Ah, aku tidak akan mau diperbudak lagi. Bagaimanapun caranya, besok aku tidak akan mau membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Pepatah mengatakan, banyak jalan menuju roma. "Ibu, mau mandi dulu. Bawa sendiri itu cangkir bekas tehmu ke belakang!" perintah Ibu lalu meninggalkanku bersama Bang Jali. Ibu menghentak-hentakkan kakinya seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Jangan berfikir masalah sudah selesai, Put. Besok aku akan bertanya pada semua teman kerjamu. Jika kamu ketahuan berbohong, maka bersiaplah menanggung akibatnya," ancam Bang Jali tanpa rasa malu. Sebagai lelaki, seharusnya dia bisa melindungiku sebagai istrinya. Bukan malah mengancam seperti aku ini adalah musuhnya. Hanya masalah uang gajiku, dia segitu marahnya. Apa tidak malu suami meminta uang gaji istri untuk keluarganya? Setelah bercerai nanti, jika suatu saat dia meminta kembali dengan dalih penyesalan. Sampai mati pun tak akan aku mau kembali padamu, Jali. Tunggu saja semuanya. Kupastikan kamu akan menyesal te
"Dingin banget tangan, kamu," ujar Sinta yang sedang berdiri di sampingku, Ia sengaja menyentuh tanganku. Aku hanya bisa tersenyum, sambil terus fokus karena sedang dirias, dan Sinta, dari sejak awal aku dirias dia terus saja menggodaku dengan semua ucapan gi-lanya. Dari mulai malam pertama, sampai ke anak cucu dia bahas. Dia sengaja datang ke rumah dari kemarin dan menginap di rumahku. Karena tidak mau melewatkan momen pernikahanku, katanya. "Baca do'a biar nggak gugup. Nih, minum!" Sinta kembali berucap serta menyodorkan air mineral padaku.Aku langsung meminumnya sedikit demi sedikit, hingga tandas. Hari ini, janji suci akan segera terlaksana. Beberapa jam lagi, status lajangku akan berubah menjadi istri orang. Istri Bang Juna lebih tepatnya. Gugup? Sudah pasti aku sangat gugup. Siapa pun akan gugup saat hari pernikahannya tiba.Akhirnya, perjuangan menuju hari pernikahan telah kulewati dengan penuh lika-liku. Semoga saja, setelah menikah, tidak ada lagi gangguan dari orang-o
Tidak ada satupun dari mereka yang berniat melerai kami. Mereka hanya menonton pertarungan sengit antara aku dan ulat bulu. Tak habis akal, aku juga menen-dangnya dengan sekuat tenaga.Rasakan! Rani, kok mau dilawan. Belum tahu saja kamu, bagaimana sifat bar-bar Rani, jika sudah tersakiti. Tidak akan ada kata atau pun lagu kumenangis. Berkali-kali aku menghadiahinya dengan tendangan maut, seperti pemain sepak bola. 'BRAK!'"ADUHH, SAKIT DEK!" keluhnya, mengaduh. Eh, suaranya kok berubah jadi laki-laki sih? Apakah Turmi wanita jadi-jadian? Terus, tadi manggil aku, "Dek". Kok aneh. "Dek, sadarlah." Suara lelaki lagi. Padahal yang di hadapanku adalah Turmi yang sedang menepuk-nepuk wajahku pelan. Ah, berani sekali dia menepuk-nepuk wajahku. Ingin membalasku ya? Tak tinggal diam, aku kembali menjambaknya dengan bar-bar. "Astaghfirullah, Bu, Rani kerasukan!" teriak Turmi dengan suara laki-laki, mirip dengan suara Bang Juna. "Astaghfirullahalazim, eling, Nduk!" Suara ibu, entah dar
Pov Putri. "Huhuhu." Aku turun dari sepeda motor tukang ojek online yang mengantarkanku pulang. Aku harus berakting dan berpura-pura sangat bersedih. Pokoknya Bang Jali dan seluruh keluarganya tidak boleh curiga. Abang tukang ojek itu agak kebingungan melihatku yang tiba-tiba saja menangis. Sejak naik sepeda motornya, aku hanya diam saja. Dan sekarang, dengan tiba-tiba aku menangis. Aku memintanya segera pergi setelah kuberikan ongkos yang sudah ditentukan di aplikasi. Abang ojek itu langsung menancap gas sepeda motornya. "Kamu kenapa?" tanya Ibu mertua yang sedang melihat-lihat tanaman bunganya. Dia hanya menoleh sekilas saja. Oke, Put, perdalam lagi aktingmu! "Duhh, gimana, ya, Bu, bilangnya." Aku kembali menangis dan berusaha mengeluarkan air mata agar lebih meyakinkan aktingku, aku juga meremas kedua tanganku. "Ada apa? Ngomong kamu! Jangan cuma nangis aja! Nggak jelas banget kamu ini!" gerutunya jengkel."Itu Bu. Sepeda motor Bang Jali, hilang, Bu," ucapku seraya menundukk
"Nggak terasa ya, Bang. Dua minggulagi kita nikah." ucapku pada calon suami saat kami sedang duduk makan bakso di warung Bu Sri. "Iya, dek. Rasanya udah dag dig dug ser, bayangin saat mengucapkan ijab qobul." "Rencananya, kalau udah nikah, aku masih harus kerja, atau berhenti Bang?" tanyaku pada Bang Jali, untuk masa kedepannya. "Ya, harus kerja dong. Kan biar kita bisa cepat bangun rumah sendiri. Sementara sebelum punya rumah, ya kita numpang dulu di rumah orang tuaku." "Terus, setelah menikah apa aku masih boleh kasih uang belanja tiap bulannya untuk ibu kan? " tanyaku lagi. Ibuku adalah seorang janda. Ayah sudah lama dipanggil sang Maha pencipta. Meskipun usia ibu tak lagi muda. Ia tetap bekerja demi bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selama ini, aku juga selalu memberinya sebagian gajiku, untuk meringankan sedikit bebannya. Tapi ya begitu, beliau sering menolak. Kadang diterima, tapi ia belikan untuk pakaianku. "Dek, setelah menikah, seorang istri seutuhnya milik suaminya.
