CCTV yang terpasang d restoran mendadak mati sebelum kebakaran itu terjadi, tetapi dari CCTV gedung sebelah yang merupakan toko kue cukup terkenal di kota ini menunjukkan ada seseorang yang berbaju serba hitam keluar dari restoranku sebelum kobaran api terlihat."Sudah jelas kebakaran ini akibat ulah seseorang, Pak," ucap Andre.Mengetahui ada masalah dalam bisnis kami, ia yang sedang berada di Bogor mendadak pulang menemuiku."Kami akan terus menyelidiki kasus ini, Pak, jika ada perkembangan saya akan hubungi Bu Yuli."Aku membuang pandangan, merasa muak karena selalu tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari aparat kepolisian.Kami berjalan bersisian dalam keheningan menuju parkiran, hatiku benar-benar kacau saat ini, komentar Susan kerap melintas memenuhi isi kepala.Benarkah ini karma untukku? Karena aku sudah membuat suamiku sendiri sakit?Lalu bagaimana dirinya yang sudah membawa perempuan lain ke rumah kami hingga rumah tangga ini hancur dibuatnya."Tenanglah, Yul, kita ak
Aku tertegun melihat Hana ada di rumah ini, entah kapan ia datang, dari penampilannya yang sedikit berantakan sepertinya ia baru selesai memasak."Iya, sejak kapan kamu datang, Han?" tanyaku."Belum sampai satu jam lah, kebetulan di rumah ada Desti. Dita sama Dara kapan pulang?""Emmh entahlah, mungkin nanti."Aku masih ingin sendiri dan berpikir tenang di rumah, tak ingin mendengar keributan antara Dita dan Dara yang selalu bertengkar, maka dari itu mereka kutitipkan ke ibu, hanya Desti yang menemaniku di rumah."Aku sudah masak, Mbak mau makan sekarang?" tanya Hana yang membuntutiku di belakang hingga ia pun ikut masuk ke dalam kamarku."Masak apa?""Banyak, Mbak, ada sop sate sama udang crispi, rasanya sangat enak aku yak ....""Aku sudah makan di luar, Han, kamu ajak Desti saja ya," selaku memotong ucapannya.Aku melirik sekilas, wajah Hana nampak kecewa sambil manggut-manggut kecil."Baiklah, aku akan ajak Desti saja, Mbak bisa makan nanti malam.""Hemm," jawabku jutek.Entah ken
"Ah, tidak usah, nanti aku minum kalau udah dingin aja," jawabnya masih dengan bibir cemberut."Loh, masa nunggu dingin sih? Sekarang aja enakan masih panas, ayo." Aku kembali menyodorkan cangkir itu ke dekat mulutnya, dan untuk kedua kalinya ia menahan tanganku dengan telapak tangannya."Nanti saja, Mbak." Ia terlihat meringis."Baiklah kalau gitu." Aku kembali menyeruput kopi buatannya.Hingga beberapa menit kemudian Hana masih diam belum menyentuh cangkir putih itu."Itu udah dingin, Han, ayo minum," ucapku lagi, ia menoleh dengan gelagapan."Emm, sepertinya asam lambung aku lagi kambuh, Mbak aja yang minum ya." Ia menggeser cangkir itu ke dekatku."Masa sih? Sejak kapan kamu punya penyakit lambung?" tanyaku dengan tatapan mengintimidasi.Hana nampak mengatupkan bibirnya lalu menelan ludah, bola matanya bergulir ke kiri dan kanan."Emm ...."Aku tersenyum lebar sambil menatapnya."Aku tahu kok, Han, kopi itu kamu tetesi dengan obat tetes mata 'kan? Makanya kamu ga mau minum."Denga
Aku dan Desti saling berpandangan sementara Hana menatapku tanpa berkedip menunggu jawaban, baiklah aku tahu apa yang harus dilakukan."Ya sudah tinggallah di sini." Aku mengukir senyum palsu."Terima kasih, Mbak, hanya Mbak saudara yang kupunya, Mas Ferdi orangnya serakah dia juga bilang kemarin akan jual rumah ibu untuk buka usaha, aku kesal padanya." Wajah Hana langsung merenggut.Entah cerita itu benar atau tidak aku hanya bisa mengangguk mengiyakan, lagi pula sejak dulu Hana tak pernah akrab dengan Susan, jadi tidak mungkin ia mau tinggal satu rumah dengan wanita itu."Aku janji tinggal di sini bakal bantu Mbak, dan Mbak jangan khawatir aku akan secepatnya cari pekerjaan."Aku mengangguk tapi Desti memberi kode dengan mencubit pelan pahaku, aku menatapnya sambil mengedipkan mata perlahan."Oh ya, apa Mbak menyukai kopi buatanku barusan? Itu racikan yang baru kupelajari loh.""Kopimu enak sekali, besok pagi buatkan satu cangkir lagi untukku ya." Wanita itu tersenyum lebar."Baikla
