"Saya meminta mahar pada Bang Jali sebesar Lima Milyar!" ucapku lantang.
"APAAA?" Semua orang teriak bersamaan. Sepertinya mereka terkejut dengan mahar yang kusebutkan.
Mata kedua calon mertuaku serta calon suamiku melotot tak berkedip. Sepertinya mereka sangat syok dengan jawabanku.
Calon ibu mertua memegangi kepalanya. Aku tahu pasti dia pusing memikirkannya. Biarkan saja, toh setelah menikah, aku tidak akan lagi bisa membantu ibu. Jika mereka menyanggupinya maka uang itu sepenuhnya akan kuberikan pada ibu. Agar di hari tuanya ia tak lagi harus kesusahan mencari nafkah.
"Kamu ini apa-apaan toh, nduk!" bisik ibu di telingaku.
"Stttt ... Ibu diam aja. Pokoknya, terima jadi ajalah," balasku juga berbisik.
"Rani, apakah itu tidak terlalu berlebihan mahar yang kamu ajukan?" tanya Bang Jali berkeringat.
"Ya, tidak toh Bang. Malah kurasa, semua itu belum cukup untuk membayar jasa orang tuaku. Seperti kata Abang, setelah menikah aku harus berbakti pada suami. Karena saat ijab qobul diucapkan, maka tanggung jawab atas sepenuhnya diriku akan berpindah tangan pada Abang. Bahkan, orang tuaku sedikitpun tak ada lagi hak terhadapku. Aku juga dilarang untuk memberi sedikit gajiku pada orang tua. Aku ini, ibarat kata sudah 'Dibeli' oleh keluarga abang. Jadi, aku memberi harga lima Milyar saja. Tidak lebih dan tidak kurang," jawabku enteng.
"Tapi itu berlebihan, Ran! Di mana-mana, mahar paling banyak ratusan juta. Itu pun untuk seorang wanita yang berpendidikan tinggi dan sudah berprofesi sebagai dokter, dosen, bidan. Lah kamu, paling cuma tamat SMA, yang tak mengeluarkan banyak biaya," protes Bang Jali merendahkanku.
Emang dia pikir, hanya dokter, dosen, bidan, tentara, dan polisi saja, yang membutuhkan banyak biaya. Meskipun hanya tamatan SMA, yang digunakan orang tuaku tetaplah uang. Bukan daun jambu yang tumbuh subur tanpa di tanam, lalu memetiknya sesuka hati. Enak saja bibirnya kalau ngomong!
Katanya sekolah tinggi sampe jadi sarjana. Tapi kok pikirannya sempit, kaya semvak kekecilan!
"Siapa bilang hanya tamat SMA saja tidak banyak mengeluarkan biaya? Abang bayangkan saja. Dari satu hari aku di dalam kandungan ibu, dia sudah memberiku makanan dan minuman. Hitunglah berapa uang yang harus dikeluarkan perharinya hingga usia kandungan sembilan bulan sepuluh hari. Belum lagi saat aku dilahirkan. Berapa biaya persalinannya serta pakaian yang mereka beli. Terus, yang namanya melahirkan taruhannya nyawa. Masa orang yang sedang bertaruh nyawa untuk kehidupanku tidak diperhitungkan bayarannya? Belum lagi setetes Asi yang tiap harinya kuminum untuk membentuk darah dan dagingku. Bayangkan bila susu formula, satu kotaknya sepuluh ribu pada zaman dahulu. Sampai aku berumur dua tahun, berapa kotak yang telah kuhabiskan. Tapi, karena aku hanya meminum Asi, kamu tahukan harga Asi lebih mahal ketimbang susu formula. Maka kamu hitung tiap tetesnya dan di kalikan seribu rupiah. Aku yang baru dilahirkan, belum bisa melakukan apa-apa. Jadi saat aku pup, pipis, semua yang mengganti pakaian adalah orang tuaku. Tak peduli malam mereka terkantuk tetap saja pakaianku selalu diganti saat basah. Hitunglah biaya begadang mereka, dan anggaplah sebagai baby sister." Aku menjeda perkataanku untuk menarik napa panjang dan melanjutkan perhitungan.
"Jangan lupa, hitung juga ilmu yang mereka berikan padaku. Anggap saja sebagai guru yang harus dibayarkan gajinya. Dari aku mulai belajar angkat kepala, telungkup, merangkak, berdiri, jalan dan berbicara. Semua orang tuaku yang mengajarkannya. Jangan lupa pendidikanku dari mulai TK, SD, SMP hingga SMA, sudah berapa banyak uang yang mereka keluarkan untuk makan, biaya sekolah -"
"Cukup! Saya tidak mau lagi mendengar rincian kamu!" ucap calon ibu mertua menghentikan perhitungku.
