Roy melajukan mobilnya dengan perasaan yang teramat kesal. Dalam perjalanan pulang, lelaki itu berulang kali mengumpat dan memukul setir kemudinya sendiri setelah gagal mencium Elisa, karena Pak Kasim yang tiba-tiba datang dan mengetuk kaca mobil.
"Maaf, Tuan_....?" Pak Kasim merasa tidak enak telah mengganggu momen romantis kedua majikannya. Tapi, pria paruh baya itu hanya ingin menyampaikan bahwa perempuan yang tadi dia antarkan sudah sampai di tempat tujuan dengan selamat. Sadar melihat kedua tuannya hanya diam, Pak Kasim buru-buru pamit untuk segera pergi.
"Kak, aku masuk dulu." Setelahnya, Elisa langsung membuka pintu mobil, wanita itu berlalu begitu saja menuju pintu utama.
Roy hanya bisa memandang punggung Elisa yang perlahan menjauh dan menghilang di balik pintu.
Tiba di parkiran apartemen, Roy memarkir mobilnya di tempat biasa. Lelaki itu berjalam gontai memasuki pintu kamar yang ada di lantai delapan, te
Airin sama sekali tak menghiraukan ucapa Nana. Gadis itu memilih bergegas menuju kamar yang terletak di belakang cafe dan mengambil tas hitam yang tergeletak di atas meja. Kamar berukuran tiga kali dua meter, dengan cat berwarna putih pudar menjadi tempat persembunyiannya selama ini. Meski sempit, tapi itu lebih baik menurut Airin, daripada dia harus kembali ke rumah dan menerima perjodohan dari kedua orang tuanya."Airin...!" teriakan Nana membuat gadis itu berhenti sejenak, menaham pintu taksi yang sudah sempat dia buka, lalu mencari ke arah sumber suara."Beneran? Kamu mau pulang sekarang?" Nana merasa tidak enak karena sudah membuat gadis itu harus terburu-buru meninggalkan cafe miliknya.Airin hanya mengangguk. Dengan wajah yang terlihat di tekuk, gadis itu meminta pada sang supir untuk segera melajukan mobilnya.Nana hanya diam sembari terus menatap kepergian Airin hingga di telan gelapnya malam. Sebenarnya, dia sama sekali tidak keberatan Airin bek
Tidak! Ini pasti hanya kebetulan. Lagian nama seperti dia 'kan banyak. Airin menggeleng, meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa apa yang tengah di pikirkan hanyalah sebuah kebetulan. Gadis itu bangkit, lantas berjalan menuju lantai atas.Pada akhirnya Airin harus menerima perjodohan dari kedua orang tuanya. Namun, sebelum memutuskan untuk kembali ke rumah, gadis itu sempat meminta pada sang Ayah agar mengijinkannya bekerja di cafe sampai akhir bulan. Selain ingin berterima kasih pada Nana karena sudah memberinya pekerjaan dan tempat tinggal, Airin juga merasa tidak enak jika harus meninggalkan tanggung jawabnya begitu saja.Pak Bagas menyetujui. Tapi dengan syarat, Airin tidak boleh lagi kabur atau berbuat hal yang macam-macam. Jika itu terjadi, maka cafe Nana yang akan menerima akibatnya. Bukan tanpa alasan ayah Airin sampai mengancam, pria paruh baya itu terlalu takut jika anak gadis satu-satunya benar-benar pergi dan mengambil jalan yang salah."Oke. Mul
Semua orang yang menyaksikan satu-persatu bubar saat Nana memberi komando. Takut di pecat? Mungkin. Apalagi kedudukan gadis itu sebagai Manager cafe, sekaligus anak dari pemilik tempat mereka bekerja. Dan mau tidak mau mereka hanya bisa saling berbisik satu sama lain di belakang.Airin melangkah gontai ke belakang, mencari tempat persembunyian sementara dari orang-orang yang tadi memergokinya. Bukan takut jadi gunjingan. Tapi, gadis itu tengah menetralkan detak jantungnya yang sejak tadi ingin meledak."Astaga, ada apa dengan jantungku? Dia 'kan cuma orang asing, kenapa bisa berdebar seperti ini?" Menyandarkan tubuhnya ke dinding, gadis itu mengingat kembali sketsa wajah laki-laki yang tadi terjatuh bersamanya. Mata tajam, hidung mancung, serta rahang tegas seakan memukau dirinya sejenak. Airin juga menyadari jika lelaki itu juga tadi memperhatikannya. Hingga pintu terbuka dengan keras, memaksa dirinya harus cepat-cepat bangkit dari posisi y
