Aku berusaha mempercepat langkah agar tidak tertinggal oleh Pak Reindra. Entah mengapa atasanku itu berjalan sangat cepat, hingga aku kewalahan mengimbangi gerakannya. Padahal dia tahu persis bahwa tenagaku sedang lemah, tetapi sepertinya dia sengaja menguji kekuatanku. Atau barangkali Pak Reindra melampiaskan kekesalannya lewat cara itu. Ya, siapa juga yang tak akan kesal bila memiliki bawahan yang selalu merepotkan seperti aku. Jika aku jadi Pak Reindra mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Mengingat kelakuanku sendiri, terkadang aku ingin menghilang saja ke dalam dasar bumi. Sadar diri, aku memilih diam seribu bahasa hingga kami tiba di restoran. “Mau pesan untuk berapa orang, Pak?” tanya pelayan restoran menyambut kedatangan kami. “Dua orang saja,” jawab Pak Reindra seraya duduk di meja yang dekat dengan jendela. Pria muda yang melayani kami menyerahkan dua buku menu, satu untukku dan satu lagi untuk Pak Reindra. Namun bosku itu malah menolaknya. “Saya pesan greentea
“Besok pagi, turunlah ke restoran jam tujuh untuk sarapan, jangan sampai terlambat. Kita akan berangkat ke Sukabumi sebelum jam delapan,” tandas Pak Reindra sebelum kami berpisah.“Baik, Pak.”Kami pun masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Aku langsung merebahkan diri di tempat tidur dengan pikiran yang masih berkecamuk. Tiba-tiba saja hari esok jadi terlalu menakutkan untukku. Walau Mas Yoga tak henti menyakiti hatiku, tetap saja aku berharap adanya secercah harapan untuk pernikahan kami. Hingga detik ini, aku masih tak sanggup membayangkan jika Mas Yoga benar-benar mengkhianatiku dengan perempuan lain.Entah jam berapa aku baru bisa terlelap. Yang jelas aku merasa baru tidur sebentar ketika mendengar suara alarm yang berdering. Namun herannya mataku cepat sekali terbuka lebar, tidak merasa ngantuk sama sekali.Hal yang pertama kulakukan adalah mematikan alarm di ponsel, lalu menurunkan kaki satu demi satu. Sambil mengumpulkan tenaga, aku menghadap ke jendela kamar hotel.
Aku memandangi ruas jalan di kota Sukabumi yang tidak terlalu lebar, namun padat dengan kendaraan bermotor dan pejalan kaki. Sama seperti Bogor, udara di kota ini juga terbilang sejuk, apalagi saat mobil Pak Reindra mulai memasuki wilayah pegunungan. Kami memang telah memutuskan untuk menyewa villa di seputaran kawasan Situ Gunung. Dalam perjalanan kali ini, aku membantu Pak Reindra untuk menemukan lokasi Villa Pinus yang akan kami sewa. Aku juga menghubungi pihak pengelola villa untuk meminta petunjuk jalan dari mereka. Alhasil kami pun tiba di tempat tujuan tanpa hambatan yang berarti. Usai Pak Reindra memarkirkan mobil di pekarangan, kami berdua masuk untuk menemui penjaga villa. Kesan pertama yang kudapat tentang villa ini adalah asri dan nyaman. Dengan dikelilingi pohon cemara, tanaman hias, dan beragam bunga berwarna cerah, aku rasa tempat ini sangat cocok untuk orang-orang yang membutuhkan healing. Ditambah lagi udara di sekitar villa benar-benar sejuk dan bebas dari kebisinga
Bak tersambar petir di siang bolong, seluruh saraf di tubuhku serasa terbakar. Namun anehnya kaki dan tanganku menjadi lemas seolah-olah tidak bertulang. Hampir saja aku terkulai di kursi bila aku tidak berpegangan erat pada pinggiran meja. Aku menolak untuk percaya, tetapi nyatanya kelakuan Mas Yoga seperti ini di belakangku. Meskipun aku sudah merasakan firasat yang tidak baik, tetap saja aku terpukul saat menyaksikan Mas Yoga menduakan aku. Dia juga bermesraan dengan pacar gelapnya di muka umum tanpa merasa malu. Dilihat dari keakraban mereka, aku yakin wanita itu adalah rekan kerja Mas Yoga di kantor, yang sering kudengar suaranya di telepon. Berulang kali Mas Yoga melakukan kesalahan, rupanya dia tak bertobat juga. Malah kelakuannya kini semakin menjadi-jadi setelah aku memberikan kesempatan kedua kepadanya. Tidakkah dia tahu bahwa kesetiaan adalah kunci utama dalam pernikahan? Bila hal itu sudah dilanggar, maka tak ada lagi alasan untuk mempertahankan sebuah pernikahan. Ibarat
Perjalanan menuju ke kos terasa berjam-jam lamanya, meski pada kenyataannya hanya berlangsung sekitar lima belas menit. Taksi yang mengantarku berbelok ke kanan, kemudian memasuki ruas jalan yang lebih sempit. Di pinggir jalan, aku melihat bangunan bertingkat dua yang dikelilingi pagar besi berwarna hitam. Dari kaca jendela mobil, aku bisa membaca plakat besar yang terpasang di pagar tersebut, bertuliskan “Kos Senapati.” Tiba-tiba saja telapak tangan dan kakiku berkeringat dingin. Saking cemasnya, hampir saja aku melupakan niat awalku untuk mengejutkan Mas Yoga. Namun detik berikutnya, aku mengingatkan diri sendiri untuk tidak gentar menghadapi semua ini. Bagaimanapun aku tidak boleh membiarkan diriku terus diombang-ambingkan oleh suamiku yang tidak bertanggung-jawab. Cukup sudah semua pengorbananku selama ini untuknya. Kesabaran setiap manusia ada batasnya, dan aku telah mencapai titik batas tersebut. “Betul di sini kosnya, Bu?” tanya driver taksi itu berhenti tepat di depan pagar.