Kipas yang kini berada di tangannya, ia kipaskan dengan begitu keras. Sepertinya dia sedang emosi.
Hmmm, inilah akibat dari ulah anakmu, Bu!"Seperti ucapan anak saya, kami tidak pernah mendengar mahar sebesar ini!" ucapnya ketus. Wajahnya sudah berubah, dari yang awalnya datang dengan ceria serta memamerkan gelangnya. Kini, seperti cacing kepanasan yang dari tadi gerak kesana kemari tidak jelas.
"Ya, makanya kali ini ibu dengar dari saya. Kan tadi ibu sendiri yang bilang, bukankah seorang wanita wajib meminta mahar pada calon suaminya. Makanya, aku meminta dengan jumlah yang pas dengan pengorbananku nanti setelah jadi istri Bang Jali," sahutku santai.
"Iya, memang benar. Tapi, wanita yang baik adalah yang meringankan maharnya,"
Nah, kalau sudah begini, baru ingat wanita yang baik yang meringankan maharnya. Lalu bagaimana dengan lelaki yang baik? Apakah yang menelantarkan mertuanya, setelah menikahi anaknya?
Bukankah lebih baik, jika suami istri saling membantu dan adil terhadap orang tua dan mertuanya?
Meskipun anak lelaki harus berbakti pada ibunya sampai kapanpun. Karena sang ibu telah melahirkan dan membesarkannya. Seharusnya, suami juga paham, jika istri juga dilahirkan oleh seorang ibu. Bukan lahir dari kedebok pisang!
"Ya, kalau maharnya ringan. Orang tua saya nggak balik modal dong membesarkan saya! Kan Bang Jali sendiri yang mengatakan istri itu ibarat kata 'Dibeli'. Makanya saya memberi harga yang cocok. Bayangkan saja, ibu saya harus kehilangan anaknya yang selama dua puluh lima tahun dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Setelah menikah, anaknya tak boleh lagi, memberinya uang belanja, atau pun mengunjunginya. Sepertinya semua itu nggak seberapa. Cuma lima Milyar loh. Pasti nggak ada apa-apanya bagi kalian. Itu hanya seujung kuku!"
"Rani, sebenarnya kamu mau mempermalukan keluargaku di sini kan? Dengan meminta mahar yang fantastis?"
"Siapa yang mau mempermalukan abang? Aku, seumur hidup loh, hidup dengan Abang dan harus bekerja juga membantu keuangan. Bayangkan uang yang akan aku hasilkan selama sisa hidup. Pasti lebih banyak ketimbang Mahar itu. Jadi, Abang nggak akan rugi."
"Tapi tidak segitu juga kali!"
"Oh, begitu. Menurut Abang itu masih kurang? Baiklah, genapkan saja menjadi sepuluh milyar!" ucapku enteng dengan senyuman tanpa salah dan dosa.
"Pak, kayaknya Ibu butuh oksigen!" Calon Ibu mertuaku seperti kekurangan oksigen. Napasnya menjadi tersengal-sengal sambil memegangi dadanya.
