Makassar 21 Agustus 2008
Diary, di sini aku masih separuh gamang ketika kejadian siang tadi terekam kembali seperti sebuah adegan film dalam benakku. Aku menggeleng frustasi, mengingat begitu banyak dosa yang harus kudapatkan karena cintaku yang bodoh ini.
Aku meringis menahan sakit meski tak terlihat luka itu adanya dimana? Andai saja luka itu kasat mata, maka dengan mudah akan kucuci bersih, kubaluri obat lalu kuperban untuk mempermudah proses penyembuhannya. Luka ini sungguh tak terlihat, tapi sakit yang ditimbulkan sangat nyata terasa.
"Karin, tadi Adnan ngapain ke kamar?" tanya Nadine yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamar.
"Kamu dari mana?" aku balik bertanya, tanpa menjawab pertanyaanya.
"Aku di sebelah, salat Maghrib di Masjid."
"Aku kok nggak dipanggil?" tanyaku lagi, kali ini sambil memutar tubuh ke arahnya dan membelakangi kiblat.
Makassar 09 Oktober 2009Entah mengapa rasa sakit itu menghilang. Aku tidak cemburu pada Fatma meskipun akhirnya tau tentang penghianatan ini. Aku menelan pahitku, mengecap getirku. Ini bukan pertama kalinya kehidupan menyuguhiku dengan kepahitan. Aku sudah terbiasa hidup dalam kerangkeng ketidak adilan, akan kuikuti kemana pun arusnya akan membawaku.Diary, kutitipkan semua kepingan-kepingan luka ini padamu. Biarlah jadi rahasia kita hingga ke ujung masa. Kan kusimpan dan kujaga dirimu baik-baik, sama seperti engkau menjaga semua kepingan rahasia hati ini dengan baik pula.Sejak kejadian di pesta sepupu Kak Sandra waktu itu. Aku mencoba merelakan Adnan, mengikhlaskan dia pergi mencari kebahagiaannya. Jika memang kebahagiaan Adnan bukan padaku. Aku tak ingin lebih lama menyakiti dan mengikat ia bersamaku.Makassar 12 Oktober 2009Diary, aku mau menangis, bolehkah? Apa yang terjadi sore ini sem
Makassar 03 Februari 2010"Tumben banget si kamu ngajak aku ke kebun Nad?" tanyaku dengan langkah sempoyongan di belakangnya karena pematang yang kami lalui terlalu sempit. Salah melangkah sedikit saja, bisa bikin kami tercebur ke sawah.Sejak kejadian di arena balap waktu itu, aku sengaja menghindar dari Adnan. Cara terbaik adalah dengan tidak menginap atau sekedar berkunjung ke rumah Nadine. Tiap Nadine kangen, dia yang akan datang dan menginap ke rumah Papa.Kadang pula Ichal sengaja menjemput kami berdua di depan gerbang sekolahku. Lalu kami akan pergi bertiga ke pantai atau ke mana saja. Masih jelas dalam ingatan betapa tercekatnya aku. Saat Ichal tiba-tiba mempertanyakan ketidak hadiran Adnan dalam jalan-jalan kami kali itu. Meski Nadine selalu punya banyak alasan untuk menutupi yang tengah terjadi sebenarnya dari Ichal. Tetap saja, aku merasa ada yang terkoyak dengan sangat keras jauh di dalam sana. Ketika nama orang begitu aku
"Mau ngomong apa?" tanyaku memulai pembicaraan ketika aku sudah mendarat mulus di sampingnya. Dia menoleh dan tersenyum manis. Aku membalas dengan senyum yang tak kalah manis pula."Satu tes lagi dan selesai," adunya dengan wajah yang murung. Aku beranikan diri meraih dan memegang tangan Adnan, lalu menggenggamnya erat."Kali ini kamu pasti berhasil, aku bantu doa." Aku mencoba membangun semangatnya, meski semangatku sendiri runtuh setelah itu."Bagaimana kalau aku benar-benar berhasil?" tanyanya seperti mengambang."Bukankah itu cita-citamu sedari kecil? Harapan terbesar mamamu? Kejarlah selagi kau mampu! Cukup aku saja yang tak punya mimpi," ucapku bijak, meski setiap kalimatku seperti boomerang yang akan selalu berbalik menyakiti diriku sendiri."Menikahlah!" ucapnya tiba-tiba membuatku menoleh menatapnya dengan jantung berdebar tak karuan, "Menikahlah! jika nant
Aku seperti terbangun dari tidur yang amat panjang, dan ketika aku membuka mata. Kulihat diriku sudah berdiri di sisi tebing yang curam ... semua arahku gelap. Seolah setelah ini, tak akan pernah ada sinar matahari lagi dalam hidupku. ***Makassar 12 Juni 2010Diary, tusuklah aku dengan belati beracun yang bisa membunuhku sekarang juga! Hujamkan puluhan tombak tepat ke tengah-tengah jantungku, agar tak lagi merasakan sakit ini.Oh ... Tuhan, mengapa cinta ini harus tumbuh? Jika saat harumnya kunanti Engkau cabut ia dari hatiku. Tali temali harapan yang telah kuikat begitu kuat dengan napasku. Mengapa harus terurai dan berbalik arah merajamku dengan duka tak berujung ini."Adnan!!" Ingin kuteriakkan nama itu hingga suaraku habis. Apalah dayaku yang terkurung dalam tradisi dan rasa
