"Heh, Rani! Kamu beneran batal nikah sama Bang Jali?" tanya Sinta, tetangga Bang Jali sekaligus teman satu kerjaan denganku. Dari main ke rumahnya, juga lah yang membuatku mengenal lelaki itu.
Kami sedang makan siang di kantin. Kebetulan sudah jam istirahat. Tadi pagi, sebelum masuk kerja, kami tidak bertemu. Jadi mungkin Sinta memendam pertanyaannya ini. Dan begitu ada kesempatan, dia langsung bertanya.
"He'eh ... " jawabku mengangguk sambil melahap lontong sayur. Perut udah keroncongan, kalau nggak cepat diisi, bisa demo cacingnya.
"Denger-denger, kamu minta mahar 10M ya?" tanyanya lagi semakin serius. Sampai lupa untuk makan. Padahal makanan yang dipesannya sudah ada di depan mata.u
"He'eh ... " jawabku lagi, singkat. Menurutku, ini adalah bahasan yang tak penting. Jadi malas untuk bicara panjang lebar. Apalagi dalam kondisi perut minta diisi.
"Hmmm, emang dasar nggak tau diri banget kamu! Pantas aja batal. Permintaanmu nggak masuk akal!" gerutunya, memukul lenganku.
Belum tau aja dia, kalau yang lebih nggak masuk akal itu, adalah tetangganya.
Es teh di gelas sudah tandas kuminum, lontong sayur juga sudah habis dan hanya menyisakan piring bersih berkilau. Ini saatnya membuka suara agar Sinta tak salah paham seperti yang lainnya. Kalau aku diam aja, nanti semua orang berpikir buruk tentangku. Walaupun aku bukan orang yang baik, setidaknya orang lain tidak memandang buruk tentang diriku ini.
"Semua itu tak seperti yang kau bayangkan, Sinta!" ucapku, mengusap mulut pakai tisu.
"Maksudmu?"
Aku menarik napas dalam. Ngomong sama Sinta, harus secara jelas. Biar dia ngerti. Karena kadang, ot*knya suka eror.
"Kamu bayangkan aja. Siapa wanita yang mau diperistri oleh lelaki yang maunya menang sendiri? Masa setelah menikah, aku nggak boleh kasih uang gajiku sedikit pada ibu. Belum lagi, aku harus tetap bekerja demi membantu keuangannya, dengan alasan agar cepat punya rumah. Sementara dia, boleh saja memberi ibunya uang karena surganya ada di telapak kaki ibunya, dan dia harus patuh karena sudah dilahirkan dan dibesarkan. Terus juga dia bilang kalau istri harus patuh sama suaminya karena ibarat kata sudah 'Dibeli'. Ya udah, kalau menurutnya dibeli, ya aku kasih harga yang sesuai dong," ucapku menjelaskan semuanya panjang lebar.
"Oh, begitu ceritanya. Gayanya aja selangit. Tapi punya istri mau dijadikan babu. Enak banget dia! Kalau aku jadi kamu, udah langsung tak hih, itu mulutnya."
"Itulah, makanya kuberi mahar yang nggak masuk akal. Biar batal sekalian nikahannya. Karena aku yakin mereka nggak akan sanggup. Dan ternyata benar. Mereka nggak sanggup. Kamu tau, apa yang terjadi habis aku katakan jumlah maharnya?"
Sinta menggeleng.
"Mereka mengataiku. Ibunya ngatain aku nggak tau diri, rumah mau roboh dan lain sebagainya. Anaknya ngatain lebih bagus nikahin Ayu ting-ting ketimbang diriku yang pasti lebih dari Ayu ting-ting ini," ucapku percaya diri.
Iya, lebih hancur maksudnya. Bukan lebih cantik, ya! Kalau cantiknya, sudah pasti aku kalah. Perawatan ratusan juta dengan ratusan rupiah.
"Halah, gayanya aja selangit. Sok mau ngelamar artis. Diminta iuran masjid aja mencak-mencak, kayak manusia paling terzolimi di muka bumi!" sungut Sinta.
"Itulah tetanggamu!"
"Sebenernya, keluarganya itu, memang terkenal sombong. Apalagi karena Si Jali PNS. Behhh ... Makin menjadi sombongnya. Udah berasa paling kaya di kampung, pokonya. Kamu tau? Gelang yang dipakai ibunya, dari lengan sampe pergelangan tangan. Belum lagi kalungnya gede-gede kayak rantai kapal, cincin dari jempol sampe kelingking, tiap hari selalu pamer. Kemana-mana udah kayak toko emas berjalan. Tapi pelitnya, na'uzubillahiminzalik! Ada orang kesusahan, bukannya ditolongin, ehh malah direndahin. Untung nggak jadi mertuamu!"
