa siapa si penelepon, rupanya Raden. Merasa tidak mungkin dia menjawab telepon Raden saat bersama Adit, Anna menolak.Di lain sisi, ada Raden yang heran. Seharusnya jika Anna bergerak sesuai jadwalnya, jam segini dia sudah bersantai di rumahnya. Tetapi kenapa Anna malah menolak panggilannya? Sekali lagi Raden menekan nomor telepon ponselnya dan mendapatkan suara membosankan yang sama.Tidak menyerah, Raden membuat ponsel Anna tidak berhenti menyala da
Seperti yang lelaki itu katakan di pesan, dia datang dini hari. Bahkan Anna masih terlelap dalam mimpi saat pintu kamarnya diketuk. Saat mengetahui Raden sudah tiba, dia bergegas mencuci muka dan menggosok gigi. Jantungnya berdetak cepat saat melihat pria yang duduk di sofa dan tengah menggulir layar ipadnya. Ketika mata mereka bertemu, bulu kuduk Anna merinding, jantungnya berdetak cukup kencang. Tatapan mata itu, meski tidak lagi menampakkan sorot kebencian, tapi terasa sangat dingin dibanding akhir-akhir ini. Rasa penasaran berlebihan memang memunculkan petaka, padahal Anna sudah berniat untuk menjadi istri yang lebih baik ke depannya. "Duduk," perintah Raden dengan tegas. Anna duduk di hadapannya sedikit tergesa-gesa dan kemudian menarik nafas panjang. Persidangan singkat langsung dimulai oleh Raden. "Aku menemukan botol racun di tempat pembuangan sampah. Sudah kuduga, kamu sengaja mencelakai diri hanya untuk bertukar tubuh." Malam hari itu, saat
Sebenarnya kehidupan Anna tidak seratus persen tidak mendapat kasih sayang. Beberapa tahun sejak ia lahir, ada orang tua yang sangat memanjakannya. Kakeknya pun memberikan perlakuan terspesial ke dirinya dibanding Elsa. Samar-samar, dia masih ingat beberapa kenangan yang penuh tawa. Ketika Anna membalikkan kepalanya, dia akan mendapati tatapan mata penuh kasih sayang dari dua orang tuanya. Begitu juga saat dirinya menghampiri rengkuhan tangan sang Kakek. Apapun yang dia ceritakan akan didengarkan penuh perhatian. Sebelum kehidupannya berputar 180 derajat, setiap hari hanya dipenuhi canda tawa. Namun, semesta suka mempermainkan seseorang yang bahkan belum menginjak bumi lima tahun secara penuh. Kehidupan yang jahat segera ia dapati di depan mata. Kakeknya sempat menjadi sumber kebahagiaan terakhir setelah orang tua kandung Anna meninggal. Setidaknya Malik dan Masya akan membiarkan dia bermain sesukanya dengan sang Kakek. Selain itu, perlakuan mereka ke Anna ma
"Apa yang ingin kamu katakan sampai-sampai berani untuk pergi ke sini?" Terbalik dengan pertanyaan yang terkesan menyindir, justru Raden memberikan senyuman kecil yang nyaris tak terlihat. Tentu saja Anna melewatkan itu karena sudah jatuh dalam bayang-bayangnya sendiri. Seakan kalimat yang sudah ia rencanakan sebaik mungkin sebelum ke sini tidak pernah ada, wanita itu kelimpungan sendiri. "Aku ... aku ... ingin minta maaf. Setelah aku bercermin seharian, aku sangat menyadari betapa besar kesalahan yang kulakukan kemarin lusa. Maafkan aku, dengan tulus aku berkata." Fyuh, untunglah dia tetap berhasil mengatakannya. Sayang sekali, perkataannya tidak berhasil mengundang respon Raden. Justru pria itu lebih sibuk mengamati tingkah sang istri daripada mendengar ucapannya. Anna menyalahpahami maksud dari tatapan mata Raden, cepat-cepat ia melanjutkan kalimatnya, "Tapi aku sudah terlanjur tahu. Jadi mau bagaimana lagi?" Alis kanan Raden terangkat bing