Dengan berbagai resep obat dan terapi yang diberikan, aku bisa cepat pulih. Dan tak lagi bergantung pada kursi roda untuk menopang tubuh.Berbagai kegiatan sudah kulakukan sendiri seperti naik turunun tangga dan ke kamar mandi. Bahkan sholat pun aku sudah bisa berdiri.Malam ini, selepas sholat isya berjamaah aku langsung melipat mukena, dan mengganti pakain dengan gaun tidur merah berbahan satin. Kusolek diri di depan meja rias dengan membubuhkan sedikit lipstik warna bibir dan parfum di sekitar tengkuk dan lengan.Tampak dari balik cermin, bang Arga sudah duduk bersandar memainkan ponsel. Entah kenapa kuperhatikan akhir-akhir ini dia memang lwbih sering bergulat benda pipih itu, daripada menghabiskan waktu ngobrol denganku."Ekhmmm." Sedikit dehaman kukeluarkan sebelum naik ke atas ranjang. Kemudian beringsut mendekat, dan menyandarkan kepala di dadanya yang bidang.Bang Arga akhirnya meletakan ponselnya di nakas. Bisa kurasakan dia mengelus kepalaku dan mengecupnya pelan.Cukup l
Tiap hari selama tiga minggu kerjaan lu cuma begini?" Roy bertanya sesaat setelah aku menyodorkan piring berisi nasi dengan lauk sayur asam, ikn asin, sambal. Dan tempe goreng."Emangnya apalagi yang bisa dilakuin orang bunting? Benerin genteng? Ngaduk semen? Atau manggul bata?" Jawabku sekenanya sembari meraih remot dan menyalakan televisi di ruang tamu yang kecil ini. "Emangnya salah kalau gue suka cuma beberesih, msak, sama nonton series?"Roy mendengkus "Ya, nggak gitu juga, Zubaedah."Lu, kan bisa main-main ke tetangga, ngerumpi sambil ngemil kuwaci. Atau bisa juga daptar aerobik di Gor tiap seminggu sekali, " usulnya sesekali sambil menyuap nasi."Nggak tertarik. Menurut gue gabung circle mak-emak kompleks bukannya nambah temen, malah nambah musuh. Belum lagi ngomongin orang tiap hari." Bikin keki ""Dih, emang agak laen cewek yang satu ini." Royengeritingkan bibirnya. Ekspresi yang khas sekali bila dia sudah mulai nyinyir . " Padahal shopping atau jalan-jalan, ke sesekali. Ny
"Biar sama sama saya aja, Bu!" Kusentuh bahu Bu Nita yang tampak begitu terkejut sekaligus bingung, tapi di satu sisi akhirnya dia menyingkir.Aku memilih duduk di samping tubuh Nana yang masih tantrum di lantai puskesmas, karena memang tak memungkinkan untuk berjongkok dengan kondisi yang seperti ini."Nana sayang...." Kuraih sebelah tangannya yang terkepal.Anak itu menoleh, tangisnya seketika terhenti masih menyisakan isakan yang menyesakkan dada."Mama.... Mata bocah itu terbuka, dia seka air mata yang menghalangi jarak pandangnya. "Mamaaa...." Nana terpekik lalu kembali menangis sembari memelukku. Tak ada yang bisa kulakukan selain mengusap kepala dan rambut yang basah oleh keringat dan air mata. Panas terasa saat kulit kami bersentuhan. Seperti anak ini demam tinggi. Wajahnya juga pucat sekali dengan bibir yang sangat kering. "Periksa dulu, yuk! Nanti kita ngobrol lagi." Dia mengangguk, lalu menurut saat kupinta bangkit. Tangannya masih melingkar di pinggang walaupun sedik
Hal tersulit dari semua ini adalah setatus sebagai seorang istri yang dituntut untuk mengabdi. Ketika dinding yang semula dibangun untuk membatasi akhirnya luruh dalam diri. Ketika ego dan martabat yang dibumbung tinggi akhirnya dulucuti demi hak dan kewajiban yang tak terpenuhi selama tujuh bulan ini. Aku tahu Arga sudah berusaha dengan keras sejak kesepakatan itu terjadi, memenuhi apa yang seharusnya dia lakukan sebagi seorang suami. Menyirami tiap benih yang bersemi agar kelak tak kembali mati.Walaupun banyak yang terjadi dan ego dalam diri masih tak mampu menerima semua kenyataan yang ada. Aku berusah untuk berdamai dengan keadaan. Menerima tiap luka dan derita yang ditorehkan mereka. Menjalani hidup yang tersisa bersama dengan pahit dan manis yang tersisa di tiap perjalanannya.Kini adalah giliranku untuk berbakti, memenuhi kewajiban sebagai seorang istri meski waktu yang tersisa hanya beberapa bulan lagi. Akan kubawa dia terbang ke langit yang tinggi. Menghiasi malamnya den
Seiring dengan waktu yang berjalan, usia kehamilanku kini semakin besar, banyak hal dan perjalana yang aku dapatkan selama aku hamil, ternyata menjadi seorang ibu perjuangan yang sangat amat luar biasa. Andaikan dulu aku di rawat dan di besarkan oleh kedua orangtuaku, mungkin banyak ceritaku yang akn aku ceritakan tentang kisah hidupku ini. Tak begitu berharap banyak tentang sosok orang yang melahirkanku. Yang pasti dia bukanlah seorang ibu, jika dia seorang ibu maka dia akan merawatku dengan tulus meskipun keadaan yang sulit. "Alara!" Panggil Arga. "Iya," jawabku ketika aku sedang duduk di sofa."Mungkin nanti Naya akan ke sini!" "Mau ngapain?" Cetusku."Mungkin mauelihat keadaan kamu," "Emangnya aku kenapa? Aku baik-baik aja, kan. Ga!"Sebenarnya aku merasa tak ingin kalau Naya datang ke kosanku ini, karena aku yakin ada niatnya yang tersembunyi, kalau bukan karena itu tidak mungkin dia mau datang ke sini."Assalamualaikum." Suaran Wanita mengucapkan salam di depan ruamah.