"Udah tau gitu, nggak kamu larang pula aku tunangan sama dia! Seharusnya, sebagai teman yang baik, dari awal mencegah temannya terjerumus ke dalam lubang kegelapan!" ucapku sewot.
Kalau dari awal tahu semua tentang keluarganya, pasti pertunangan itu nggak akan terjadi. Ibarat nasi, udah menjadi lontong, nggak akan pernah kembali jadi nasi lagi.
"Ya, mau gimana. Aku melihat di matamu penuh cinta. Makanya, diri ini hanya bisa tutup mata rapat-rapat,"
"Halah! Bilang aja kamu mau menjerumuskanku ke dalam jurang yang berisi harimau sekandang kan?"
"Tidak seperti itu, Roma!"
"Ah, sudahlah, Hani!" ucapku menirukan serial drama jadul.
"Mmmmm, kalau kukenalkan sama yang lain, mau nggak?" tanya Sinta, menaik turunkan alisnya.
"Ah, nanti sama aja dengan Bang Jali."
"Enggak, ini beda. Dia udah lama nanyain kamu terus. Dari nama, tempat tinggal, usia, sampe nomor be-ha!"
"Idungmu! Terus kamu kasih tahu nomor be-haku?"
"Enggaklah, kan aku nggak pernah ngintip kamu mandi! Jadi nggak tau ukurannya."
'Plak!'
Kutampar pahanya, agar dia tersadar dari kerasukan jin dari timur tengah.
"Aduh! Sakit, gi-la!" makinya sambil terus mengusap pahanya.
"Ini serius loh, ada yang mau kenalan sama kamu. Tapi, ya cuma petani. Bukan PNS kayak mantanmu."
"Aku nggak pernah masalah, mau petani, pelaut, pemulung, atau pe yang lainnya. Yang penting, sayang sama aku, dan ibu. Tidak pilih kasih antara orang tua dan mertua."
"Ya, kalau masalah sayang sama mertua atau enggak, aku nggak tau. Kan dia belum pernah nikah sama aku. Kalau dia mantan suamiku barulah aku tau mendetail tentangnya!" ucapnya sok polos.
"Hiihh, memang pikiranmu itu, sesempit lubang hidung! Maksud aku itu, nggak masalah kenalan dengan siapapun gitu. Bukan harus tau mendetail tentangnya juga, SINTA, yang tak punya RAMA!"
"Eh, tapi aku tau kok ukuran semvaknya. L kalau nggak salah!"
"Memang perlu dikasih kaporit, ot-akmu itu! Biar putih bersih, seperti bayi baru lahir!"
"Heheh. Beneran loh, Ran. Kemarin, pas aku lewat di bawah jemurannya, ada semvak laki-laki di sana. Makanya-"
"Makanya kamu kena sawan!" potongku cepat. Bisa makin edyan kalau ngomong sama Sinta. Jarang banget dia warasnya. Sering kumatnya.
Daripada ketularan sawan, lebih bagus kutinggalkan aja dia sendiri di kantin.
"Rani, tungguin! Aku belum siap makan nih!" teriaknya saat kakiku sudah menjauh darinya.
"Aku ogah nungguin kamu! Yang ada makin sarap!" teriakku meninggalkannya.
