"Mas, bisa transfer uang nggak? Aku lagi belanja buat perlengkapan bayi kita nih." Sebuah suara manja langsung menyapa gendang telinga Arya.Pria itu tampak memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri tatkala mendengar suara rengekan istri mudanya. "Uang? Yang semalam gimana? Apa sudah habis, Ra?" tanya Arya malas. Anara seolah tidak mau mengerti jika mereka sedang dalam keadaan krisis.'Ck, taunya cuma belanja dan menghabiskan uang!' Arya menggerutu sebal dalam hatinya. "Haish, sini biar mama aja yang ngomong!" Suara Bu Rani terdengar begitu lantang dari ujung telepon. Arya sampai menjauhkan sejenak ponselnya dari telinga. Ia jelas dapat menebak jika ponsel Anara pasti sudah direbut dengan kasar oleh Bu Rani."Astaga, memangnya kamu ngasih berapa semalam Arya! Cuma 800 ribu. Jadi apa coba! Uang segitu gak ada apa-apanya, dibawa ke mall bentaran juga pasti habis!" serbu Bu Rina emosi."Iya, Ma. Tapi sekarang aku lagi gak bisa transfer," ucap Arya berusaha agar tidak tersulut emosi."Ha
Menerima pukulan hebat dari Arya, Rendy bukannya marah atau membalas pukulannya. Tapi dia justru terbahak. "Hahaha!" Rendy tahu betul bagaimana perasaan Arya saat ini. Mana mungkin seorang kakak akan mengorbankan adiknya demi uang. Apalagi uang itu akan dia berikan kepada Anara, istri keduanya."Kenapa kamu malah tertawa Ren? Bukannya marah karena aku memukulmu." Arya dengan wajah polos dan bingung bertanya."Astaga … untuk apa aku marah, Bro. Lagian aku cuma bercanda kok. Mana mungkin aku meminta imbalan meniduri adikmu. Kita berteman cukup lama. Aku juga gak tega memperlakukan adikmu seburuk itu. Tapi seumpama Lila mau sama aku, maka aku juga gak akan menolak kok. Makanya jadi orang jangan mudah marah." Rendy menyahut santai pertanyaan konyol dari sohibnya."Ya maaf. Kamu kan tahu keadaanku saat ini seperti apa, Ren? Rasanya kepalaku ini mau pecah. Banyak yang harus aku pikirkan. Hidupku saat ini jungkir balik. Aku butuh uang untuk mencukupi semua kebutuhan keluargaku. Tapi keadaan
"Bisa gak sih Ibu gak bahas masalah uang-uang terus!" bentak Arya pada sang Ibu. Sontak saja membuat Bu Desi berjengit terkejut atas bentakan dari sang putra sulung. "Kamu bentak ibu, Arya?!" gumamnya tak percaya. Arya langsung terkesiap begitu sadar kalau dia baru saja kehilangan kendali saking stressnya dengan kondisinya saat ini."Maafin aku, Bu. Hariku gak begitu menyenangkan hari ini," ucap Arya menyesal. "Aku menjadikan mobil itu sebagai jaminan utang pada temanku, Bu," lanjut Arya sambil menundukkan kepala merasa bersalah."Apa?! Kok bisa sih, Arya? Kenapa sampai dijadiin jaminan utang, Arya!" Bu Desi mengomel atas keputusan yang Arya ambil. Arya menghela napasnya berat. Bu Desi masih saja butuh penjelasannya padahal sudah sangat jelas alasan kenapa Arya sampai menjadikan mobilnya sebagai jaminan utang. "Ibu pikir saja sendiri apa alasannya. Aku capek," ucap Arya pelan sambil melewati sang ibu yang berdiri menghalangi langkahnya masuk ke dalam rumah. Bu Desi pun seketika sa
Sesampainya di lantai atas, Arya melihat sang ibu tengah meracau tidak jelas sembari membereskan pecahan piring dan lauk pauk di lantai.Arya pun mendekat ke arah sang ibu lalu bertanya, "Apa yang terjadi, Bu. Kenapa makanan ini tumpah ke lantai semua?" Bu Desi menghentikan aktivitasnya sejenak lalu mendelik tajam ke arah Arya."Bukannya bantuin malah nanya mulu sih, Arya," omel Bu Desi sebal."Ya, Arya kan perlu tahu dulu apa yang sebenarnya terjadi, Bu. Ibu tengkar ya sama Shanum?" tanya Arya lagi.Bu Desi malah melengoskan wajah lalu berdiri. "Nih, daripada kamu nanya-nanya mending bantuin ibu beresin ini semua," ucapnya sedikit memaksa.Tanpa babibu lagi, wanita paruh baya itu lantas pergi meninggalkan Arya yang masih melongo sendirian sambil berjongkok."Kalau kamu mau tahu kenapa, bantu ibu beresin ini lalu temui ibu di kamar tamu. Ini semua gara-gara istrimu yang menyebalkan itu!" seru Bu Desi mengerucutkan bibirnya kesal.Arya yang enggan mendengar omelan Bu Desi lagi pun akh
