"Dek, sudah belum, ayo ke sana," ajak Mas Dika, seraya menunjuk ke tempat duduk yang mulai kosong. Aku mengikuti langkah Mas Dika. "Ibu dan ayah mana, Mas?" "Itu, di sana, lagi nemuin Lek Sapto."Pandangan mataku mengikuti arah telunjuk Mas Dika. Benar saja, mereka bertiga sedang berbincang di sana."Nggak usah lama-lama, ya, habiskan ini, setelah itu kita pulang, ya," titah Mas Dika."Iya, Mas."Baiklah, habiskan dulu yang di piring ini, setelah itu bersiap meninggalkan tempat ini. Setidaknya aku sudah hadir, demi menghormati undangan yang telah disampaikan. Dan, lihat, Bu, aku masih baik-baik saja, bukan?Melihat sekeliling, aku mencari keberadaan Kak Dirga. Tak kutemukan juga, hingga aku baru menyadari, bahwa kami menghadiri acara yang berbeda. Namun, pemandangan di atas pelaminan, membuat aku tak mengalihkan pandang.Di sana, tepat di depan Flora, yang wajahnya berubah pucat, dan kedua mata membesar, Kak Dirga berdiri tegak. Isi kepala ini berpikir sejenak, kemudian muncul sebuah
"Nah, ini dia. Silakan duduk, Mbak Husna," sambut Bu Lia ramah.Aku menurut duduk di kursi yang ada di seberang meja Bu Lia. Meski berusaha bersikap santai, tetap saja degup jantung berpacu begitu saja."Bagaimana, sudah selesai ya, pekerjaannya?""Sudah, Bu.""Oke, jadi gini. Kemarin sudah dibicarakan, untuk Mbak Husna, nanti belajar sama Yoga, sama Doni di ruang desain, ya. Jadi Mbak Husna bisa fokus ke desain, nanti sedikit-sedikit belajar program. Bisa, ya?"Aduh, membayangkan programnya saja aku sudah merasa rumit. Tapi tak ada salahnya dicoba. Bismillah sajalah, bisa, pasti bisa."Baik, Bu.""Oke. Siap belajar ya, Mbak Husna.""Siap, Bu Lia."Aku menjawab dengan penuh keyakinan, meski belum pernah sekali pun mengoperasikan program untuk membuat desain."Bagus. Saya suka lihat semangat Mbak Husna. Ayo, saya antar ke ruang desain," ajak Bu Lia.Beriringan kami berdua menuju ruangan di mana Yoga dan Doni berada. Selama ini, mereka
"Gimana, Mbak Husna, sudah belajar sama Yoga sama Doni juga, ya, hari ini?""Oh, itu, iya, Pak.""Susah, nggak?"Aku harus menjawab apa atas pertanyaan ini? Kadang Pak Hanan ini memberikan pertanyaan yang menjebak."Sepertinya, agak rumit, Pak, tapi saya belum mencoba, jadi belum tau kesulitannya."Kujawab saja apa adanya. Pada kenyataannya memang aku belum mencoba sama sekali, kan?"Nah, itu. Bagus Mbak Husna, dari sini saja kamu sudah mengerti. Asal mau belajar, nanti bakal ketemu sendiri caranya. Sementara ini lihat mereka dulu, ya. Besok atau lusa, baru datang PC yang buat Mbak Husna belajar.Sekarang, mana desain kamu?"Map yang sejak tadi kupegang, kemudian kuserahkan beserta isinya. Semoga saja, kali ini desainku tak mengecewakan."Oke. Ini ditinggal dulu, ya? Nggak apa-apa, kan?"Diletakkannya kembali map tersebut di meja, tanpa dibuka terlebih dahulu."Iya, Pak.""Oke, kamu boleh kembali.""Terima kasih, Pak.""Mb
"Bapak aja yang ngajarin Mbak Husna," ujar Yoga. "Pak Hanan bisa, kok, iya kan, pewangi pakaian?""Pewangi-pewangi. Namaku Doni ya, bukan pewangi," ujar Doni, pura-pura mendelik sambil menyikut Yoga.Gelak tawa kembali memenuhi ruang ini."Ya udah, saya tinggal dulu, ya. Yo, ajarin," ujarnya seraya memberi kode pada Yoga."Siap, Pak.""Selamat belajar Mbak Husna, nanti kalau sudah agak-agak pusing, istirahat aja, oke. Biasa kalau pertama suka gitu. Mau bikin kopi biar melek, apa mau cemilan, boleh ke pantry. Oke, udah ya, saya pergi dulu."Detik berikutnya, derap langkah sepatunya bergerak menjauhi ruangan ini, hingga sosoknya tak terlihat lagi. Kembali Doni sama Yoga berbisik-bisik. Ah, sudahlah, lebih baik aku mulai mempraktekkan catatan-catatan kecilku sejak kemarin.Kedatangan Pak Hanan di ruang desain seperti menjadi aktivitas rutin. Hampir setiap hari, beliau mengunjungi kami bertiga di sini. Dengan telaten ia memeriksa hasil kerja, supaya hasi