Sudah jam lima sore, para pekerja pabrik Mabel, mulai membubarkan diri. Termasuk aku. "Memang kamu tega, Ran! Masa aku lagi makan, main tinggal aja!" gerutu Sinta saat kami bertemu di jalan menuju parkiran. "Habis, kalau deket kamu, kewarasanku ikut menghilang! Pengennya itu, ngania-ya orang aja!" sahutku terus melangkahkan kaki cepat. "Ck! Kayak baru kenal aku aja kamu ini!" "Karena udah kenal lama, makanya aku was-was kalau udah dekat kamu. Takut ketularan!" "Hissh! Emang kamu pikir, aku virus apa? Eh, ngomong-ngomong, aku nebeng ya! sepeda motorku tadi pagi mogok. Jadi, nggak bisa dibawa. Perginya aja tadi aku diantar sama bapak, naik sepeda ontel," rayunya sambil mengedipkan mata. "Iya, ya udah ayo!" Aku menaiki sepeda motor dan diikuti olehnya yang duduk di jog belakang. "Tapi, antar sampe rumah ya. Jangan diturunin di jalan." "Iya! Gampang. Jangan lupa uang bensinnya!" selorohku, sambil melajukan sepeda motor. Hanya dia harta satu-satunya yang kupunya. Motor butut hasi
Saat sudah berada di persimpangan jalan. Entah dari mana datangnya. Mantan calon ibu mertua sudah berdiri seperti tugu selamat datang di situ. Mau tak mau, aku harus tetap melewatinya karena tak ada jalan lain. Mau terbang, nggak mungkin. Sayap pesawat mahal. Mana dandannya sangat cetar lagi. Sama persis seperti yang dibilang Sinta. Kayak toko emas berjalan. Kepalanya memang ditutupi hijab. Tapi hijab tersebut ia ikat ke leher sampai mencekik. Mungkin tujuannya agar semua orang tau kalau dia memakai emas sebesar rantai kapal. Bukannya iri. Tapi itu kelihatan norak. Banyak, kok orang yang lebih kaya, tapi pakai perhiasan tidak terlalu mencolok seperti itu. "Gimana, udah dapat lelaki yang mau kasih mahar lima Milyar belum?" tanyanya sewot. Ternyata Ibu Bang Jali, pendendam juga. Untung di sini hanya ada tiga orang. Jadi, tidak terlalu malu saat jadi pusat perhatian. Dengan sangat terpaksa kuda besiku ini kuhentikan. Kalau nggak dijawab, nanti katanya nggak sopan. Diajak ngomong oran
Sudah dua minggu, semenjak kejadian aku gagal menikah karena mahar. Para tetangga sudah sedikit meredup mulutnya menceritakan tentangku. Suasana desa hampir sembuh dari virus mahar Lima Milyar.Terkadang, memang ada yang masih membahasnya. Tapi hanya beberapa orang saja. Itu pun, mereka yang tak menyukaiku. Seperti Bu Samini, Bi Atun, dan Bi Badriah.Kalau Bu Samini tidak menyukaiku, karena dulu pernah ada lelaki yang dikejar oleh anaknya. Tapi lelaki itu malah, balik mengejarku. Meskipun Si Putri anak Bu Samini adalah calon bidan. Lelaki itu tetap tak menyukainya. Alasannya karena ia pernah melihat si Putri, kayak perangko. Nempel sana, nempel sini.Sedangkan Bi Atun, dia tidak menyukaiku karena cemburu pada ibu saat masih muda dulu. Ibu yang pada masanya menjadi kembang desa, membuat Bi Atun merasa marah karena tak pernah dilirik oleh pria. Setiap ada lelaki yang mendekati Bi Atun, ternyata tujuannya hanya demi bisa mengenal. ibu. Karena rumah mereka berdekatan, jadi Bi Atun selalu
Pov Bang Jali.Gara-gara mahar lima milyar, yang diajukan oleh Rani, aku jadi gagal menikah. Bukan hanya gagal saja. Tapi malunya luar biasa.Setiap ada yang bertanya, kapan pernikahannya digelar, maka aku akan mengatakannya gagal. Mereka semua yang mendengar hanya tertawa. Tak ada yang simpati satu orang pun padaku. Aku sangat dendam pada Rani. Pokoknya, harus bisa mencari pengganti yang lebih dari dia. Emang dia pikir, dia siapa. Menolak secara halus Jali Si guru PNS, yang sudah terjamin masa depannya. Hanya buruh pabrik aja sombongnya luar biasa.Apa susahnya, sih menuruti apa kata suami jika sudah menikah nanti? Kan dia juga yang bakal untung karena nantinya akan masuk surga.Sekarang ini, banyak sekali wanita durhaka pada suaminya. Selalu aja membangkang dengan yang diperintahkan oleh suami."Memangnya, apa alasan Rani minta mahar sebesar itu?" tanya Pak Tanto, guru olahraga. Hari ini, jam istirahat sekolah. Dan kami sedang duduk santai di dalam kantor.Guru satu ini, juga sudah
