"Lari kemana? Kamu sendiri yang bilang tahu rumahku. Jadi, tak mungkin aku bisa lari dari tanggung jawab!" gerutu Sinta kesal. Mereka berdua kembali adu mulut. "Ah, pokoknya. Aku mau, kamu yang mengantarku sampai ke rumah titik!" kekeuh lelaki itu. "Akkkhhh, oke lah! Aku turuti semua ke mauanmu!" Sinta menghentakkan kakinya. "Kamu bawa sepeda motor sendiri ya, Ran. aku dan dia naik becak. Tapi tetap ikuti aku dari belakang." Sinta menyerahkan kunci sepeda motor padaku. Ia berjalan menjauh mencari becak tanpa menoleh pada lelaki itu sedikitpun. "Sebenarnya, apa mau kamu sih?" tanyaku kesal, saat kulihat Sinta sudah tidak terlihat lagi, karena terhalang mobil-mobil yang terparkir.Gara-gara dia, rencana kami jadi tertunda. Mana ribet lagi urusan dengan dia."Nggak ada. Aku cuma suka aja gangguin Sinta," ucapnya sambil tersenyum penuh misteri. "Kamu ini, siapa sih? Kenapa tahu nama Sinta sedangkan dia, nggak kenal sama kamu!" sungutku. Hampir saja kesabaranku habis dibuatnya. "Sin
"Tangan sama kaki Papa, kenapa?" tanya gadis kecil itu polos. Ia melihat lalu memegang tangan Danu dengan perlahan. Duh, anak yang manis. Nggak seperti Papanya, nyebelin. "Tadi, Papa terserempet sepeda motor tante itu," tunjuknya pada kami berdua yang sedang berdiri bersisian.Gadis kecil itu langsung memanyunkan bibirnya. Matanya melotot menatap kami. Dia seperti tidak suka dan marah kepada kami berdua. "Kenapa Tante serempet Papaku?" tanya gadis kecil itu ketus. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. Nah, mulai kelihatan judesnya.Ternyata, buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya. Aku pikir, dia anak manis yang akan bersikap lembut. "Tadi, mereka nggak sengaja sayang. Udah, ayo masuk," ucap Sang Papa sambil mengacak pucuk rambut gadis kecil tersebut. "Stttt, Yuni sedang bertanya pada mereka, bukan Papa. Jadi, Papa diam saja!" Gadis kecil itu sedikit membentak Papanya.Waduh, masih kecil begini sudah berani membentak orang tuanya Bagaimana lagi nanti kalau sudah dewasa? Jika
"Iya, Bu. Lain kali kami pasti hati-hati. Kami berdua mohon maaf, karena sudah membuat anak Ibu celaka," ujarku penuh sesal.Lebih baik merendah, agar lawan bicara Iba. Kalau terus merasa benar dan berbicara kasar, yang ada makin runyam urusannya. Mengalah, bukan berarti kalah.Menghadapi orang, tidak perlu dengan sok jagoan, jika dengan lemah lembut saja bisa. "Iya. Mau bagaimana lagi. Yang namanya naas, tidak bisa diprediksi. Kalian sudah mau bertanggung jawab dan mengantarkan anak saya pulang saja, saya sudah bersyukur. Saya tidak tahu mana yang salah, dan mana yang benar, karena tidak ada di tempat kejadian. Mungkin saja memang anak saya yang meleng tidak memperhatikan jalanan, atau memang kalian yang salah karena terlalu asyik berbicara. Jadi, saya tidak mau memperumit keadaan. Saya sudah memaafkan kalian, dan kalau bisa, maafkan juga anak saya karena sudah merepotkan kalian," ujar Ibunya Danu legowo. "Terimakasih, Bu. Sekali lagi, saya mohon maaf atas kejadian ini," ucapku ta
Mulai membodohi JaliPov Putri. "Kemana sepeda motor kamu. Kenapa pulang diantar orang?" tanya Bang Jali saat aku baru saja turun dari sepeda motor, diantar oleh tetangga samping rumah Ibu. Tidak menggunakan sepeda motorku, melainkan sepeda motor anak tetangga, karena agar Bang Jali dan keluarganya tidak curiga dengan rencana yang sudah kususun matang. Suamiku itu sedang duduk di teras. Seperti sedang menungguku pulang. Di hadapannya, juga terdapat secangkir kopi yang kuyakini sudah diminum. Aku sengaja minta diantar tetangga dan meninggalkan sepeda motorku di rumah, agar Ibu bisa mengantar pesanan kue. Meskipun Ibu tidak bisa mengendarai sepeda motor, tapi aku sudah berpesan pada David, anak tetangga samping rumah untuk mengantarkan Ibu atau pesanan kuenya kemana saja. Anak remaja itu setuju, asalkan diberikan upah tiap minggunya. "Ditahan sama orang Bang," jawabku berbohong. Hanya dengan cara ini, aku bisa membantu Ibu. Jika kukatakan padanya bila sepeda motor kutinggalkan d
