Sang ibu tak dapat menyembunyikan raut khawatir di wajahnya. Dengan sigap, ia mengambil air hangat untuk membasahi tenggorokan sang anak. Ia mengelus punggung sang putra hingga batuknya mulai reda.
"Kakak lagi sakit?" tanyaku. Tak bisa kututupi rasa khawatir ini. Aku merasa suara batuknya bukan batuk biasa. Seperti sulit untuk dikeluarkan, tapi ditahan juga tak bisa. Aku yang melihat saja merasa kalau itu sangat sakit."Ya, gini, lagi kena batuk sama flu aja. Nggak apa-apa ini, iya kan, Nan?"Kedua lelaki ini saling bersitatap sejenak, lantas Pak Hanan menganggukkan kepalanya. Secepat ini ia sakit. Bukankah kemarin ia masih baik-baik saja, dan, sehat?"Diminum dulu, Nak," ujar Bu Ndari menawarkan, membuat suasana canggung terhenti. Kuikuti titahnya, Demikian juga dengan Pak Hanan.Perbincangan dilanjutkan untuk beberapa waktu lamanya. Tak terasa sudah satu jam kami berbincang. Selama itu pula, aku mendengar suara batuk Kak Dirga terulang.Awalnya, kupikir yang ia sebut dengan kosan itu, kamar kos seperti yang biasa kulihat, yakni sebuah kamar dengan sebuah kasur dan lemari, lantas, kamar mandi satu buat rame-rame. Ternyata, yang ada di depanku sekarang, berupa kamar-kamar berjejer dengan penampilan yang hampir sama dari luar. Tapi ukurannya lebih besar dari yang biasa aku lihat.Kamar-kamar ini berupa bangunan bertingkat dua, membentuk huruf 'U'. Masing-masing ada tiga kamar di sebelah kanan dan kiri, satu kamar berada di tengah. Beberapa mobil dan sepeda motor tampak terparkir rapi di halaman."Tunggu sebentar, ya," pamitnya, setelah mobil benar-benar berhenti.Ia sudah melesat menuju pos penjaga, lantas berbicara sebentar di sana. Sejenak kemudian, pintu di sebelah kiriku ia buka. Aku bergegas turun setelahnya."Yuk, masuk," ajaknya, lantas kami pun mulai memasuki area kos-kosan ini.Di sebuah kamar kos paling tengah di lantai dua, ia membawa aku masuk. Sebuah
Aku terdiam sejenak mendapatkan pertanyaannya. Kupandangi wajah tampan suamiku, yang masih mengernyitkan keningnya."Maaf, tadi aku buka lemari kamu, Mas. Terus, lihat penampakan," jawabku mengulum senyum. Ia malah membesarkan bola mata. "Sejak kapan?" tanyaku, mulai menggodanya. Senang sekali kalau melihat ekspresinya seperti ini."Sejak aku jatuh hati, sama kamu, istriku. Ada lagi yang bikin kamu kelihatan seneng nggak?""Ada saatnya aku pengen seperti ini. Di tempat asing, seorang diri, ya, begini ini. Kayak tadi, pas nggak ada siapa-siapa. Makasih ya, Mas," ucapku tulus. Dan pandangan mataku buram seketika. Ia yang paham, segera merengkuh badan ini."Kembali kasih, Sayang. Ya udah, nanti kita nginep di sini kalau kamu suka. Biar Mas kasih kabar ke rumah. Biar Ibu sama Ayah nggak kuatir. Sekarang kita makan dulu, yuk. Masa kamu nggak laper?""Ya, laper dikit. Ya udah, kita makan dulu. Beneran ya, nginep sini?" tanyaku memasti
Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Pak Hanan sudah terlelap sejak tadi, begitu kami kembali setelah menikmati dua bungkus nasi kucing dan jahe susu di warung angkringan.Aku masih terjaga di sini, meski sudah mencoba memejamkan mata, tapi tak bisa juga. Ada banyak hal yang mengganggu pikiranku, termasuk adanya Flora di tempat ini."Boleh saja, selama tamunya di luar, nggak masuk kamar. Tapi kalau darurat, kayak kita ini, ya boleh-boleh saja," ujar Pak Hanan tadi, saat aku bertanya mengenai tamu wanita di kos ini.Kuhembuskan napas panjang. Lantas beranjak ke dapur. Mengambil minum untuk membasahi tenggorokan."Sedarurat apa, sampai berada di sini, dan bukan dengan suami?" batinku, saat bayangan Flora yang bergelayut manja melintas lagi. Aku masih berharap kalau aku salah lihat tadi.Kuputuskan mengambil buku kecil dan pensil di tasku, benda yang selalu ada, kemana pun aku pergi. Di karpet ruang tamu ini, aku membawa bantal yang