Acara lamaran Putri pun tiba. Aku sudah dandan secetar mungkin. Biar nggak dikatain pucat karena menghadiri lamaran mantan. Maklum, di sana isinya banyak orang-orang julid. Jadi harus bisa terlihat wah. Biar mereka nggak bisa menghina. "Ayo kita berangkat, Ti," ajakku, pada Murti yang juga sudah siap. Semua gadis di desa ini diundang oleh Putri dan Bu Samini. Alasannya agar ada yang mendampingi Putri. Padahal kami tau, jika tujuan mereka hanya untuk pamer mantu."Walah, cantik banget toh, Ran! Nanti Bang PNS, malah gagal move on, dan pokusnya sama kamu lagi! Nggak fokus sama calonnya," goda Murti yang juga udah berdandan kayak bintang pantura."Ck! Biar mereka semua tau. Kalau aku itu, udah move on. Nanti kalau pucet, apa kata dunia? Udah yukk, jalan. Keburu ketinggalan."***Aku dan Murti duduk berdampingan dengan calon pengantin wanita. Ini semua adalah ide Bi Atun. Katanya, biar semakin tegar menghadapi kenyataan. Begini kalau ada manusia julid. Maunya menyiksa. Padahal aku biasa
"Makanya, udah tua jangan ngeyel. Itu lah suka mengambil hak orang. Jadi kena batunya kan! Pilih-pilih, akhirnya kepilih!" celetuk Murti masih tertawa.Semua orang yang melihat kami juga tertawa. Apalagi saat melihat, gigi ompong ibu Bang Jali."Kamu itu, ada orang tua kena musibah malah diketawain. Kuwalat, baru tahu rasa!" omel Ibu Bang Jali sambil memakai gigi palsunya kembali.Padahal, Putri juga ikut menertawakannya. Tapi hanya Murti yang kena tegur, karena psti dia tak menyukai kami."Makanya, Bu. Udah tua itu tobat! Jangan maunya menang sendiri. Ini loh, bukti kalau sampean langsung ditegur Tuhan karena udah semena-mena sama yang lebih muda. Nggak anak muda aja yang bisa kuwalat, wong tuo juga bisa," ucap Murti mengingatkan. Namanya juga orang tua, pasti nggak pernah mau mengalah dan merasa salah. Ya, orang tua selalu benar dan anak muda selalu salah. itu lah yang selalu terjadi."Nggak usah ceramah, anak kecil! Ini semua gara-gara kamu yang mau ngerjain aku, kan!" tuduhnya.U
"Kenapa sepeda motornya didorong, Nak? Itu, rok juga kenapa dicincing? Apa kebanjiran tadi di jalan?" tanya ibu yang sedang menungguku di teras.Murti udah pulang ke rumahnya, karena tadi dia ngompol di celana, saking takutnya."Tadi mati, pas di bambuan, Bu. Banjir dari mana. Nggak ada hujan nggak ada angin kok bisa banjir." jawabku megap-megap mengatur napas.Kalau aja tadi nggak jumpa hantu, mungkin setengah jam kami baru sampai rumah karena motor mogok ini. Karena hantu itu, secepat kilat, tiga menit kami langsung sampai."Siapa tau hujan dan banjir lokal, Nduk.""Masih satu kampung loh, Bu. Gimana ceritanya banjir lokal?""Ya, siapa tau kan, keajaiban Tuhan. Terus, kok bisa mati motormu itu? Apa nggak kamu kasih perawatan selama ini?" tanya ibu, melihat motor tak menyala."Dikasih kok, Bu. Kemarin aja baru kubelikan skincare biar glowing," jawabku langsung luruh ke tanah. Sekalian ngembali'in napas yang hampir hilang."Hm, pantes aja. Aturnya, kamu belikan skincare untuk ibu juga
"Abang lapar?" tanya Sinta, melihat tangan lelaki itu terus bergetar. "Eng-enggak, kok!" jawabnya terbatah. Tak. Tak. Tak. Tak.Getaran di tangan Bang Juna semakin parah. Teh yang berada di tangannya sampai tumpah-tumpah."Ah, kayaknya Nak Juna lapar. Mungkin dia belum makan. Kasihan sampai gemetaran begitu. Ayo, Nak. Kita makan dulu. Jangan sampai pingsan. Di sini nggak ada yang sanggup gendong kamu!"-Bukan cuma gemetaran aja. Bang Juna juga mengeluarkan keringat sebesar biji jagung. Ah jangan-jangan dia bukan lapar. Tapi lagi nahan kentut. "Sa-saya, sudah makan tadi, Bu," ucapnya masih terbata."Oh, mungkin Bang Juna ini herpes! Karena pertama kali jumpa sama kamu Ran, dan juga Ibu," celetuk Sinta. "Kok herpes?" tanyaku, memandangnya dengan penasaran."Iya. Itu loh. Kalau orang yang mau nampil ke panggung. Kadang tangannya dingin, kakinya dingin, kebelet pipis lah, eek lah," jawabnya, menjelaskan."Itu nervous, Sinta!" ucapku geram. Bisa-bisanya dia bilang herpes.Herpes itu k