"Akh, benar-benar menyus-" Bang Jali menggantung kalimatnya saat mataku menatapnya serius. Yakin sekali aku, jika dia ingin mengataiku. Tapi urung dilakukan karena tujuan untuk mendapatkan harta warisan dari orang tuaku belum tercapai. Miris sekali pemikiran suamiku satu ini. Bisa-bisanya ingin mendapatkan harta secara instan. Sebelum kamu menggerogoti hartaku, maka aku lah yang akan terlebih dahulu melakukannya. Setelah ini, akan datang masalah lainnya yang sengaja aku buat, untuk keluarga parasit. Tunggu saja tanggal mainnya, suamiku tercinta. "Menyus apa Bang?" tanyaku pura-pura tidak tau. Aku memasang wajah bodoh agar dia berpikir jika aku memang wanita bodoh. "Akh, sudah lah. Tidak usah dibahas," tukasnya, lalu memejamkan mata. "Abang marah ya, sama aku?" tanyaku dengan manja.Aku sengaja bergelayut di lengannya. Meskipun dia tidak menyukaiku, tapi aku pura-pura saja tidak tahu."Enggak!" jawabnya singkat, masih dengan mata terpejam. "Terus, keputusannya gimana? Aku bawa
"Bang, antarkan aku kerja, yuk!" Aku mengguncang tubuh Bang Jali yang masih lelap tertidur. Sudah jam setengah tujuh pagi. Tapi dia belum juga bangun. Apakah hari ini dia tidak mengajar seperti biasanya?"Emmm ... " Bang Jali hanya bergumam tanpa mau membuka matanya."Bang, bangun, sudah siang. Tolong antarkan aku pergi bekerja dong!" pintaku lagi, sambil menepuk pipinya pelan. "Apaan sih! Bisa berangkat sendiri kan!" bentaknya lalu terduduk dan mengacak rambutnya kesal."Gimana mau berangkat sendiri? Sepeda motorku, kan sedang ditahan orang. Terus aku harus jalan kaki pergi bekerja gitu? Kapan sampainya? Bisa-bisa aku terlambat masuk," ucapku dengan nada merajuk.Muak sebenarnya terus berakting menjadi wanita lembut di hadapannya. Tapi mau bagaimana lagi, agar dia tidak curiga, aku harus tetap berpura-pura seperti ini sampai tujuanku tercapai."Arrgghhh." Bang Jali semakin kesal, dia mengangkat lalu membanting kakinya di kasur, seperti anak kecil yang sedang merajuk pada Ibunya. "
Dia mengataiku pemalas? Padahal dia lebih pemalas dibanding aku. Dasar, bisa menghina tapi lupa berkaca! "Apa maksud kamu, Wat?" tanya Ibu lembut, pada anak perempuan kesayangannya."Tadi, aku meminta menantu Ibu untuk mengambikan minum. Tapi dengan angkuhnya dia menolak, dan memintaku untuk mengambilnya sendiri. Padahal aku sedang sibuk menonton infotainment, dan dia sudah berdiri di situ. Apa salahnya sih tinggal melangkah ke dapur, yang tinggal berapa jengkal lagi!" cerocosnya, seperti bebek yang tidak bisa diam. "Apa benar begitu, Put?" tanya Ibu mertua lembut, lalu mengalihkan pandang padaku. Jika bukan karena sebentar lagi gajian, pasti Ibu mertua sudah memarahiku karena tak mau menuruti perintah anak kesayangannya. Ia lembut seperti itu, karena ada maksud dan tujuannya, yaitu uangku."Iya, Bu. Aku ini buru-buru mau berangkat bekerja, yang tujuannya mendapatkan uang. Nah sementara dia, hanya menonton infotainment saja masa tidak bisa ditinggal barang sebentar," Ucapku membela
Pov PutriBagaimanapun caranya, setelah berpisah dengan Bang Jali. Aku tak mau rugi. Saat di pengadilan nanti, pasti dia tidak akan membagi sedikitpun hartanya padaku. Sedangkan uangku yang sudah ada padanya lumayan banyak.Aku sudah memiliki rencana yang sangat apik. Tidak masalah semua uangku tidak kembali. Setidaknya separuhnya saja sudah lebih dari cukup. ***Hari yang ditunggu oleh ibu mertuaku pun tiba. Hari di mana aku menerima gaji bulanan. Dia pasti sudah sangat menanti-nanti hari ini.Wajah semringah menyambutku yang baru saja pulang bekerja. Jika biasanya ibu mertuaku ini cemberut, kali ini senyumnya merekah, seperti bunga mawar yang baru mekar."Sudah pulang, Nak?" tanya Ibu mertua, sangat ramah dan lembut. Aku tau itu hanya basa-basinya karena ingin mendapatkan uangku yang sekian lama dinantinya."Iya, Bu. Capek sekali hari ini," jawabku, menghembuskan napas kasar lalu menjatuhkan diri di sofa."Mau Ibu buatkan Teh? Agar hilang sedikit lelahmu," tawarnya masih dengan se