Nayra menghempaskan buku diary milik Karina dengan sekuat tenaga. Berharap dengan itu, sakit yang tiba-tiba merayap memenuhi rongga dadanya ikut terhempas. Dia memegang dada menahan sakit yang luar biasa. Menutupi wajah dengan dua tangan yang gemetar karena emosi telah membakarnya hingga dia merasa darahnya seakan mendidih. Nayra mulai terisak perlahan."Jadi Mbak Karin pun pernah terhisap ke lubang hitam itu? Lubang hitam yang membuat seorang kekasih merasa lebih baik mati daripada berpisah." Kedua bibir mungil Nayra bergetar hebat dengan semua racau yang terdengar samar.Jelas Nayra bisa memahami semua penderitaan Karina, hal itu yang akhirnya menjadi benang merah pertemuan mereka. Pertemuan yang telah mengikat hati keduanya dalam ikatan persahabatan yang begitu indah."Aku tak pernah melihat Mbak Karin dengan ayahnya Ayub sekali pun. Apa sebenarnya Mbak Karina juga tidak bahagia dengan pernikahannya, sama seperti Mas
Nayra berdiri di ambang gerbang rumah kakeknya Ayub. Sejenak dia terpesona melihat aneka bunga yang tengah berlomba-lomba memamerkan keindahan mereka dengan ragam warna dan bentuknya, "Ini Mbak Karina banget, tanaman hias yang berbunga." Nayra menggumam takjub pada keindahan di taman itu.Tanpa dia sadari, seseorang tengah mengawasi gerak-geriknya dari dalam rumah. Karina yang merasa seperti tidak asing, dengan orang yang tengah mengintai rumah mama sambungnya itu. Mengintip dari balik tirai jendela, "Nayra? Ah nggak mungkin, Nayra. Dia dapat alamat rumah ini dari mana? Eh, tapi, tunggu deh. Itu benar-benar Nayra." Karina bergegas keluar menemuinya.Karina menyongsong tetangga mungilnya itu. Tetangga ajaib yang selalu mampu bikin dia tertawa atau sekedar tersenyum. Tetangga sekaligus sahabat rasa adik perempuan. Karena tingkah Nayra yang memang kadang absurd banget dan bikin siapa pun akan terpingkal geli."Kamu bisa tah
Karina menatap lekat wajah Ayub, telah rapi dengan seragam putih merah yang dia kenakan. Karina sedikit tak percaya. Rasanya baru kemarin dia melahirkan bayi mungil itu dengan bertaruh nyawa. Mengabaikan semua rasa sakit demi bisa melihatnya lahir ke dunia. Dan lihatlah, sekarang! Bocah di depannya sudah tumbuh setampan ini, dan sebentar lagi dia akan masuk Sekolah Dasar.Ayun tersenyum lebar menatap ibunya, dia tengah sibuk membaca pikiran wanita yang sudah melahirkannya itu. Wanita yang paling diandicintai di seantero jagad, untuk saat ini."Kenapa menatap ibu seperti itu?" tanya Karina dengan alis berkerut."Bukannya Ibu yang lebih dulu menatapi Ayub?" tanyanya balik dengan senyum geli di sudut bibir mungil berwarna merah muda milik itu."Ibu bangga! Ayub sebentar lagi akan masuk Sekolah. Jadi anak yang pintar, ya, Sayang! Menurut selalu sama Kakek dan neneknya. Ibu sudah ikuti
"Apa kau sudah mulai mencintainya, Nayra?" tanya Karina entah mengapa merasa begitu ingin tahu tentang perasaan Nayra."Nggak, juga sih Mbak, aku cuma merasa khawatir. Aku takut kalau aku sudah menyinggung perasaan Mas Nandar tanpa sengaja. Belum lagi keesokan paginya dia berangkat dengan buru-buru sekali. Seperti tidak ingin berada di sekitarku dalam waktu yang lama," curhat Nayra. Sengaja memanipulasi keadaan."Apa kau sudah mencoba untuk menelepon dan menanyakan apa alasannya hingga dirinya tidak pulang? Bisa saja kan, dia lagi sibuk atau banyak urusan." Karina tanpa sadar telah begitu jauh memasuki ranah privacy mereka berdua. Meskipun dia selalu berusaha membuat Nayra berpikir positif pada Adnan. Tanpa Karina tahu, tentang sebuah konspirasi besar yang tengah dirancang oleh wanita lugu yang ada di depannya saat ini."Sudah Mbak, tapi dia bilang dia terlalu lelah untuk bolak-balik. Padahal dulu nggak ada masalah dia b