Malam menyapa, Alex mengendarai mobil dengan santai. Menyusuri jalanan kota yang sedikit lengang, lelaki itu melirik jam di pergelangan tangan, menunjuk pukul sepuluh malam. Alex terlihat lega karena meeting berjalan dengan lancar. Lelaki itu tersenyum sumringah, mengingat proyek besar baru saja dia dapatkan. Alex kembali fokus ke kemudi. Melintasi sebuah jalanan yang sedikit sepi, lelaki itu melihat keributan dari arah depan. Tampaknya seorang supir taksi dan dua orang berkendara sepeda motor sedang bertikai. Alex menepikan mobilnya sejenak, mengamati dari jarak yang lumayan jauh."Cepat, serahkan semua barang berharga milikmu!" teriak seoarng pria berwajah sangar."Maaf, Tuan? Tapi, saya tidak punya barang berharga apapun." Supir taksi terlihat ketakutan. Tadinya dia tidak ingin turun, tapi mereka terus berteriak dan menghalangi jalannya."Alahhh, aku tidak percaya. Cepat! Serahkan! Atau...?" seorang lagi mengarahkan pisau persis di
Alex sudah kembali ke mobil. Lelaki itu diam sejenak, mengatur deru napasnya yang masih tidak beraturan. Mengamati taksi di depan sana yang masih belum bergerak. Alex begitu heran, padahal tadi sang supir sudah berpamitan padanya, ingin segera mengantar gadis yang tadi hampir di lecehkan oleh kedua begal itu. Namun, sudah lebih dari sepuluh menit, lelaki itu malah melihat keduanya keluar dari dalam taksi tersebut."Pak, bagaimana ini?" Airin kebingungan, dengan penampilannya yang seperti ini, tidak mungkin untuknya mencari kendaraan lain. Sedangkan malam sudah mulai larut, ponsel yang dia bawa pun sudah lowbet sejak tadi."Maaf, Nona. Saya akan mencarikan taksi lain untuk Anda." Pak Supir menyesal, karena tidak bisa mengantarkan gadis itu sampai tujuan."Tapi, apa masih ada kendaraan lain yang lewat?"Sang supir diam, mengamati jam di pergelangan tangannya. Lalu dia sadar, apa yang di katakan gadis di depannya ini benar juga. Jam menunjuk pukul dua belas
"Bunda...?" Airin mengerjap, merasakan tubuhnya yang sudah terasa membaik. Tadi, setelah Ayah Bagas menyuruhnya masuk kamar, Bunda langsung mengobati luka-luka di tubuh gadis itu dan memintanya untuk beristirahat.Airin tak bisa menolak, dia pikir akan turun nanti setelah dia mengganti pakaiaannya. Gadis itu ingin menjelaskan semuanya kepada sang ayah, sekaligus berterima kasih pada laki-laki yang telah menolongnya tadi. Tapi, baru saja Airin merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, gadis itu sudah tidak merasakan apa-apa lagi.Airin bangkit dari tempat tidur dengan cepat. Gelagapan sendiri, mengingat akan Alex yang tengah di introgasi oleh sang ayah."Kamu mau kemana?" Bunda yang sejak tadi menunggu gadis itu terbangun langsung mencegah, menahan langkah putrinya yang hendak meninggalkan ranjang."Turun, Bun. Mau nemuin Alex."Bunda sampai melongo di buatnya. Apa dia pikir mereka akan membiarkan laki-laki itu tetap disini hingga pagi?
"Sebaiknya perjodohan ini di batalkan." Alex mengulanginya lagi meski dengan kalimat yang berbeda.Papa Wahyu diam sejenak, mencerna ucapan dari Alex yang baru saja dia dengar. Begitupun dengan Bu Lasmi, perempuan paruh baya itu yang tersadar lebih dulu langsung menutup mulutnya tidak percaya.Apa??Brakkkk!Papa Wahyu langsung menggebrak meja keras, hingga terdengar suara sendok dan piring yang saling bersentuhan.Tangannya mengepal hebat, siap melayangkan pukulan pada siapapun yang ada di depannya. Kata-kata macam apa itu! Geram.Seorang pelayan berlari ke arah sumber suara, mengira ada sesuatu yang jatuh. Tapi, ketika melihat situasi yang memanas, langsung berbalik dan memilih meninggalkan tempat itu lagi."Apa maksudmu, hahhh!""Aku minta maaf, Pa? Karena tidak bisa melanjutkan perjodohan ini." Meski melihat sang papa sudah murka, Alex tetap melanjutkan ucapannya."Kamu sadar? Apa yang kamu ucapkan?" Papa Wahyu masih b
"Hallo...? I-iya...?"Sudah tidak tahu sepucat apa wajah Papa Wahyu sekarang, saat mengetahui siapa yang menghubunginya saat ini."Sekali lagi, maafkan aku, Wahyu. Sungguh, aku tidak punya niat sama sekali mempermainmu dan juga putramu. Tapi ini benar-benar murni kesalahan putriku. Aku hanya tidak ingin setelah menikah nanti, putramu akan menyesal. Sekali lagi, maaf. Aku harap pertemanan kita tidak akan putus sampai disini."Sumpah demi apa, Papa Wahyu sampai menjatuhkan telepon yang sejak tadi dia gengam. Hingga benda itu jatuh begitu saja menyentuh lantai. Bibik pelayan rumah yang kebetulan berada tidak jauh dari tempat itu, langsung bergegas menghampiri majikannya."Tuan? Anda tidak apa-apa?"Pria paruh baya itu masih bungkam, tangannya pun masih menggantung di udara, "Bik, Katakan. Apa saya sedang bermimpi?"Yang di tanya melongo heran, menatap wajah sang majikan ada di depannya."Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya Bibik sekal