Leo tiba di kantornya, oh, gedung itu bukan miliknya, jadi rasanya mengatakan kantor miliknya kurang tepat. Ia dan Haidar hanya menyewa satu lantai sebagai markas mereka. Jam tangannya menujukkan tepat jam sembilan lebih tujuh belas menit pagi. Terlalu pagi sebenarnya karena biasanya ia datang setelah jam sepuluh tepat sejak Haidar kembali aktif setelah cuti honeymoonnya selesai.
Lobby kantor seperti biasa sudah dipenuhi oleh banyak karyawan yang memang masuk lebih awal, ada yang masuk jam tujuh pagi, jam delapan pagi hingga jam sepuluh siang. Entah apa yang dipikirkan Omar hingga ia membuat jadwal demikian. Sepertinya ia tak ingin kantornya sepi.
Ia berjalan lurus, seperti biasa, mengabaikan perempuan yang berdiri di belakang meja resepsionis yang selalu menyapanya dengan keakraban yang berlebihan mengingat ia bukanlah siapa-siapa disana.
Saat melihat pintu lift yang mulai menutup, ia mempercepat langkahnya dengan harapan tak akan
Leo tiba di kafe Alya tepat pukul tujuh malam. Setelah seharian tak bisa menghubungi perempuan itu, ia ingin cepat-cepat melihatnya. Hatinya tak tenang, ibarat genderang perang yang terus membuat keributan di dunianya yang sunyi.Bau harum kopi dan roti menyambut kedatangannya membuat Leo merasa disambut dengan hangat. Perasaan yang belakangan menjadi familiar dan tentu saja membuat hatinya menghangat tanpa ia sadari. Perasaan merasa di terima.Di luar udara cukup dingin, dengan gerimis kecil yang membuat udara Jakarta lebih layak untuk dihirup dari biasanya. Seandainya saja udara di Jakarta seperti itu setiap hari. Mungkin ia tidak akan mudah marah. Namun terima kasih untuk aroma harum kopi itu. Kekesalannya turut menguap, membaur dengan kehangatan yang ditawarkan kafe itu.Leo melangkahkan kakinya dengan tegas melewati meja-meja yang terisi, suasana kafe cukup ramai. Tawa serta senda gurau terdengar pelan, membuat suasana kafe tetap tenang dan terkesan hangat,
Malam itu entah mengapa Alya merasa cemas. Tak sekali ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari sesuatu, entah apa. Sesuatu yang merisaukan hatinya. Meja-meja bulat yang dibalut kain putih cantik dipenuhi oleh tamu undangan yang menyaksikan momen istimewa sepasang pengantin baru yang saat ini sedang berdiri menyambut tamu yang hendak menyalami mereka. Ia sendiri duduk di samping Hamza, sepupunya itu seperti biasa tampak memesona. Ia mengenakan setelan jas hitam dan dalaman kemeja berwarna putih, tidak terlalu mencolok, dan tentu saja tidak menyaingi si pengantin laki-laki yang berhasil mencuri perhatian para tamu undangan. Alya menyeruput kembali minumannya dengan pelan, ia sudah selesai menyantap salah satu menu yang di tawarkan di antara begitu banyak stan makanan. Hamza pun sudah selesai. Ia tengah mengobrol dengan tamu undangan lain yang ternyata adalah temannya. Alya entah mengapa tak bisa melancarkan aksinya. Ia rasa menjalin hubungan dengan tema
"Kamu mungkin menyimpannya dengan nama samaran," guman Alya. Ia tidak bodoh. Tidak bisa begitu saja mempercayai ucapan laki-laki seperti Leo. Apalagi tindakan laki-laki itu sangat bertolak belakang dengan ucapannya.Leo melepas napas lelah, "Kamu bisa memastikannya Alya, ada foto profilnya. Dan aku tidak suka mengoleksi nomer orang yang tidak aku sukai," jelas Leo.Benar saja, saat Alya membuka aplikasi chat ternyata hanya ada beberapa nama yang tersimpan dan dari semuanya adalah laki-laki kecuali Salma dan dirinya. "Kamu menghapus kontak mantan-mantanmu?" Tanya Alya penasaran.Leo dibuat tertawa oleh pertanyaan Alya yang bodoh. "Mereka disebut mantan karena untuk dilupakan Alya!" Jawab Leo merasa geli.Alya menggelengkan kepalanya pelan. Ia masih menemukan kesulitan untuk mempercayai ucapan Leo. Namun yang lebih mengerikan adalah ucapan Leo tersebut. Apakah ia selalu memblacklist semua mantan-mantannya?Dia bahkan nggak pun
Leo kembali ke apartemennya setelah mengawasi Alya yang berjalan layaknya bocah yang batal diajak ke Dufan untuk bermain. Ia tahu Alya sedang marah, sikapnya sudah cukup untuk memberitahu Leo perasaan perempuan itu ketika keluar dari mobilnya. Ia juga sama marahnya. Marah kepada dirinya sendiri, bagaimana bisa ia berpikir hal yang tidak mungkin? Alya adalah sesuatu yang tidak mungkin ia miliki di dunia ini. Hal itu adalah kepastian yang ia yakini. Selama Alya masih memiliki darah yang sama dengan keluarga Omar, maka tidak akan ada yang bisa mengubahnya. Di dalam apartemennya Leo segera membuka laptop pribadinya begitu ia memasuki tempat yang dingin dan sunyi itu. Ia tidak tahu apakah mungkin menemukan kehangatan di sana. Mata elangnya memindai setiap gambar digital yang terpampang di layar laptopnya setelah jari-jarinya menari di atas keyboard membentuk kata Brain cactus. Sudut bibirnya melengkung ke atas membentuk senyuman kecil, ta
