Maaf karena jam segini baru update, Qey baru ada waktu di depan lepi kebetulan. Maaciw yak sudah mau baca cerita-cerita Qey.
“Apa yang udah gue lakuin?!” Stefany terduduk di tepi ranjang. Nafasnya terengah, bibirnya mengecap, mencoba menelan air liur. Ia menatap Vero yang justru terkekeh disampingnya. “Udah gila gue!” lalu mengalihkan tatapannya. “Kissing Ayang!” tanpa dosa Vero menjawab rutukan Stefany. Demi Tuhan, Vero tak perlu menjelaskan secara rinci kegiatan yang baru saja mereka lakukan. Pria itu membuatnya semakin malu. Bisa-bisanya ia lebih mendominasi percumbuan. ‘Mirip cewek kurang belaian lo Stef! Jablay banget!’ batin Stefany memaki dirinya sendiri. “Ayang!” rengek Vero, tangannya mengguncang-guncangkan lengan Stefany. “Pakein baju. Dedek buyung kedinginan kena AC!” Vero menahan tawanya agar tidak menyembur. Apalagi ketika melihat ekspresi jijik Stefany. Menggemaskan.. “Kamu jadi ngampus?!” “Em.” Stefany mengangguk. Ia tak mungkin meninggalkan perkuliahan. Absensinya masuk ke dalam zona hitam. Satu kali bolos, maka dipastikan akan ada tambahan semester yang harus ia ambil di tahun beri
“VERO!”Jeritan Mellia membuat Stefany keluar dari kamar. Wanita hamil itu berjalan cepat menghampiri ibu mertuanya. ‘Baby kalau udah lahir Mama kursusin les sabar ya. Kejang nanti kamu,’ batin Stefany mengajak janinnya berinteraksi. Stefany harus mengajarkan apa itu arti menerima keadaan, termasuk para anggota keluarga mereka yang super keren..Rusuhnya..“Mommy ada apa?!”Mellia di ruang keluarga memegangi ponsel ditangannya. “Mana Vero, Stef?! Mommy panggil, why dia nggak nyamper?!” tanya Mellia celingak-celinguk mencari keberadaan putranya.Freak nih orang! “Mom Vero jangankan nyamperin, turun dari kasur aja dia nggak bisa!” ibu mertua Stefany tampaknya hilang ingatan. Efek jatah belanja tak terpenuhi sepertinya membuat wanita itu kesetanan.“Oh, Iya!”See..“Stef bisa tanganin kalau Mommy butuh bantuan.” Stefany menggigit bibirnya. Salah besar! Bodoh sekali dirinya, menawarkan hal yang akan ia sesali di kemudian waktu. ‘Caper banget lo Stef! Nyusahin diri sendiri, Blok!' “Asik!"
Satu minggu berlalu sejak insiden dimanfaatkannya Stefany. Di hari itu keributan terjadi. Stefany kalang kabut mencari bantuan karena mendadak Vero tak sadarkan diri. Alhasil Mellia benar-benar menerima murka Ray. Wanita itu diasingkan karena berturut-turut membuat celaka penerus mereka. Vero si anak emas. Ray bahkan tak segan menghardik istrinya sendiri. Bagi Ray Vero merupakan segala-galanya. Tidak ada toleransi pada siapapun jika itu menyangkut diri sang putra walau itu Mellia, wanita yang berikan gelar istri. "Daddy, Mommy belom boleh pulang?!" Vallery disamping Ray menanyakan keberlangsungan hidup sang ibu. Pertengkaran kedua orang tua menyebabkan Vallery harus kucing-kucingan untuk bertemu Mellia dibelakang Ray. "Minta Mommy kamu minta maaf ke Abang. Daddy benci kalau dia seenaknya begini! Kesalahan dia fatal!” Vero yang tengah memakan sarapan meminta Stefany menghentikan suapannya. "Udah. Kenyang." Ujar anak itu sembari menghalau lengan Stefany. Sedikit banyak, Vero meras
Bugh! Ray membiarkan dirinya terduduk di atas lantai. Ia mengadah, mengerjapkan mata tanpa mau repot-repot berdiri. Ray sudah sangat hafal segala pergerakan Ditto. Jika ia bangkit, laki-laki itu pasti akan kembali melayangkan bogem mentah. Sungguh pengendalian diri yang buruk di usia mereka yang tidak lagi muda. “Dit.. Apa sih dateng-dateng main pukul.” Amuk Jingga. “Husodo itu lagi deketin kamu, Jing!” Plak!! Ray meringis saat kepala Ditto mendapat pukulan dari Jingga. Salah pria itu sendiri. Sudah tahu sahabatnya tak suka dipanggil dengan penggalan kata yang menurut Jingga aneh, malah terus dilanjutkan sampai dua puluh tahunan menikah. “Aku bukan anjing Ditto!” sentak Jingga, “lagian Husodo itu,” Jingga menunjuk keberadaan Ray, “adik ipar kamu. Mellia bagian keluarga mereka sekarang.” Hardiknya keras ingin menyadarkan Ditto. Setelah anak pertama mereka lupa jalan pulang, suaminya hilang ingatan. “Kok kamu jadi belain Ray sih?! Mels diusir mereka Jingga.” Ngotot Ditto. Selain
