Melewati tanjakan terjal dan tikungan tajam. Aku baru menyadari, kami masuk kekawasan pegunungan. Jauh dari kota tempat kami tinggal. Perlahan kami masuk kedalam tempat pembuangan mobil kecelakaan."Jauh sekali Jen?""Iya bu, memang jauh sekali. Teman saya sudah bilang, jika tempatnya memang jauh. Dan lebih aman kita datang malam hari""Kenapa?""Jika siang, banyak orang disini. Orang kampung sini beternak kambing dan sapi. Dan mereka bisa saja membuat laporan kedatangan kita"Benar, rumput disini memang sangat gemuk. Jika aku sapi, aku juga suka ada disini!"Baiklah. Parkirkan dengan aman mobil ini Jeni""Disini sudah aman bu""Tidak! Jangan disini. Cari tempat yang lebih aman. Mungkin saja kita akan kedatangan orang lain." Meski agak terkejut dengan tempat ini, aku tetap keluar mobil.."Baik bu" Jeni kembali kedalam mobil. Lalu membawa mobil itu lebih kedalam. Bersembunyi diantara tumpukan mobil lain. Tempat ini benar-benar penuh mobil. Dengan suasana gelap dan banyak mobil bertum
Aku gunakan sarung tangan karet. Berjalan mengelilingi mobil. Memastikan seperti apa keadaan mobil ini sekarang. Bagian depan mobil sudah tak lagi berbentuk. Ringsek, hingga aku tak lagi bisa mengenali mobil ini. Jika tak kuperhatikan plat nomornya dengan baik.Satu sisi lain juga seperti terkena benturan, menyisakan cekungan menjorok yang cukup kentara. Kaca belakang pecah, bersih tak menyisakan serpihan. Aku berjalan kembali kesamping, mencoba membuka pintu depan.Glek..glek...Mobil ini terkunci atau mungkin macet karena karat. Entahlah, ia begitu sulit dibuka. Kuamati lagi dari beberapa sisi. Bahkan aku sempat menenggok kedalam untuk memastikan apa yang ada di sana. Masih sama, seperti mobil ini dulu. Gantungan kunci lambang perusahaan mas Erlanpun, masih menggantung dikaca depan. Aku berjalan kebelakang. Mencoba mencari jalan masuk.Mungkin aku bisa masuk lewat jendela disisi belakang.Aku Naik, berpegang pada ujung-ujung jendela. Ngik... kek...kek...Setiap kali aku bergerak b
Srook... Srook!Ranting pohon kudengar patah terhantam badan mobil ini. Kami masih meluncur turun semakin kebawah.BRAAK!Hantaman keras. Membuatku terbanting juga di atas kursi. Untungnya sabuk pengaman masih terpasang dengan baik. Andai tidak, aku sudah terlempar kedepan menubruk kaca yang mulai retak.Saat kusadari kini mobil berhenti. Kami jauh di dalam jurang. Mobil ini miring 45 derajat. Aku terdiam menatap keatas dari kaca depan. Tak terlihat apapun. Entah berapa meter jarak kami dari tepian tebing, tempat kami terjatuh tadi.Kuatur nafas beberapa kali. Saat ini aku takut mobil akan kembali meluncur kebawah."Jen, Jeni!" Kuguncang tubuhnya pelan. Dia tak bereaksi. Aku periksa nadinya. Dia masih hidup! Syukurlah."Bangun Jen? Jeni..."Ini anak pingsan atau tidur sih? Heran aku!Aku periksa tubuhku sendiri. Memastikan tak ada luka patah atau terkilir setelah beberapa kali terbentur dan meluncur ke punggung lembah.Aman, semua terlihat baik dan aku tak merasakan sakit.Perlahan k
Pov JeniAku terbangun, terdampar di tepian sungai. Tanganku begitu sakit, aku mencoba menggenali tempatku terduduk, namun aku tak mengingat apapun yang terjadi.Kuangkat tangan kananku. Berat, seperti ada yang menariknya. Saat kulihat lebih dekat, ada tangan mengantung dengan tali tas ditanganku."Bu Wita!" Aku dekati wanita yang sudah seperti kakak bagiku. "Bu, bangun bu!"Tubuhnya dingin, dan dia tak merespon saat berkali-kali kuguncangkan tubuhnya. Kini aku merasa khawatir, bagaimana jika terjadi sesuatu padanya. Kulepas jaket kulit yang kukenakan, dingin menjalar menembus tulang.Aku duduk sebentar. Mengingat bagaimana kami berada disini sekarang. Saat terakhir aku masih sadar, bu Wita masih mengemudikan mobilnya bersamaku.Apakah kami mengalami kecelakaan?Ah, kupukul berkali-kali kepalaku. Namun tak juga menemukan potongan cerita kami yang hilang dari alurnya.Bodohnya kamu Jen!Keadaan terlalu gelap saat aku mencoba melihat kesekitar. Aku tak menemukan apapun sebagai penerang
