“Cewek apa cowok, Dok?” tanya Wenda yang sedari tadi berbaring di ranjang pasien sembari dokter melakukan USG.“Ya belum Bun. Ini masih sekitar 3 bulan 2 minggu. Belum kelihatan apa-apa. Alhamdulillah panjang dan beratnya normal.”“Alhamdulillah.” Timpalku yang selalu berharap keponakanku baik-baik aja. “Vitaminnya sudah habis?” Dokter mencuci tangannya pertanda dia menyudahi pemeriksaan. Wenda pun turun dari ranjang.Aku yang dari tadi duduk manis sambil menyisir seisi ruangan serba putih seperti baju Dokter Obgyn yang barusan duduk di hadapanku. Tak lama Wenda menyusul duduk di sampingku. “Tinggal 2 tablet, Dok.”“Saya tambah vitaminnya ya bun.” Dokter menulis di secarik kertas lalu menyerahkannya ke perawat di sampingnya.“Makasih Dok.” Wenda mengembangkan senyuman lalu mengambil kertas tersebut dari tangan perawat.Kami keluar dari ruangan obgyn lalu segera menuju loket pembayaran dan apotek yang letaknya bersebelahan. Kulihat raut wajah mbak Wenda tampak sumeringah. Tumben tid
Aku dan Mbak Wenda duduk bersebelahan di sofa. Bola mata kami sama-sama menyorot tajam ke makhluk di depan kami. Wanita asing yang baru saja kami kenal, tepatnya kami harus terpaksa berteman dengannya karena Mas Revan yang membujuk kami.Aku masih tidak terima dengan apa yang dikatakan Mas Revan. Entah karena aku sudah terlanjur pikiranku menjadi negatif pada lelaki itu? atau karena sulit masuk logika di otakku?Aku mencoba mengingat kembali adegan saat kami semua berada di teras.“Udah Ri, kita masuk rumah aja. Gak enak sama tetangga.” Ucap Mbak Wenda yang melirik ke kanan dan ke kiri.Benar juga ya.Pandanganku beralih ke Mas Revan dan wanita itu, Diana. Aku menggerakkan kepala sedikit ke arah kanan mengkodenya untuk mengajaknya masuk.Aku dan Mbak Wenda duduk bersebelahan.Kulihat mas Revan mengarahkan Mbak Diana untuk duduk di sofa sebelah mbak Wenda, sementara dia berada di sofa terpisah dengan kami bertiga. Kami sempat diam menatap canggung satu sama lain.“Diana itu…” Ucapan Ma
“Ice matcha espresso satu, ice caramel latte satu, hot americano satu, french fraise dua. Ada tambahan lagi?” Mbak Diana mencatat di secarik kertas yang dipegangnya di tangan kiri.“Gak mbak cantik.” Ucap seorang pelanggan pria.Dia bersama dua pria lainnya yang dari tadi senyum-senyum menatap mbak Diana. “Ehem.” Seorang teman di sebelahnya duduk tiba-tiba mencolek pinggang Mbak Diana tanpa permisi.Sontak Mbak Diana kaget dan mundur selangkah.Aku sedari tadi duduk manis di kursi pelanggan paling pojok dekat ruang dapur sambil memantau cafe dengan syantik. Kulihat salah satu meja pelanggan tepat di seberangku ditempati orang-orang yang sepertinya tidak bersahabat dengan mbak Diana. Ihh dasar cowok-cowok mesum!Penampilan mereka bertiga dengan kaos oblong dan jeans robek. Ada yang tindik di telinga, ada yang di hidung, ada yang di alis. Sejak mereka datang, seperti membawa aura kegelapan di cafe ini.Duh, kenapa di hari pertama Mbak Diana kerja sebagai pelayan di sini, ada orang-ora
Aku terdiam duduk di kursi pelanggan melihat ruangan cafe telah sepi pengunjung. Astaghfirullah cobaan apa lagi ini?Ingatanku traveling saat kemarin terjadi insiden di cafe. Setelah ambulance membawa pergi pasien yang mengalami keracunan, aku melihat para pelanggan sibuk menggunjingkan cafe ini. Tatapan mereka sangat tajam seperti menusuk jantungku tapi tak berdarah.“Oh ini ya pemiliknya.”“Ya… masih muda sok belagu.”“Owalah, pantes dia sering duduk di situ, ngawasin kita.”“Dia ngawasin siapa yang mati lebih dulu.”“Eh, kan ada yang meninggal dulu, katanya satpam ditusuk.”“Ih, kok jadi angker ya.”“Kasihan, mungkin ulah hantu kali nyari korban siapa yang mati lebih dulu.”Suara-suara mereka benar-benar berisik di telingaku. Omongan mereka nyelekit sepedas cabe. Belum ada info detail apakah benar keracunan minuman dari cafe atau hal lain. Namun mereka sudah membuat cerita sendiri seakan sutradara yang memahami dan membuat alur setiap adegannya. Begini rasanya bullying verbal. “A