Sebenarnya, perasaan ini masih sama, seperti dulu saat awal aku mengaguminya, aku merasa kalau ia terlalu tinggi untuk kuraih. Kulihat lagi nama dan nomer ponselnya, hendak menghubungi, tapi ragu. Akhirnya kuletakkan lagi, seperti halnya kemarin.Lelah mulai menyapa. Kuputuskan ikut berbaring di samping Ibu, setelah mengadu pada Sang Pencipta Jagat Raya.Keesokan harinya, secara tiba-tiba, ia yang semalam menjadi bahan pembicaraan ibu dan aku, muncul di depan pintu, dengan banyak oleh-oleh, dan dengan senyum khasnya, tanpa berkabar lebih dulu.Memang uniklah Kak Dirga ini. Suka pergi dan datang tiba-tiba. Membuat hati berdebar-debar, sebab mendapatkan banyak kejutan."Alhamdulillah, anak lelaki ibu sudah pulang," sambut ibu dengan semangatnya."Yah, ini lho, anaknya sudah pulang," ujar ibu, memanggil ayah yang masih bersandar di teras belakang.Ya, Allah, sebahagia itu ibuku menyambut kedatangan Kak Dirga. Beliau bahkan tak segan menyebut sebagai anak le
Ada hal yang tak bisa kusampaikan dan hanya sampai di ujung lidah. Melihat kedua orang tuaku yang terus mengukir senyum, bagiku itu sudah cukup. Melihat kedekatan dua keluarga yang begitu akrab, rasanya semua sudah lengkap.Tak peduli aku harus menikam perasaanku sendiri. Biarlah kujalani, jika ini memang takdirku. Saat ini, yang bisa kulakukan hanya menerima dan menghadapi yang ada di depan mata.Melintas lagi, pesan ibu semalam, "akan lebih baik jika kita yang dicintai oleh pasangan, dari pada kita yang mencintai pasangan. Sebab kita akan diratukan, oleh orang yang tepat, yang mencintai kita."Ingin sekali aku menjawab, akan lebih baik kalau saling mencintai, Bu. Namun kalimat tersebut hanya bisa kutelan lagi. Kusimpan untukku sendiri.Menunjukkan wajah bahagia, meski di hati terasa tak sama. Semua kulakukan demi mereka. Biarlah kukubur rasa ini, di dalam hati, karena hati wanita ialah sedalam samudera."Terima kasih, ya, Nak, sudah ber
"Eh, sudah bangun, ya? Jam berapa sekarang, Dek?" tanyanya sambil berusaha membuka lebar kedua matanya."Nggak tau. Jam berapa, Bu? tanyaku pada ibu."Sudah mau setengah enam. Ayo, bangun. Sudah kesiangan ini Subuhnya."Gegas Mas Dika beranjak dari duduknya, lantas ke kamar mandi. Aku menyusul kemudian.."Mas, makasih, ya?" ucapku, saat Mas Dika mulai melajukan mobilnya di jalan beraspal, bergabung dengan kendaraan lain."Makasih buat apa, Dek?""Buat, selimut, sama nemenin di belakang," ucapku lirih. Ada rasa takut sebenarnya, takut diinterogasi sama Mas Dika."Oh, iya, nggak apa-apa."Tumben nggak nanya kenapa, Mas?"Maaf ya, Mas ... .""Maaf buat apa?""Maaf kalau, aku, melangkahi Mas Dika lagi," ujarku, lantas menunduk."Sudah, nggak usah dipikirin. Mas nggak apa-apa, malah seneng lihat kamu, bentar lagi ada yang jagain. Iya, kan?""Iya, Mas. Makasih, ya Mas.
Setelah kejadian lamaran mendadak itu, hari berlalu dengan apa adanya. Tidak semua hari berjalan dengan baik. Tapi, pasti ada hal baik di setiap harinya. Seperti halnya hari ini. Melihat Sinta yang begitu antusias mendengarkan ceritaku, itu juga satu kebahagiaan tersendiri bagiku.Ia yang belakangan sering mencemaskan kondisiku, kini terlihat tersenyum lega. Senyum yang dengan cepat menjalar padaku. Ia yang banyak mengajarkan aku cara bersyukur, sebab ia tak seberuntung aku, yang memiliki keluarga lengkap."Selamat ya, Na. Aku ikut seneng dengernya," ucap Sinta sungguh-sungguh. Ia lantas memelukku. Lama. Aku bahkan dapat melihat kaca-kaca bening menghiasi bola matanya."Makasih, ya, Sin.""Sama-sama. Terus, si Bapak ini gimana, dong?""Bapak yang mana?""Yang itu." Ia mengisyaratkan ke sebuah ruangan di mana Pak Hanan berada."Ya, nggak gimana-gimana. Emang maunya gimana?"Tadinya, aku udah seneng dan