Stefany terjaga. Ia melirik Vero sebelum meraih ponsel di atas nakas. Pukul sebelas malam. Ia ternyata baru tertidur sekitar dua jam setelah memastikan Vero meminum obatnya. "Baby laper ya?!" Stefany mengusap perutnya. Entah mengapa ia memimpikan Vero memasak nasi goreng babat untuk mereka. Hal yang jelas-jelas mustahil. Untuk bangkit saja Vero tak mampu masalahnya. Stefany berpikir cukup lama sebelum memutuskan turun dari atas ranjang. Ia mulai melangkahkan kakinya, menghampiri Vero. Ya, keduanya tidur terpisah. Untuk memudahkan akses Vero, pria itu tetap berada di atas brankar yang Ray beli. Penggerak otomatis yang dapat diatur melalui remot memudahkan mereka jika sewaktu-waktu Vero ingin beranjak. Huft, menikah dengan suami aktif seperti Vero benar-benar menyedihkan. Ia hamil dan suaminya terbang bak burung di lautan. Kepakan sayapnya membentur karang hingga hewan berparuh itu tergelincir lalu karam. Perumpamaan yang sungguh dramatis. Namun tak apa. Demi anak didalam kandu
“Sit!”Siti melompat. Panggilan juragannya mengagetkannya. Saat ini kan ia sedang berada dalam tugas penting negara. Siti takut jika nyonya besar mereka tahu, wanita itu akan mengamuk karena anak kesayangannya memaksakan sesuatu.“Bukannya udah masak?!” tanya Mellia kala Siti tengah memotong-motong daging yang menurutnya menyerupai handuk berbulu.“Maaf Buk. Siti boleh bohong nggak?! Please!” pintanya mengiba. Ia tak mungkin mengkhianati Adennya. Selain dibayar, ia harus loyal pada sang pemberi perintah. Pekerjaannya bisa dipertanyakan nanti ketika pengambilan gaji dan raport penilaian di akhir bulan.“Kamu nyembunyiin sesuatu ya?!” tuduh Mellia. Mama Vero itu langsung menangkap gestur tak biasa asisten rumah tangga andalannya.“Bapak selingkuh Sit?! Kamu liat dimana?! Supermarket?!” pikirannya menyempit. Apalagi akhir-akhir ini ia sering membuat Ray kesal. Siapa tahu suaminya menyimpan ani-ani dibelakangnya lalu Siti secara tak sengaja berpapasan dengan mereka.“Loh bukan perkara itu
“Lain kali jangan makan sembarangan. Saya akan resepkan obat, nanti bisa ditebus di apotik terdekat.” Dokter keluarga yang Mellia hubungi bangkit, “kamu jarang sakit setelah dewasa, kenapa sekalinya sakit nyampe separah ini Vero?!” kali ini giliran Vero mendapatkan perhatiannya. “Kecelakaan kecil Om,” jawab Vero. Istri saya amankan Om?!” tanyanya karena pria yang ia kenal sejak kecil tersebut tak mengatakan apapun terkait diare yang Stefany alami. “Hal biasa, nggak perlu khawatir. Mommy kamu cuman terlalu panik. As always.” Ujarnya menenangkan Vero. “Saya keluar dulu. Daddy kamu juga mau periksa tadi katanya. Darah tingginya kumat.” Stefany pasrah. Kini tak hanya Vero pasien pesakitan di kamar baru yang mereka tinggali, tapi ia juga. Ia menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Bersembunyi dibalik kain untuk meredam rasa malunya atas kejadian memalukan yang ia alami. “Ayang..” “Shut up your mouth, Ver! Lo tahu nggak gue pengen ke Antartika sekarang juga!” “Mau ngapain, Ayang?!
"Pegangan leher Daddy!" Pinta Ray. Laki-laki itu menyematkan tangannya dipinggang sang putra, "Daddy hitung ya. Kamu tarik sama buang nafas abis itu Daddy angkat." Pada angka ketiga, Ray menggendong tubuh Vero. Ia bergerak perlahan, berhati-hati agar tak menyakiti anak kesayangannya. Tidak sia-sia Ray menyempatkan berolahraga di gym pribadinya. Setiap malam ia juga beraktivitas yang membuat keringatnya mengucur bersama sang istri. Staminanya masih sekuat dulu. Ray sama sekali tak terlihat kewalahan meski bobot Vero dapat dikatakan tak ringan. Putranya sudah sangat dewasa, tapi bagi Ray Vero masih si kecil yang ia temui kali pertama di supermarket dulu. "Dad.. Telepon ambulans aja." Ujar Mellia, menyarankan agar ambulans datang membawa serta brankar Vero. Mellia tak tega melihat anaknya tersiksa menahan sakit. Belum lagi suaminya yang tak lagi muda. "Vero perlu gerak juga Mel." Sahut Ray, tak setuju. "Waktu itu bisa duduk kan, masakin Stefany?!" dan Vero mengangguk, membenarkan pe