"Mbak, aku minta maaf, aku disuruh Mas Ferdi, sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini sama Mbak," pinta Hana dengan memelas."Oh ya? Apa ucapanmu bisa dipercaya, Hana?" tanyaku dengan tatapan tajam."Aku mohon jangan laporkan aku ke polisi ya, lagipula Mbak masih dalam keadaan sehat 'kan sekarang."Raut wajah Hana terlihat sangat ketakutan, wajahnya berkeringat serta jemari yang terus bergetar."Kalau benar kamu disuruh Mas Ferdi melenyapkanku lalu kenapa kamu ketakutan seperti itu hem? 'kan yang akan dihukum pasti kakakmu itu, bukan kamu," balasku."Ya tapi tetap saja aku takut berhubungan dengan polisi, Mbak, aku minta maaf ya setelah ini aku janji ga bakalan nurutin keinginan dia lagi, biarlah aku hidup sendiri tanpa saudara," ujarnya masih memelas.Aku muak melihat air matanya yang entah tulus atau tidak."Pergilah dari rumah ini dan katakan pada kakakmu kalau rencananya gagal total, dan katakan juga padanya agar berpikir ulang untuk mencelakaiku.""Iya, Mbak, iya. Terima kasih s
Aku menggelengkan kepala."Sampai saat ini belum ada perkembangan apapun, Dre.""Lalu bagaimana dengan restoranmu yang ada di kabupaten?" tanya Andre lagi."Alhamdulillah sampai saat ini tidak ada masalah.""Baguslah. Kamu harus kuat, Yul, dan jangan lengah. Aku akan bantu kamu dalam hal apapun, jangan sungkan meminta pertolongan."Aku mengangguk merasa terharu di saat terpuruk seperti ini masih ada yang namanya teman untuk menolong dan membantu.*Malam ini aku membawa ponsel Hana yang tertinggal di kamar ke sebuah konter, aku tak bisa membukanya karena dikunci menggunakan kata sandi.Setelah membayar seratus lima puluh ribu ponsel itu bisa kembali terbuka, dan setelah sampai di rumah aku langsung mengecek setiap aplikasi perpesanan termasuk aplikasi hijau.Hanya berisi pesan dari beberapa teman Hana dan juga mertuanya, tak ada pesan yang masuk dari Mas Ferdi, mungkin sebelumnya perempuan itu sudah menghapusnya terlebih dulu, kali ini aku tak mendapat bukti apapun dari ponsel Hana.D
Aku merasa lega, tetapi masih ada yang mengganjal di hati mengingat Dita dan Dara ada bersama Mas Ferdi.Kuhirup napas dan mengembuskannya perlahan dengan mata terpejam, terus melakukan itu berkali-kali hingga hati ini kembali tenang.Aku harus menyelesaikan semua masalah ini dengan tenang, tanpa emosi apalagi grasak-grusuk, dan yang utama aku harus menyelesaikannya satu persatu."Halo, Andre, penyidik menelpon barusan katanya orang berbaju hitam yang keluar dari restoranku sebelum kebakaran itu sudah tertangkap.""Benarkah? Baiklah, aku akan jemput kamu, kita ke sana sekarang.""Baik."Mematikan panggilan lalu bergegas menemui Desti di kamarnya, seperti biasa anak itu fokus membaca buku."Des, Mama akan ke kantor polisi dulu ya, kamu diam di rumah Mama akan kunci pintu dari luar, dan ingat jangan buka pintu untuk siapapun.""Apa pelaku yang membakar restoran sudah tertangkap?" tanyanya."Bisa jadi begitu. Oh ya, kamu telpon ayah lalu bicara dengan Dita dan Dara, bilang pada mereka un
"Kok rumahnya gelap gini ya?" tanya Andre sekaligus tanyaku juga.Tanpa bicara aku keluar dari mobil dan berjalan menuju teras rumah yang gelap itu, dalam keadaan temaram dapat kulihat sampah berserakan di halaman rumah ini.Beberapa kali mengetuk tapi pintu kayu jati itu tak kunjung terbuka, aku melirik ke samping ternyata Andre ikutan turun."Sepertinya Mas Ferdi tidak ada di rumah, Dre. Kita datangi klub malamnya sekarang.""Ya sudah.""Coba telpon Desti, apakah dia baik-baik saja? Mungkin juga Dita dan Dara sudah di rumah saat ini," titah Andre.Aku langsung merogoh ponsel dari dalam tas, dan bergegas menelpon Desti."Iya, Ma.""Apa Kakak baik-baik aja di rumah?" tanyaku."Iya aku baik-baik saja.""Terus adik-adikmu sudah pada pulang belum?""Belum, Ma, aku sendirian di rumah."Aku mematikan panggilan dengan kesal, lalu berusaha mengatur napas yang terasa memburu, aku harus berpikir tenang menghadapi lelaki itu."Kamu tunggu saja di dalam, Dre, biar aku masuk sendirian.""Kamu yak