Setelah merawat luka di sikunya yang tadi tergores aspal, Karina mengurung diri di kamarnya. Ayub yang merasa ibunya butuh sendiri pun, hanya bisa menatap Karina iba. Ketika Karina melangkah tanpa tenaga menuju kamar dan menguncinya.
"Ibu! Kalau Ibu butuh apa-apa, Ibu panggil Ayub, ya!"
Suara Ayub dari arah pintu kamar, membuat Karina meneteskan air mata. Ini semua karena buku diary itu. Buku yang ingin ia musnahkan begitu tiba di rumahnya nanti, tapi takdir berkata lain. Buku diary itu raib digondol copet, beserta tas, alat make-up, dan HP-nya.
"Iya, Sayang. Maaf ya, ibu butuh sendiri dulu!" lirih Karina lemah.
"Iya, Bu, Ayub paham." Suara langkah yang menjauh membuat Karina yakin kalau Ayub sudah pergi dari balik pintu kamarnya.
Karina menggenggam erat dompet di tangannya, "Untung dompetnya kelupaan, kalau tidak, semuanya benar-benar akan kacau." Untuk yang pertama ka
Karina berdiri mematung di emperan toko yang sama, saat pertama kali bertemu dengan pria asing pemilik jaket itu. Menunggu ojek yang akan mengantarnya ke rumah Tante Tiara. Papa Karina menyuruhnya merawat adik perempuan satu-satunya yang lagi sakit. Karena anak Tante Tiara cowok semua dan sudah pada kerja. Jadi tidak ada yang merawat dan menjaga saat beliau sakit begini. Beberapa menit kemudian, ojek membawa Karina melaju menuju rumah Idham.Karina melangkah membuka gerbang rumah, berjalan ringan menuju pintu."Assalamu alaikum!" serunya meski tak ada jawaban dari dalam. Karina memutar knop pintu, ternyata tidak terkunci. Ia melangkah masuk dan menutup kembali pintunya."Tante! Tante! Tante Tiara ...! Dham ...!" panggil Karina berulang kali, tapi tak mendapat jawaban. Tiba-tiba Karina kebelet pipis, dengan setengah berlari ia menuju kamar mandi di samping dapur.Brugh!Begi
Karina masih bermalas-malasan di kamar, setelah acara makan siang dan segala ritualnya selesai (berbenah dan cuci piring). Tantenya lanjut istirahat, usai ia minum obat dibantu oleh Karina.Sementara Idham dan Raka, mereka heboh berdua di ruang tengah. Karina terlihat suntuk sendiri di kamar, tapi gara-gara kejadian tadi, dia enggan untuk bergabung dengan mereka.Tok... Tok...Karina melengos malas ketika tiba-tiba pintu kamar diketuk dari luar, "Pasti si Idham, mau jahil lagi!" gerutunya, "apa!?" bentak Karina kesal."Ceila, jangan ngambekkan dong, Kak. Bercanda kita!" teriaknya dari luar."Bodo', Pergi sana! Aku mau tidur!""Kak ... entar nyesel, loh," godanya lagi, sambil mengetuk pintu menggunakan irama gendang dangdut. Membuat emosi Karina benar-benar merambat ke ubun-ubun, dia melangkah keluar tidak sabar menjitak kepala adik sepupunya itu.
"Kak ...! Kakak!" teriak Idham memenuhi seluruh ruangan rumah Mama Ina."Belum ketemu beberapa bulan, sudah serindu itu kamu sama kakak, Dham? Sampai suaramu harus menggelegar di seluruh penjuru?" sungut Karina kesal, menjitak pelan kepala adik sepupunya itu."Ini masalahnya genting, Kak!" Idham nampak panik."Ah, bisa aja loe, sok penting.""Serius, Kak!""Ya, tidak usah berbelit-belit kalau gitu, ngomong aja langsung kamu kenapa? Paling mau minjem uang," tuduh Karina."Emang Kakak punya uang, buat aku pinjam?" ejek Idham mulai jengkel."Makanya kamu ngomong aja langsung, kamu kenapa? Sampai genting kamu bawa-bawa." Idham duduk prustrasi di kursi sambil mengacak rambut sendiri, "Dimas kecelakaan!" ucapnya lemas."Innalillah, jadi bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Karina dengan raut wajah datar tanpa ekspresi.