"Saya meminta mahar pada Bang Jali sebesar Lima Milyar!" ucapku lantang. "APAAA?" Semua orang teriak bersamaan. Sepertinya mereka terkejut dengan mahar yang kusebutkan. Mata kedua calon mertuaku serta calon suamiku melotot tak berkedip. Sepertinya mereka sangat syok dengan jawabanku. Calon ibu mertua memegangi kepalanya. Aku tahu pasti dia pusing memikirkannya. Biarkan saja, toh setelah menikah, aku tidak akan lagi bisa membantu ibu. Jika mereka menyanggupinya maka uang itu sepenuhnya akan kuberikan pada ibu. Agar di hari tuanya ia tak lagi harus kesusahan mencari nafkah. "Kamu ini apa-apaan toh, nduk!" bisik ibu di telingaku. "Stttt ... Ibu diam aja. Pokoknya, terima jadi ajalah," balasku juga berbisik. "Rani, apakah itu tidak terlalu berlebihan mahar yang kamu ajukan?" tanya Bang Jali berkeringat. "Ya, tidak toh Bang. Malah kurasa, semua itu belum cukup untuk membayar jasa orang tuaku. Seperti kata Abang, setelah menikah aku harus berbakti pada suami. Karena saat ijab qobul
"Jangan keterlaluan kamu, Rani! Jika maharnya sebesar itu, mana ada lelaki yang mau jadi suamimu!" ucap Bang Jali, meninggikan suaranya. "Hush! Jangan ngomong begitu! Kalau persyaratan menjadi istrimu juga seperti itu, nggak akan ada yang mau jadi istrimu!" jawabku masih santai. Meladeni orang seperti dia, tak perlu dengan emosi juga. Dengan begini saja, pasti dia semakin kebakaran jenggot. "Kamu tidak tahu saja, banyak yang mengantri untuk menjadi istriku. Apalagi pekerjaanku sudah mapan. Seharusnya kamu bersyukur, karena beruntung akan menjadi istri seorang PNS!" Beruntung apanya? Yang ada malah buntung. Mending dapat suami buruh tani, tapi mau bekerja sama dan saling membantu untuk orang tua. Daripada dapat PNS, maunya menang sendiri. "Ya, karena mereka yang antre, belum tahu kehidupan seperti apa yang nantinya akan dijalani setelah menikah. Makanya mereka sampai rela antre. Coba kalau sudah tahu akan dijadikan romusha, pasti mereka semua kabur satu persatu." "Romusha bagaiman
Bukan hanya anaknya beruntung tidak jadi menikah denganku. Tapi aku lebih sangat beruntung karena tak jadi memiliki suami seperti anaknya. Tidak bisa kubayangkan hidup tanpa Ibu, yang sudah melahirkan dan membesarkanku. Sampai kapan pun, tidak ada anak yang bisa membalas jasa ibu dan bapaknya. Meski dunia dan seisinya ia berikan. Aku tidak akan pernah dibutakan oleh yang namanya cinta. Saat lelaki tak bisa menerima keluargaku terutama ibuku. Maka aku tidak akan melanjutkan hubungan itu. Untuk apa aku berbahagia di atas penderitaan ibu. Mencari suami, bukan hanya melihat tampang, jabatan, dan uang. Tapi, harus yang ikhlas menyayangi dan menghormati ibu kita seperti ibunya sendiri. Jika seorang lelaki berpikir, bahwa surganya ada pada ibunya sampai kapan pun, karena sang ibu lah, yang melahirkan dan membesarkannya. Lalu apa bedanya dengan wanita? Mereka juga dilahirkan dan dibesarkan oleh ibunya. Mereka juga dididik dan disekolahkan dengan hasil jerih payahnya. Jadi, jangan pernah b