"Kalau dipikir-pikir, dunia ini sempit, ya? Kita udah ke mana-mana, melakukan banyak hal, tetep ketemu juga. Sekarang malah di sini, ni, berdua. Udah cocoklah, ya, Kak Dirga belajar jadi calon suami buat Dek Husna, iya nggak?""Ha?""Maaf ya, Na, dulu pernah mengabaikan kamu ... ."Suara lirihnya, entah kenapa membuatku merasa bersalah. Bukankah aku juga melakukan hal sama, dulu."Itu, satu bulannya boleh diskon nggak, sih?""Maksudnya, Kak?" tanyaku ingin tau."Ya kamu, kan waktu itu minta waktu satu bulan. Diskon ya, diskon, please ... ."Kedua tangannya ia katupkan di depan dada, membuat gerakan memohon, membuat aku mengulum senyum melihat tingkahnya."Dikira orang jualan apa, ya, pakai diskon segala," ujarku, dengan senyum dikulum."Kelamaan, Na. Diskon, ya?" Ia kembali memohon."Cabal atuh, cabal."Ia malah terkekeh mendengar jawabanku. Bersamaan dengan itu, pi
Bu Ndari masih melanjutkan bicara, sesekali ditimpali ibu. Khas ketika dua perempuan bertemu, lantas saling bertukar kata. Sementara itu, Kak Dirga melirikku sambil mengulum senyum. Terlihat jelas dari kaca spion.Melihat kedekatan dua ibu, membuat aku berpikir lagi. Benarkah lelaki yang duduk di depanku ini jodohku? Ibu sendiri pernah menyampaikan kalau sudah merasa dekat dengan Bu Ndari, meski baru bertemu pertama kali. Adakah itu isyarat penyatuan dua hati wanita yang telah melahirkan anak-anaknya, yang kini sedang dalam masa penjajakan ulang?Ya, kusebut ini penjajakan ulang, karena aku sendiri masih meraba-raba, isi dan suara hati ini condong ke arah mana. Kak Dirga baik, sih, selama ini. Namun entah mengapa, aku kembali didera keraguan.Dua jam kemudian, aku telah berada di rumah dan berbaring di kamar. Lega sekali rasanya, saat kembali menginjakkan kaki di rumah ini. Rumah yang penuh cinta, tempat aku dibesarkan oleh kedua orang tua."Ibu t
Mobil Kak Dirga meluncur mulus di jalan raya yang ramai. Kami lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Hanya lantunan lagu lawas yang diputar, memenuhi udara di dalam mobil yang kami naiki. Sesekali bibir ini menimpali, jika ada lagu yang dikenali.Hingga masih bisa kuraih dirimusosok yang mengisi kehampaan kalbukuBilakah diriku berucap maafmasa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmuoh cintaTeman yang terhanyut arus waktumekar mendewasamasih kusimpan suara tawa kitakembalilah sahabat lawaskusemarakkan keheningan lubukKak Dirga mengikuti lagu Mbak Saras Dewi penuh penghayatan, membuat aku tersenyum dan mengalihkan pandang pada pemilik hidung bangir di sampingku."Kenapa, Na, kok nggak ada suaranya? Apa masih pusing?" tanya Kak Dirga."Eh, nggak apa-apa, Kak. Nggak dilanjut itu nyanyinya?""Enggaklah, didengerin ya, ternyata?" Ia bertanya sam
"Ya sudah, tidak apa-apa. Ayo, berangkat sekarang saja, biar pulangnya nggak kesorean," jawab ayah akhirnya, setelah terlihat berpikir sejenak.Begitulah, akhirnya kami berangkat berlima. Mas Dika duduk di samping Kak Dirga yang sedang menyetir, sementara aku, ibu, serta ayah, duduk di kursi belakang. Kedua lelaki berinisial D itu asyik berbincang. Ibu dan ayah sesekali menimpali, sementara aku lebih banyak memperhatikan pemandangan di sepanjang jalan yang dilalui."Benar di sini, kan, Mas, tempatnya?" tanya Kak Dirga begitu mobilnya memasuki halaman parkir di sekitar gedung Kartini."Iya, bener, kok. Ayo turun, yok," ajak Mas Dika kemudian.Kami baru saja melangkah ke luar, ketika suara ponsel Kak Dirga berbunyi. Hal ini membuat ia pamit, dan meminta kami masuk lebih dulu, sementara ia tampak bicara serius di bawah pohon yang ada di area parkir."Husna, kamu beneran nggak apa-apa, kan, datang ke sini?" tanya ibu memastikan, seb