"Terus jika sekarang kamu ikut dengan kami akan tetap menolak?" Tanyanya serius."Iya, aku tidak akan ikut dengan kalian, karena kamu tahu nggak mungkin ada dua ratu tinggal di satu istana. Kamu harus ingat meskipun status kita sama tapi posisi kita berbeda, menempatkan kita berdua dalam satu atap yang sama cuma bakal menciptakan lebih banyak luka dan perselisihan. Ngerti, kan. Sekarang?" Tututrku jelas.Nya terdiam dan merenung sejenak mendengar tutur kataku, kemudin di beranjak berdiri dari semula duduk dan berlalu menghampiri Arga kembali, menyuruhnya untuk segera mengemasi barang-barangnya.."Sayang, kita pulang sekaran! Aku merasa sudah gerah di sini. Dan sekaran kemasi barang-barang kamu!" Cetusnya."Loh, kok. Buru-buru, katanya kita mau makan bareng dulu, Alara udah masakin buat kita, loh, Nay." Protes Arga."Nggak usah, lagian Nila d rumah udah masak kesukaan kamu. Jadinya sayang kalau nggak di makan.Aku tahu Naya sedikit emosi karena dengan kata-kataku, maka dari itu dia
Sudah dua minggu ini aku tidak berjumpa dengan Arga, dia tidak menjumpai aku, dan tidak ada telepon ataupun kirim pesan, mungkin dia sedak menimati masa berdua sama Naya. Karena sudah lama tidak bersama, aku mengerti dengan posisiku saat ini, dan aku tidak bisa melarang atau menyuruh Arga ketika aku butuh padanya."Ala, kita ke rumah Nana, yuk?" Ajak Roy."Mau ngapain?" Tanyaku heran."Gue nggak mau lihat lo tiap hari bengong aja, mendingan kita ke sana, kan, lo udah janji waktu ketemu di puskesmas bahwa lo akan main ke rumah Nana." Tutur Roy."Oh, iya, yah. Gue lupa." "Yaudah, gue siap-siap dulua, lo tungguin aja dulu."Aku pun segera bersiap dan berganti pakaian. Memang waktu itu aku pernah janji sama Nana kalau aku akan ke rumahnya main, kalau bukan Roy yang ingetin mungkin aku tetap akan lupa."Ayo, Roy. Gue udah siap, nih." Ajakku yang telah selesai berganti pakaian."Terus, mau bawa apaan buat Nana?" Tanya Roy."Entar kita beli aja di jalan makanan kesukaan dia sama mainan."
"Iya, juga sih, Mah." Waktu pun sudah sore, waktunya pulang. Bu Nita pasti sudah menunggu, kami semua beranjak pergi, dan setelah mengantarkan Nana, aku dan Roy pulang ke rumah. Rasa rinduku pada Nana sudah terbalaskan. Sekarang aku kembali di kosanku, karena capek seharian jalan-jalan aku pun terbaring di sofa dengan tubuh terlentang. "Roy!" Panggilku."Apaan sih, lo. Teriak-teriak." Jawab Roy dengan membawa segelas jus alpukat untukku "Nih" Roy menyodorkan jusnya. "Perhatian banget, sih lo. Thanks yah!" "Pijitin kakiku dong, pegal banget," lanjutku.Mata Roy membelalak karena dia juga merasa lelah dan butuh istrihata, tapi jika aku yang minta Roy tak tega, karena aku sedang hamil dan Ibu hamil itu gampang capeknya. Akhirnya Roy pun menuruy kepadaku."Ala, kok, kaki lo kayak yang bengkak gitu?" Tanya Roy sembari memijat-mijat kakiku."Iya, gue juga aneh, emang Ibu hamil kayak gini yah?" Aku merasa aneh."Mungkin!" ***Di lain tempat Arga dan Naya sedang berada di sebuah cafe,