Sudah hampir dua jam Alya memandangi dua tanaman yang ada di meja kerjanya. Satu tamanam asli alias hidup sementara yang lain adalah buatan tetapi Alya hampir tidak bisa membedakannya. Leo benar-benar memanfaatkan bakatnya dalam membuat kaktus buatan itu hingga terlihat begitu sempurna. Keduanya adalah Brain cactus. Senyumnya masih melekat di bibirnya yang dilapisi pewarna merah yang dikenal dengan lipstick. Terlihat mencolok dengan jilbab hitam yang melapisi kepalanya dengan sempurna tak menyisakan sehelai rambutpun untuk dipertontonkan. Ia tak menyangka ternyata Leo sangat romantis. Ia rela meluangkan waktunya yang berharga untuk membuat token perjanjian damai pertama mereka. Ia pikir ia mulai jatuh cinta pada laki-laki arogan itu. Sudah hampir seminggu berjalan sejak mereka membuat kesepakatan itu. Sudah ada empat koleksi kaktus yang ia terima dari Leo tidak termasuk kaktus artificial, tiga diantaranya bergabung dengan koleks
Meski hanya beberapa saat Lana berkerja di kafe Kopi dan Lemon, tetapi karyawan kafe itu sudah terbiasa dengan keberadaan Lana, begitu pula dengan Alya. Ia merasa ada yang ganjil saat Lana tiba-tiba berhenti bekerja dengan alasan yang tidak masuk akal. Alya masih tidak bisa menerima keputusan Lana begitu saja. Pasti ada yang tidak beres. Memikirkan Lana membuat Alya tidak bersemangat. Tidak ada pekerjaan yang beres. Selama beberapa jam ia hanya menatap layar laptop sambil bertanya-tanya, kira-kira yang salah dengan Lana. Apakah Lana berkata jujur? Pulang kampung bukanlah hal kecil apalagi jika tidak ada niatan untuk kembali ke Jakarta sementara dari yang ia ketahui Lana masih berada pada tahun kedua di kampus. Paling tidak Lana membutuhkan waktu dua tahun lagi untuk bisa keluar dari kampus dengan gelar kebanggaan sebagai seorang sarjana. Itupun jika tidak ada kendàla dengan kukiahnya. Tak menemukan alasan untuk lebih bersemangat dalam menulis nov
Leo merasa hubungan dengan Alya berjalan dengan sangat mulus. Terlalu mulus hingga sulit untuk ia percayai hal itu terjadi. Ya, sekarang sudah hampir enam minggu sejak mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Meski sepasang kekasih baginya sangat berbeda dengan konsep sepasang kekasih yang ada di benak Alya. Bagi Leo, sepasang kekasih berarti mereka akan melakukan make out sessions setiap kali bertemu, karena itulah yang biasanya ia lakukan dengan mantan kekasihnya sebelumnya. Sementara Alya? Ia memiliki konsep sendiri. Sepasang kekasih itu berarti sopir pribadi, teman makan, teman belanja, dan teman mengobrol. Sesuatu yang membuat Leo belakangan frustrasi. Sekarang saat mereka telah menjadi kekasih, ia malah tidak memiliki kesepatan untuk mencicipi bibir ranum Alya karena setiap kali ia hendak melakukannya Alya selalu saja memiliki cara untuk menghindar. Oh, betapa ia sangat menginginkan hal itu. Leo harus puas dengan pelukan ringan dan kecupan malu-malu dipipi.
Alya datang ke kediaman keluarga Dieter tepat setelah melakukan salat Zuhur di kafe. Mario mengantarnya dengan bermotor. Sebenarnya ia tidak suka menaiki kendaraan yang berisiko besar itu tetapi apa boleh buat, daripada menemukan dirinya dalam kemacetan kota pada jam-jam sibuk tentu saja menaiki motor trail adalah pilihan yang lebih masuk akal. Saat ia datang, beberapa saudara maupun kerabat keluarga itu sudah berada di sana, bersantai sambil bersenda gurau atau membantu pekerjaan di dapur yang mendadak sibuk. Ya, malam nanti akan diadakan pengajian untuk menyambut kehamilan menantu pertama dan satu-satunya di keluarga itu yang memasuki bulan ke tujuh, yang juga merupakan cucu kedua di keluarga itu, yang tidak lain adalah kehamilan kedua Rara. Keramaian yang disebabkan oleh teriakan anak-anak memenuhi setiap ruangan, mereka berlarian sambil saling berteriak dan tertawa. Sementara beberapa orang dewasa tampak tak terpengaruh oleh keributan itu, mereka mengobrol hangat di ruan