Raut muka Mas Yoga berubah drastis ketika Safa mempertanyakan hal itu. Ia memandang wanita selingkuhannya sejenak, lantas mencuri pandang ke arahku. Sengaja aku diam untuk melihat reaksi Mas Yoga. Aku ingin tahu apakah suami itu berani mengakui kesalahannya atau dia kembali berkelit seperti seorang pengecut. Melihat Mas Yoga masih ragu-ragu dalam memberikan jawaban, aku pun maju ke depan. Sudah tiba waktunya, aku bangkit untuk menunjukkan taringku di depan para pengkhianat. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri untuk mengubah nasibku. Aku tak ingin lagi mengalah, jika itu hanya akan melukai hatiku lebih dalam. Bagaimanapun aku harus berani mengambil langkah besar, supaya bisa terbebas dari belenggu pernikahan yang beracun. “Oh, jadi begitu pendapatmu selama ini tentangku, Mas. Kalau begitu, aku juga akan mengungkapkan pendapatku tentangmu di hadapan…wanita yang tidak tahu malu ini,” ujarku sembari mendekat kepada Safa. Tak ada keinginan untuk menitikkan
Peringatan bernada ancaman itu membuatku terperanjat. Entah apa maksudnya Mas Yoga berbicara tentang pernikahanku dengan laki-laki lain, padahal dia baru saja menjatuhkan talak. Yang lebih mengherankan lagi, dia sendiri yang berencana untuk menikahi Safa, tetapi dia malah menuduhku yang bukan-bukan. Andai suatu hari aku benar-benar membuka hati untuk pria lain, bukankah dia tidak berhak melarangnya? Kami sudah sepakat untuk berpisah, dan dia tidak memiliki hak atas diriku lagi. Lantas untuk apa dia menghalang-halangi perjalananku di masa depan? Dari ucapannya ini saja terlihat jelas bahwa dia memiliki sikap egois, iri hati, dan mau menang sendiri. Tak ingin terusik lebih lama, aku memilih untuk meninggalkan kos itu. Aku bahkan tak menghiraukan belasan pasang mata yang tertuju ke arahku. Dilihat dari beragam ekspresi mereka, aku yakin ada yang mengasihani aku sebagai istri yang diselingkuhi suami. Namun aku tak ingin ambil pusing. Toh, urusan pribadiku tak ada sangkut pautnya dengan p
Napasku serasa berhenti tatkala Pak Reindra menatap layar ponselku. Karena panik, lekas saja aku menghampiri Pak Reindra, lalu merampas ponsel itu dari tangannya. "Pak, maaf, ponsel saya," ujarku tanpa basa-basi. Bosku itu nampak terkejut melihat sikapku yang kurang sopan. Barangkali dia berpikir kenapa aku tidak menunggu hingga dia yang mengembalikan. Toh, dia juga tidak akan menahan ponselku lebih lama. Sebelum Pak Reindra memberikan respon, aku buru-buru menimpali ucapanku tadi. "Terima kasih karena sudah menyelamatkan ponsel saya, Pak." Pak Reindra tidak mengatakan apa pun. Dia malah melenggang pergi, meninggalkan aku yang masih terpaku di tempat. Melihat Pak Reindra menuruni anak tangga, aku pun mengikutinya dari belakang. Entah apa yang ada di pikiran Pak Reindra saat ini. Apakah dia sedang kesal karena tingkahku yang tidak sopan, atau dia sempat membaca isi pesan Mas Yoga tadi? Setibanya di lantai satu, aku berjalan lebih cepat dari Pak Reindra agar tiba terlebih dulu di k