"Dek, sudah belum, ayo ke sana," ajak Mas Dika, seraya menunjuk ke tempat duduk yang mulai kosong. Aku mengikuti langkah Mas Dika. "Ibu dan ayah mana, Mas?" "Itu, di sana, lagi nemuin Lek Sapto."Pandangan mataku mengikuti arah telunjuk Mas Dika. Benar saja, mereka bertiga sedang berbincang di sana."Nggak usah lama-lama, ya, habiskan ini, setelah itu kita pulang, ya," titah Mas Dika."Iya, Mas."Baiklah, habiskan dulu yang di piring ini, setelah itu bersiap meninggalkan tempat ini. Setidaknya aku sudah hadir, demi menghormati undangan yang telah disampaikan. Dan, lihat, Bu, aku masih baik-baik saja, bukan?Melihat sekeliling, aku mencari keberadaan Kak Dirga. Tak kutemukan juga, hingga aku baru menyadari, bahwa kami menghadiri acara yang berbeda. Namun, pemandangan di atas pelaminan, membuat aku tak mengalihkan pandang.Di sana, tepat di depan Flora, yang wajahnya berubah pucat, dan kedua mata membesar, Kak Dirga berdiri tegak. Isi kepala ini berpikir sejenak, kemudian muncul sebuah
"Nah, ini dia. Silakan duduk, Mbak Husna," sambut Bu Lia ramah.Aku menurut duduk di kursi yang ada di seberang meja Bu Lia. Meski berusaha bersikap santai, tetap saja degup jantung berpacu begitu saja."Bagaimana, sudah selesai ya, pekerjaannya?""Sudah, Bu.""Oke, jadi gini. Kemarin sudah dibicarakan, untuk Mbak Husna, nanti belajar sama Yoga, sama Doni di ruang desain, ya. Jadi Mbak Husna bisa fokus ke desain, nanti sedikit-sedikit belajar program. Bisa, ya?"Aduh, membayangkan programnya saja aku sudah merasa rumit. Tapi tak ada salahnya dicoba. Bismillah sajalah, bisa, pasti bisa."Baik, Bu.""Oke. Siap belajar ya, Mbak Husna.""Siap, Bu Lia."Aku menjawab dengan penuh keyakinan, meski belum pernah sekali pun mengoperasikan program untuk membuat desain."Bagus. Saya suka lihat semangat Mbak Husna. Ayo, saya antar ke ruang desain," ajak Bu Lia.Beriringan kami berdua menuju ruangan di mana Yoga dan Doni berada. Selama ini, mereka
"Gimana, Mbak Husna, sudah belajar sama Yoga sama Doni juga, ya, hari ini?""Oh, itu, iya, Pak.""Susah, nggak?"Aku harus menjawab apa atas pertanyaan ini? Kadang Pak Hanan ini memberikan pertanyaan yang menjebak."Sepertinya, agak rumit, Pak, tapi saya belum mencoba, jadi belum tau kesulitannya."Kujawab saja apa adanya. Pada kenyataannya memang aku belum mencoba sama sekali, kan?"Nah, itu. Bagus Mbak Husna, dari sini saja kamu sudah mengerti. Asal mau belajar, nanti bakal ketemu sendiri caranya. Sementara ini lihat mereka dulu, ya. Besok atau lusa, baru datang PC yang buat Mbak Husna belajar.Sekarang, mana desain kamu?"Map yang sejak tadi kupegang, kemudian kuserahkan beserta isinya. Semoga saja, kali ini desainku tak mengecewakan."Oke. Ini ditinggal dulu, ya? Nggak apa-apa, kan?"Diletakkannya kembali map tersebut di meja, tanpa dibuka terlebih dahulu."Iya, Pak.""Oke, kamu boleh kembali.""Terima kasih, Pak.""Mb
"Bapak aja yang ngajarin Mbak Husna," ujar Yoga. "Pak Hanan bisa, kok, iya kan, pewangi pakaian?""Pewangi-pewangi. Namaku Doni ya, bukan pewangi," ujar Doni, pura-pura mendelik sambil menyikut Yoga.Gelak tawa kembali memenuhi ruang ini."Ya udah, saya tinggal dulu, ya. Yo, ajarin," ujarnya seraya memberi kode pada Yoga."Siap, Pak.""Selamat belajar Mbak Husna, nanti kalau sudah agak-agak pusing, istirahat aja, oke. Biasa kalau pertama suka gitu. Mau bikin kopi biar melek, apa mau cemilan, boleh ke pantry. Oke, udah ya, saya pergi dulu."Detik berikutnya, derap langkah sepatunya bergerak menjauhi ruangan ini, hingga sosoknya tak terlihat lagi. Kembali Doni sama Yoga berbisik-bisik. Ah, sudahlah, lebih baik aku mulai mempraktekkan catatan-catatan kecilku sejak kemarin.Kedatangan Pak Hanan di ruang desain seperti menjadi aktivitas rutin. Hampir setiap hari, beliau mengunjungi kami bertiga di sini. Dengan telaten ia memeriksa hasil kerja, supaya hasi