"Jangan keterlaluan kamu, Rani! Jika maharnya sebesar itu, mana ada lelaki yang mau jadi suamimu!" ucap Bang Jali, meninggikan suaranya. "Hush! Jangan ngomong begitu! Kalau persyaratan menjadi istrimu juga seperti itu, nggak akan ada yang mau jadi istrimu!" jawabku masih santai. Meladeni orang seperti dia, tak perlu dengan emosi juga. Dengan begini saja, pasti dia semakin kebakaran jenggot. "Kamu tidak tahu saja, banyak yang mengantri untuk menjadi istriku. Apalagi pekerjaanku sudah mapan. Seharusnya kamu bersyukur, karena beruntung akan menjadi istri seorang PNS!" Beruntung apanya? Yang ada malah buntung. Mending dapat suami buruh tani, tapi mau bekerja sama dan saling membantu untuk orang tua. Daripada dapat PNS, maunya menang sendiri. "Ya, karena mereka yang antre, belum tahu kehidupan seperti apa yang nantinya akan dijalani setelah menikah. Makanya mereka sampai rela antre. Coba kalau sudah tahu akan dijadikan romusha, pasti mereka semua kabur satu persatu." "Romusha bagaiman
Bukan hanya anaknya beruntung tidak jadi menikah denganku. Tapi aku lebih sangat beruntung karena tak jadi memiliki suami seperti anaknya. Tidak bisa kubayangkan hidup tanpa Ibu, yang sudah melahirkan dan membesarkanku. Sampai kapan pun, tidak ada anak yang bisa membalas jasa ibu dan bapaknya. Meski dunia dan seisinya ia berikan. Aku tidak akan pernah dibutakan oleh yang namanya cinta. Saat lelaki tak bisa menerima keluargaku terutama ibuku. Maka aku tidak akan melanjutkan hubungan itu. Untuk apa aku berbahagia di atas penderitaan ibu. Mencari suami, bukan hanya melihat tampang, jabatan, dan uang. Tapi, harus yang ikhlas menyayangi dan menghormati ibu kita seperti ibunya sendiri. Jika seorang lelaki berpikir, bahwa surganya ada pada ibunya sampai kapan pun, karena sang ibu lah, yang melahirkan dan membesarkannya. Lalu apa bedanya dengan wanita? Mereka juga dilahirkan dan dibesarkan oleh ibunya. Mereka juga dididik dan disekolahkan dengan hasil jerih payahnya. Jadi, jangan pernah b
Gosip Semua makanan yang tadi sempat kami persiapkan, sudah dibagikan ke tetangga. Karena tamu, keburu pergi padahal belum sempat menikmati hidangan yang kami sediakan. Mungkin mereka terlanjur kenyang mendengar mahar, yang kukatakan. Hingga tak sempat lagi mengisi perutnya. Tidak apa, semua masih bisa kusedekahkan pada tetangga. Meskipun tak jadi syukuran tujuh hari tujuh malamnya. "Wes, gagal mangan degeng kita! (udah,gagal makan daging kita)" celetuk Bi Parni sambil membungkus jajanan ke dalam plastik untuk ia bawa pulang. "Halah, ora popo. Seng penting, dino iki kita intok panganan gratis. Mangan dageng pun, yo harus eneng salam tempel. (Halah, nggak papa. Yang penting hari ini kita dapat makanan gratis. Makan Daging pun, ya harus ada salam tempel)." sahut Bude Yati, mencomot kue bolu dan melahapnya. "Iyo, juga yo!" ** Para tetangga sudah pada pulang ke rumah masing-masing. Saatnya aku meluruskan pinggang, yang sedikit bengkok karena kebanyakan duduk. Ibu juga sudah masuk
Salah sangka "Memang, cocok kali Bang PNS itu dengan Si Putri. Mereka pasti seperti pasangan Romeo dan Juliet. Hanya ajal yang bisa memisahkannya." Mendengar ucapanku, semuanya terkaget-kaget. Bu Samini, tersedak kacang panjangnya. Bi Atun langsung berdiri seperti melihat hantu. Dan Bi Badriah terjungkal karena bangku yang ia duduki ditinggal pemiliknya berdiri. Kebetulan, bangku memanjang itu, seperti jungkit-jungkit. Jika salah satunya berdiri, maka yang satu lagi akan langsung nyungsep. Aku hanya bisa nyengir melihat mereka yang terkejut seperti melihat hantu. "Ka-kamu! Sejak kapan di situ?" tanya Bu Samini tergagap "Sudah dari tadi, Bu. Ayo, lanjutkan gosipnya. Aku kan juga pengen nggosip. Biar pun masih muda, jiwa tuaku meronta, saat ada yang bergosip. Pengen ikut nimbrung gitu," jawabku, terus memperhatikan mereka dengan serius. Sengaja ingin membuat mereka jantungan. Biar mereka kapok, dan tak lagi menceritakan orang lain di belakangnya. Ya, meskipun itu mustahil. Sudah p