'Duuh … mamp*s aku! Gimana aku harus jawab pertanyaan Ibu. Mana mungkin aku bilang kalau habis anu sama Om David.' Lila meracau dalam hatinya, sembari memutar otak mencari jawaban yang tepat agar tak membuat sang ibu curiga."Lila, kenapa diam? Ayo jawab!" Bu Desi kembali melontarkan pertanyaan. Sementara Lila sempat terjingkat kaget ketika Bu Desi sudah berdiri di sampingnya. Entah sejak kapan ia berada di sana, yang jelas Lila tidak tahu kapan tepatnya sebab dia terlalu sibuk dengan pikirannya tadi."Oh, eh, anu Bu … kemarin aku habis jatuh dari tangga, kejadiannya di kampus sih. Terus karena rumah kontrakan temanku dekat, jadinya aku nginap aja di sana. Makanya aku gak pulang semalam, karena gak mau buat Ibu khawatir." Entah atas dorongan apa kebohongan itu sangat lancar Lila ucapkan.Bu Desi tampak memicingkan mata. Ia tak bisa percaya begitu saja atas pengakuan Lila. Dan lagi, dia bukan anak kemarin sore yang tidak mengerti tentang apa pun."Beneran? Kamu nggak bohong, Lila?" tan
'Ada apa ya Mas Zayn meneleponku begini? Apakah ada kaitannya sama proses perceraianku, bukankah pernah bilang kalau Mas Zayn yang jadi pengacaraku?' gumam Shanum sibuk dengan pikirannya sendiri."Halo, Sha? Apakah kamu masih mendengarku? Kalau kamu sedang sibuk aku akan telepon lagi nanti," ucap Zayn lagi karena tak kunjung mendapati jawaban dari Shanum."Ah, iya. Ma–maaf. Hm, sepertinya bisa. Di mana kita bertemu?" tanya Shanum usai menyadarkan diri dari lamunannya."Di resto yang gak jauh dari kantormu, aku yang akan ke sana. Ada hal yang harus kita bicarakan, terkait sidang perceraianmu dengan Arya," ungkap Zayn. Meskipun tak sepenuhnya salah, ini juga adalah upaya Zayn agar bisa bertemu dengan sosok yang masih selalu dirindukannya itu. "Oh, baiklah." Shanum menyahut canggung. Entah mengapa, jantungnya berdebar tak karuan jika mengingat dia akan bertemu lagi dengan Zayn. Zayn dapat menyadari sikap kaku Shanum, sebab mungkin wanita itu merasa kurang nyaman bertelepon dengannya se
Selesai makan siang, ketiga sahabat itu masih duduk sambil mengobrol ringan. Hingga suatu ketika, Zayn mengangkat topik tentang perceraian Shanum dan Arya."Hari ini, surat panggilan sidangmu yang pertama akan dikirim ke Arya," ujarnya mengawali pembicaraan.Raut wajah Shanum dan Feri yang semula santai, mendadak berubah serius."Benarkah? Syukurlah kalau gitu. Lalu, kapan kira-kira sidang pertama perceraianku, Pak Zayn?" Shanum masih saja canggung dan tetap memanggil Zayn dengan sebutan Pak, alih-alih Mas. Seperti yang dulu sering dia lakukan.Zayn terkekeh kecil kala menatap ekspresi Shanum yang terlihat menggemaskan ketika memanggilnya dengan sebutan 'Pak'."Astaga, Sha. Maaf, tapi bisakah kamu memanggilku seperti biasa? Setiap kali kamu memanggil Zayn dengan sebutan Pak, aku jadi pengen ketawa!" komentar Feri mewakili apa yang dirasakan oleh Zayn. "Benar itu, Sha. Bersikap biasalah, dan panggillah aku seperti biasa, plis," timpal Zayn."Eh? Bolehkah begitu? Kamu kan sedang menjad
"Nggak! Itu sangat berbahaya, Sha!" tolak kedua pria itu usai Shanum menyampaikan gagasan tentang rencananya demi mendapatkan pengakuan dari Arya terkait kejahatannya terhadap Tuan Dhanu Mahendra.Zayn dan Feri saling bersitatap selama sepersekian detik, lalu kemudian saling melengoskan wajah ketika mereka sadar kalau mengucapkan kata-kata penolakan yang sama seakan sudah janjian sebelumnya."Kamu yakin mau jalanin rencana ini, Sha?" Feri masih tak percaya dengan rencana nekat yang baru saja terucap dari mulut sahabatnya."Aku yakin seratus persen, Fer. Aku akan melakukan apa pun supaya dia mengakui perbuatannya dan menjebloskannya ke penjara." Shanum berujar penuh keyakinan. Raut wajahnya tidak menunjukkan secuil pun keraguan."Tapi, kamu bisa saja dalam bahaya, Sha. Aku takut Arya akan macam-macam sama kamu." Zayn menyergah perdebatan Feri dan Shanum."Benar kata Zayn, Sha. Kamu tahu kan dia bisa saja berubah jahat dalam sekejap." Feri turut menimpali. Ia tetap tidak menyetujui renc