Sampailah kami ke Black Coffee. Belum sempat kami melangkah masuk, ada seorang seorang waitres keluar dari cafe. Aku bisa melihatnya jelas dari seragamnya. Dia menatap kami dengan mata melebar dan mengedipkannya berkali-kali. Arah pupilnya ke segala arah. Terlihat jelas pria muda itu gugup.“Maaf permisi.” Pelayan pria itu berbalik arah kembali masuk.Kulihat punggungnya saat dia berbalik. Spontan pandanganku mengarah ke leher. Tepat dugaanku, dialah pemilik tato M. Dialah pelakunya.Tak kusia-siakan kesempatan itu. Aku langsung menarik bahu kirinya agar berbalik menghadapku. Pandangan matanya heran menatapku.“Ya mbak?” Tanyanya heran.“Aku perlu… Ini…” ucapku datar."Hiyaat!" jeritku mengeluarkan tenaga dalam.Seketika itu aku melayangkan kaki kananku menendang keras ke alat vitalnya dengan sekuat tenaga.“Aaaggh!” jerit pria itu.“Aku panggil polisi!” tegasku mengancamnya.Aku melihat pria itu meringkuk merintih kesakitan sampai ke ubun-ubun. Aku mengambil kesempatan lagi untuk me
Bab 45 – Nyinyiran Orang“Hebat ya. Durasi videonya lama. Padahal adegan berkelahinya aja gak ada. Kok bisa ya.” Cibir Doni padaku sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding.“Eh, ada kok mas Doni. Ini lho keren banget.” Mbak Diana tampak tersenyum sendiri menatap layar ponselnya.“Eh, Mas Doni tetep paling keren kok. Walau cuma sedetik videonya, serangan Mas Doni di imajinasiku durasinya panjang tak berujung.” Senyum mbak Diana benar-benar terpancar hanya untuk mas Doni seorang.“Ehem… Baru aja aku dapat fans, tapi sekejap itu direbut sama actor kelas teri.” Sindirku sambil memainkan bola mata malas.Mbak Diana bakal jadi fans setia Doni nih.“Bos, aku padamu kok. Fans beratmu mmuaaah…” Siska memainkan jemarinya berbentuk hati kecil sambil mengedipkan mata genit. Aku kembali mendekatkan wajahku ke layar ponsel milik mbak Diana yang bersandar pada penyangga ponsel diatas meja.Video yang diupload tiga hari lalu itu kini viral dan viewer-nya tembus ratusan ribu. Masuk trending topik nih!
Dekorasi ruangan tampak putih dengan dihiasi bunga-bunga segar berwarna warni yang menempel pada panggung di samping aku duduk. Di depanku persis tampak beberapa lelaki yang duduk saling berhadapan. Salah satunya kulihat sosok Mas Rayyan.“Saya terima nikah dan kawinnya Ria Khadijah binti Abdurrahman dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.” Ucap mas Rayyan sambil menyalami ayahku.“Sah?” ucap penghulu.“Sah.” Ucap saksi.Aku duduk di kursi belakang membelakangi Mas Rayyan sambil menahan isak tangis yang sulit kubendung. Ucapan Mas Rayyan benar-benar merdu di telinga. Jantung ini seperti mau copot karena debarannya tak kuasa kutahan. “Aku gak setuju!” terdengar suara mbak Wenda dari balik pintu kamar membuyarkan dunia halusinasiku. “Ihh!” gerutuku sebal.Bayangkan, lagi asik menonton film pernikahan secara syar’i sambil membayangkan diriku berada di sana. Aku merasa menjadi tokoh utama wanita yang duduk membelakangi pasangannya saat prosesi pengucapan ijab qobul. Di
Bab 47 – Kala Mentari Tertutup Awan Mendung“Mbak Wenda kasih nama bayi ini siapa?” tanyaku sambil menggendong bayi perempuan. Ny. Wenda Fatimah, nama yang tertera di kertas yang melingkar pada kaki kanan bayi mungil ini.Alhamdulillah Mbak Wenda telah melahirkan secara caesar di sebuah rumah sakit swasta. Ini sudah hari kelima kami menginap di ruang VIP. Hanya aku, mbak Wenda, dan bayi ini. Masya Allah bayi mungil ponakanku. Ingatanku melayang saat mbak Wenda berjuang keras melahirkannya.Aku dan mas Revan menunggu di luar ruang operasi. Kata Bu Dokter Ajeng, spesialis kandungan menjelaskan bahwa Mbak Wenda harus segera di caesar karena tali pusarnya melilit si bayi, sehingga denyut nadi turun.Entah kenapa tanganku menjadi dingin dan berkeringat. Apa mungkin rasa takut menyelimuti tubuh ini? Kugigit kuku berkali-kali untuk melampiaskan kecemasanku. Ini moment pertama yang aku tunggu-tunggu. Mungkin ini juga momen spesial bagi Mas Revan di sebelahku yang terpaut satu kursi.Kul