"Heh, Rani! Kamu beneran batal nikah sama Bang Jali?" tanya Sinta, tetangga Bang Jali sekaligus teman satu kerjaan denganku. Dari main ke rumahnya, juga lah yang membuatku mengenal lelaki itu. Kami sedang makan siang di kantin. Kebetulan sudah jam istirahat. Tadi pagi, sebelum masuk kerja, kami tidak bertemu. Jadi mungkin Sinta memendam pertanyaannya ini. Dan begitu ada kesempatan, dia langsung bertanya. "He'eh ... " jawabku mengangguk sambil melahap lontong sayur. Perut udah keroncongan, kalau nggak cepat diisi, bisa demo cacingnya. "Denger-denger, kamu minta mahar 10M ya?" tanyanya lagi semakin serius. Sampai lupa untuk makan. Padahal makanan yang dipesannya sudah ada di depan mata.u "He'eh ... " jawabku lagi, singkat. Menurutku, ini adalah bahasan yang tak penting. Jadi malas untuk bicara panjang lebar. Apalagi dalam kondisi perut minta diisi. "Hmmm, emang dasar nggak tau diri banget kamu! Pantas aja batal. Permintaanmu nggak masuk akal!" gerutunya, memukul lenganku. Belum t
Sudah jam lima sore, para pekerja pabrik Mabel, mulai membubarkan diri. Termasuk aku. "Memang kamu tega, Ran! Masa aku lagi makan, main tinggal aja!" gerutu Sinta saat kami bertemu di jalan menuju parkiran. "Habis, kalau deket kamu, kewarasanku ikut menghilang! Pengennya itu, ngania-ya orang aja!" sahutku terus melangkahkan kaki cepat. "Ck! Kayak baru kenal aku aja kamu ini!" "Karena udah kenal lama, makanya aku was-was kalau udah dekat kamu. Takut ketularan!" "Hissh! Emang kamu pikir, aku virus apa? Eh, ngomong-ngomong, aku nebeng ya! sepeda motorku tadi pagi mogok. Jadi, nggak bisa dibawa. Perginya aja tadi aku diantar sama bapak, naik sepeda ontel," rayunya sambil mengedipkan mata. "Iya, ya udah ayo!" Aku menaiki sepeda motor dan diikuti olehnya yang duduk di jog belakang. "Tapi, antar sampe rumah ya. Jangan diturunin di jalan." "Iya! Gampang. Jangan lupa uang bensinnya!" selorohku, sambil melajukan sepeda motor. Hanya dia harta satu-satunya yang kupunya. Motor butut hasi
Saat sudah berada di persimpangan jalan. Entah dari mana datangnya. Mantan calon ibu mertua sudah berdiri seperti tugu selamat datang di situ. Mau tak mau, aku harus tetap melewatinya karena tak ada jalan lain. Mau terbang, nggak mungkin. Sayap pesawat mahal. Mana dandannya sangat cetar lagi. Sama persis seperti yang dibilang Sinta. Kayak toko emas berjalan. Kepalanya memang ditutupi hijab. Tapi hijab tersebut ia ikat ke leher sampai mencekik. Mungkin tujuannya agar semua orang tau kalau dia memakai emas sebesar rantai kapal. Bukannya iri. Tapi itu kelihatan norak. Banyak, kok orang yang lebih kaya, tapi pakai perhiasan tidak terlalu mencolok seperti itu. "Gimana, udah dapat lelaki yang mau kasih mahar lima Milyar belum?" tanyanya sewot. Ternyata Ibu Bang Jali, pendendam juga. Untung di sini hanya ada tiga orang. Jadi, tidak terlalu malu saat jadi pusat perhatian. Dengan sangat terpaksa kuda besiku ini kuhentikan. Kalau nggak dijawab, nanti katanya nggak sopan. Diajak ngomong oran
Sudah dua minggu, semenjak kejadian aku gagal menikah karena mahar. Para tetangga sudah sedikit meredup mulutnya menceritakan tentangku. Suasana desa hampir sembuh dari virus mahar Lima Milyar.Terkadang, memang ada yang masih membahasnya. Tapi hanya beberapa orang saja. Itu pun, mereka yang tak menyukaiku. Seperti Bu Samini, Bi Atun, dan Bi Badriah.Kalau Bu Samini tidak menyukaiku, karena dulu pernah ada lelaki yang dikejar oleh anaknya. Tapi lelaki itu malah, balik mengejarku. Meskipun Si Putri anak Bu Samini adalah calon bidan. Lelaki itu tetap tak menyukainya. Alasannya karena ia pernah melihat si Putri, kayak perangko. Nempel sana, nempel sini.Sedangkan Bi Atun, dia tidak menyukaiku karena cemburu pada ibu saat masih muda dulu. Ibu yang pada masanya menjadi kembang desa, membuat Bi Atun merasa marah karena tak pernah dilirik oleh pria. Setiap ada lelaki yang mendekati Bi Atun, ternyata tujuannya hanya demi bisa mengenal. ibu. Karena rumah mereka berdekatan, jadi Bi Atun selalu