Assalamualaikum. Jangan lupa berikan bintang dan subbscribe ya teman-teman. Maaf off dua hari, semoga kedepannya bisa up cerita setiap hari. Selamat membaca.*** Aku keluar rumah. Setelah membantu gadis itu membersihkan piring bekas makanan kami. Terlalu tak tau diri jika sudah di kenyangkan, namun tak bisa meringankan sedikir saja kerjanya.Melangkah dari dalam rumah, terbentang punggung bukit yang kehijauan. Bila saja terjadi longsor, rumah ini pastilah terhantam lebih dulu.Astaqfirullah. Apa yang aku fikirkan!Aku turuni anak tangga dari bebatuan. Berjalan kepelataran. Ternyata hanya rumah ini yang berada dibawah. Selebihnya ada beberapa rumah dipunggung bukit." kita jadi kepuskesmas mbak?" Mega, gadis yang kutaksir berusia sekitar empat belas tahun itu bertanya."Jadi. Ayo, kemana arah puskesmasnya?""Kesana mbak"Mataku membulat, di menunjuk bukit didepan kami. Mendadak kakiku terasa berat. Bagaimana kami akan kesana? Panjat tebing?"Ada jalan setapak kecil mbk, ayo ikut say
Tak ada yang lebih membahagiakan dari pada hari ini, berita kematian Saswita membuat hidupku jauh lebih sempurna. Wanita yang selalu jadi penghalang segala rencanaku, kini benar-benar lenyap dari kehidupanku.Andi yang kupercaya menyelesaikan segala urusanku dengan wanita angkuh itu, dia yang melempar wanita sok suci itu lenyap kedasar jurang.Rasakan ! Kau belum tau sedang berurusan dengan siapa, Wita !Sekarang aku hanya tinggal menunggu berita pencarianmu selesa dan seluruh harta mas Erlan akan jatuh dalam genggamanku !"Kau mau kemana?" Ibu bertanya, ah wanita tua satu ini masih saja mengurusi hidupku."Pergi, kenapa? Ini bukan urusanmu juga!" Aku menjawab ketus. Tak ada urusan lagi bersikap manis padanya."Jangan lancang kamu Lia! Bagaimana dengan Erlan, apa kau sudah mengurusnya?" Dia menarik rambutku dengan kencang.Kurang ajar !" Lepaskan!" Aku hempaskan tangannya dengan kasar.Wanita tua itu terkejut, jika saja tak ada kursi di belakangnya, dia pasti suda terjengkang."Janga
Pov Erlan.Ibu menangis masuk kedalam kamar. Terduduk dalam posisi bersimpuh di tepian ranjang. Meletakkan kepalanya pada telapak tanganku. Matanya kian membesar, basah karena bulir bening tak juga berhenti keluar.Apa yang terjadi padamu bu?Ingin rasa hatiku bertanya. Namun berkali-kali kucoba, suaraku masih tak bisa keluar."Maafkan ibu ya lan" Nyaris tak terdengar. Suaranya bercampur tangis yang tertahan.Berkali ia mengusap telapak tanganku, seperti mengungkapkan penyesalan terbesarnya akan satu hal."B...bb... bu..." Ucapku penuh perjuangan.Hanya mengucap ujung awal sebuah kata saja, serasa urat-urat leherku menegang.Ibu melihatku diam, sepertinya dia mendengar saat aku memanggilnya. "Kamu panggil ibu lan?" Wajahnya terkejut.Aku mengangguk pelan. Kulihat ibu menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Erlan, kau bisa bergerak?"Aku kembali memganggukkan kepala. Meski aku sudah bisa bergerak, namun lidahku masih sulit untuk merangkai kata."Erlan...!" Ibu semakin tergugu. Memelukku
Pov bu WindaMenuju hotel tempat Lia mengadakan acara. Aku tiba di lobi saat perempuan itu keluar dari dalam Lift. Diikuti banyak sorot kamera. Dia nampak berjalan cepat meninggalkan Lobi.Aku memghampirinya, tanpa bicara,menarik tangannya kearahku.Plak !Satu tamparan dengan keras mendarat di wajahnya, dia nampak terkejut. Tamparan ini bahkan tak sebanding dengan segala kejahatan yang dia lakukan.Dua orang menarikku menjauh. Aku tepis sekuat tenaga. Kudatangi mata yang terus menatapku tak suka itu."Ini belum sebanding dengan semua kejahatanmu!" Teriakku didepan wajahnya. Semua mata menatapku, kini mereka membidikan kamera pada kami berdua.Lia bergeming, tangannya mencengkeram tas dengan kencang. Namun aku belum mendengar pembelaan keluar dari mulutnya. Mungkinkah dia takut pada media?"Ibu silahkan pergi bu" Andi memintaku menjauh. Tangannya bahkan membentang kearah luar.Cuuiihh! Kuludahi jas hitamnya yang mewah. Dia pasti membelinya dari uang anakku juga. Kufikir dia bisa dip