"Hal terindah dalam sebuah hubungan adalah ketika pelaminan telah menjadi muaranya."Faiqa EiliyahKarina menatap Raka dengan jantung mulai berdebar tak karuan. Saat tatapan mata pria di depannya serasa mampu menyelam masuk ke dasar hatinya."Be my wife!" pinta Raka menggenggam erat jemari Karina dan menatapnya lekat."Jangan gila deh, usiaku lebih tua dua tahun darimu, jangan ngasal kamu." Sergah Karina sambil mencoba menarik tangan dari genggaman pria tampan di depannya. Pria tampan yang kini tengah berusaha meruntuhkan keangkuhannya."Please!" pinta Raka masih dengan tatapan itu, tatapan yang membuat Karina lemah."Kamu bisa mendapatkan banyak wanita seusiamu di luar sana, bahkan yang jauh lebih muda darimu.""Apa yang seumuran denganku atau yang lebih muda dariku bisa menjamin aku bisa merasakan perasaan yang sama seperti yang kurasak
Karina mengikuti Rani dengan berbagai pikiran yang lalu lalang di benaknya. "Nah, itu dia tempatnya!" tunjuknya dengan ekspresi wajah girang.Karina mengikuti arah telunjuk Rani, di mana di tempat itu berbaris macam-macam penjual jajanan. Seperti Bakso bakar, jagung bakar, kacang rebus, aneka gorengan, aneka kue dan aneka minuman."Apa yang akan kita lakukan di sini?" tanya Karina seperti orang bodoh."Aha ... ha ... ha ... menurut Kakak kita mau ngapain di tempat seperti ini?" tawa Rani pecah menertawakan kepolosan wanita di sampingnya."Ayo, Kak, kita makan besar!" serunya bersemangat. "Tenang, sebelum ke sini Kak Dimas memberiku uang yang cukup untuk kita makan sampai sesak!" sambunganya cekikikan."Kakak mau makan apa?" tanyanya masih dengan gaya bicaranya yang super cepat."Kamu duluan aja deh, nanti kalau kamu benar-benar sudah kenyang baru kakak bantu,
"Bagaimana bisa ada luka di sini?" tanya Raka dengan nada overprotektif yang begitu kental dalam intonasi suaranya."Tadi aku terpeleset dan jatuh," jawab Karina bohong."Yakin, hanya terpeleset?" tanya Raka penuh selidik."Iya, yakin!" jawab Karina menarik tangan dari genggaman pria tampan di depannya."Kamu tidur di sini, di sampingku!" bisiknya. Karina mengangkat tangan menjitak kepala Raka."Lama-lama di dekatmu bisa-bisa otakku terkontaminasi hal-hal kotor," bisik Karina, berbalik dan beranjak pergi. Sekali lagi Raka menarik tangannya lembut."Jangan jauh-jauh!" bisiknya dengan senyum yang membuat Karina merasa nyaman."Aku mengantuk Raka, biarkan aku tidur di samping Rani.""Kenapa harus di samping Rani?" Raka bertanya dengan tatapan mata yang tajam pada Karina."Raka!" seru Karina setengah
Sudah seminggu ini Karina mengurung diri di kamar rumah Tante Tiara. Sejak kejadian di rumah Mama Ina waktu itu, dia tak pernah merasa tenang. Di satu sisi dia ingin sekali menemuinya dan minta maaf. Namun, di lain sisi Karina tidak tau Raka tinggal di mana? Kadang dia kepikiran mau minta tolong dipertemukan sama Idham, tapi caranya memaki-maki Idham sepulang dari Rumah sakit waktu itu membuatnya malu untuk bertanya. Idham yang dulu selalu mengganggu dan mengajak perang, juga berubah. Iya, dia masih mengajak perang, tapi perang dingin kali ini. Padahal Karina butuh banget kabar tentang Raka. Sebulan ini mereka lost contact sama sekali."Mungkinkah, dia tak lagi perduli padaku, karena merasa telah diabaikan?" gumamnya lirih. Karina membolak-balik bantal di sekelilingnya, mencari posisi yang pas untuk tidur dan melupakan semua kerumitan.Tok ...tok ... tok ..."Ya, Tante, masuk!" Pintu kamar terbuka, Tante Tiara menyembul
Raka tak mengerti apa yang sudah adiknya perbuat pada wanita yang begitu dia cintai itu. Yang dia tau, Karina sepertinya begitu frustasi. Dia melambaikan tangan pada pelayan, mengeluarkan dua lembar uang biru, "Kita pulang!" titahnya, lalu beranjak meninggalkan Karina.Hati Karina menciut, takut kalau Raka meninggalkannya di sana? Karina akan tersesat karena tak tahu jalan pulang, Karina mengikuti langkah Raka terseok-seok. Kakinya benar-benar sudah tidak kuat diajak berjalan, belum lagi langkah Raka yang panjang-panjang dan cepat membuatnya tertinggal jauh di belakang.Ketika Raka semakin jauh dan menghilang di antara kerumunan orang-orang yang lalu lalang. Karina panik bukan main, dia tak pernah ke Kota sebelumnya."Andai aku tau di mana alamat Nadine!" jeritnya putus asa. Belum lagi betisnya yang benar-benar sudah kram dan ya, Raka juga sudah lama menghilang ditelan kerumunan itu.