Aku semakin ingin tau apa yang terjadi di sana. Tapi bergerak mendekat juga aku tak berani. Tak lama kemudian, pintu itu terbuka juga. Seorang pria dewasa keluar dari sana. Beberapa orang menerobos masuk ke dalamnya.Beberapa pintu kamar yang lain mulai terbuka, lantas penghuninya ke luar, menuju pagar pembatas, sama seperti yang kulakukan. Kami jadi seperti sedang menonton sebuah pertunjukan. Tapi hanya sebentar, sebab satu persatu mulai kembali ke kamar masing-masing dan kembali menutup pintu."Ada apa di sana, Mas, kok rame sekali?" tanyaku, setelah beberapa saat tak bersuara. Ia tak segera menjawab, malah menghela napas panjang."Ada yang buat masalah. Mas ke bawah dulu, ya. Kamu ke dalam aja, bahaya."Aku menurut saat ia membawaku masuk dan meminta aku istirahat di kamar."Tunggu di sini, ya. Jangan ke mana-mana. Mas, ke bawah sebentar. Oke?" ujarnya, lantas melesat tanpa menunggu jawabanku. Aku menghembuskan napa
."Bagus kamu kuliah aja, Husna. Bisa malu Mama, punya menantu cuma lulusan SMA. Ya? Kamu cari kampus yang kamu suka, jurusan apa, lalu kuliah, deh. Oke?""I-iya, Ma," jawabku takut-takut..Seperti yang direncanakan sebelumnya, siang ini, kami berlima meninggalkan rumah, untuk menuju rumah orang tua Pak Hanan, suamiku.Menempuh perjalanan hampir tiga jam, sampailah kami di kediaman Mama. Sebuah rumah mewah, yang berada di tengah komplek perumahan elit.Mama menyambut kami dengan senyum ramahnya. Sementara, Ayah mertua tak ada di rumah, sebab masih ada urusan dengan pekerjaan.Berbincang dan bercengkrama beberapa lama, Ibu, Ayah, serta Mas Dika, pamit untuk pulang. Tentu setelah menikmati jamuan makan yang sudah disiapkan oleh asisten Mama."Nak Hanan," panggil Ayah, sebelum meninggalkan rumah ini."Ya, Yah.""Ayah titip Husna, ya?""Insya Allah, siap, Ayah."Ini kali kedua Ayah menitip
Ada benarnya juga, sih, memang. Aku pikir ini tak akan jadi masalah, tapi ternyata buat Mama ini penting. Baiklah, mungkin ini cara yang dipilih olehNya, untuk aku bisa menikmati rasanya kuliah. Alhamdulillah 'ala kulli haal … ."Mama yakin, dalam hati kamu juga ingin menikmati bangku kuliah, tapi kondisi kamu yang mengharuskan kamu kerja. Tapi bagus, kamu udah tau dunia kerja, jadi ambil jurusan bisa disesuaikan sama dunia kerja kamu.Oke, sudah cukup, ya, silakan istirahat. Tadi, kamarnya udah diberesin, kok, tinggal pakai. Soal kampus, nanti kamu bicarakan sama suami kamu, yang suka iseng ini. Tapi baik kok dia, suka bantu Mama kalau pas dia di rumah. Kalau Mama boleh usul, nih, ambil aja Sastra Inggris, itu nanti bisa kamu gunakan buat buka wawasan tentang dunia. Kalau desain kan, udah bisa, ya, kan?"Ha? Sastra Inggris? Aduh, Ma, aku lihat tulisan sama cara baca yang nggak sama aja, bisa sakit kepala, ini gimana ceritanya malah disarankan am
"Lihat di sana, dia jauh lebih sepadan dengan keponakanku dibandingkan kamu," ujar Tante Wanda, sambil tersenyum miring ke arahku. Entah bagaimana, ia sudah menyambut kedatanganku di ujung tangga saat aku hendak turun. Apa ia sengaja menungguku di sini, untuk menunjukkan keakraban suamiku bersama perempuan yang lain? Siapa dia?Aku yang baru saja menyusul suamiku ke bawah, tak dapat menyembunyikan rasa tak suka. Tapi kututupi dengan tetap tersenyum di depan Tante yang rese."Nikmati saja waktumu jadi anggota keluarga ini, yang tak akan lama lagi," ujarnya lagi, memperingatkan aku saat ia berjalan sejajar denganku. Aku tak mendengarkan lagi, kulangkahkan kaki, lantas bergabung dengan mereka berdua. Dia suamiku, enak saja dekat-dekat sama perempuan lain."Hai, Sayang, ini Yasmin, sepupu Tante Wanda, teman kuliah Mas juga. Sekarang, dia megang beberapa retail minimarket. Keren ya, dia," ujarnya, memperkenalkan tamunya. "Yasmin, ini Husna,
"Udah boleh sholat, ya?" tanyanya, dengan mata berbinar-binar. Perubahan yang drastis ini, mau tak mau, membuat aku mengernyitkan dahi."Sudah, Mas. Kenapa?" tanyaku tak mengerti."Nggak apa-apa. Nanti sore, kita balik ya?" ajaknya, terlihat semangat sekali. Kucari kebenaran dari raut wajahnya. Baru tadi pagi ia berkata akan menginap semalam lagi di sini, sedangkan barusan malah berubah pikiran. Ia menganggukkan kepala seakan mengerti kalau aku bertanya melalui ekspresi wajah."Iya. Nggak jadi nginep lagi? Katanya mau balik besok?" tanyaku memastikan."Enggak lah. Nggak usah lama-lama di sini. Ya udah, kita sholat bareng, ya?" ajaknya, lantas berdiri dan mengajakku serta.Ia menghentikan langkahku, tepat saat kaki ini baru melewati bibir pintu, dengan menarik tanganku."Kenapa, Mas?" tanyaku, tak mengerti kenapa tiba-tiba berhenti. Kubalikkan badan, hingga kami berhadapan. Bukannya mau ambil wudhu di kamar mandi ya, tad