Salah sangka
"Memang, cocok kali Bang PNS itu dengan Si Putri. Mereka pasti seperti pasangan Romeo dan Juliet. Hanya ajal yang bisa memisahkannya."
Mendengar ucapanku, semuanya terkaget-kaget. Bu Samini, tersedak kacang panjangnya. Bi Atun langsung berdiri seperti melihat hantu. Dan Bi Badriah terjungkal karena bangku yang ia duduki ditinggal pemiliknya berdiri. Kebetulan, bangku memanjang itu, seperti jungkit-jungkit. Jika salah satunya berdiri, maka yang satu lagi akan langsung nyungsep.
Aku hanya bisa nyengir melihat mereka yang terkejut seperti melihat hantu.
"Ka-kamu! Sejak kapan di situ?" tanya Bu Samini tergagap
"Sudah dari tadi, Bu. Ayo, lanjutkan gosipnya. Aku kan juga pengen nggosip. Biar pun masih muda, jiwa tuaku meronta, saat ada yang bergosip. Pengen ikut nimbrung gitu," jawabku, terus memperhatikan mereka dengan serius.
Sengaja ingin membuat mereka jantungan. Biar mereka kapok, dan tak lagi menceritakan orang lain di belakangnya. Ya, meskipun itu mustahil. Sudah pasti, kalau ada orang di hadapannya, mereka akan membicarakan yang baik.
"Gosip apa?" tanya Bi Badriah lupa ingatan. Ia sudah berdiri, meskipun pinggangnya encok akibat terjatuh.
"Ya, gosip yang kalian bicarakan tadi."
"Mbak Juni, total belanjaanku berapa?" tanya Bi Atun pada pemilik warung Ia mencoba melarikan diri.
Seperti pencuri yang ketahuan warga, para ibu-ibunya julid tersebut menjadi salah tingkah dan mencoba lari dari kenyataan.
"Mau kemana, Bi Atun? Belum siap ini loh gosipnya. Ini loh, wong seng ora ayu tapi kemayu, sudah ada di depan mata. Yuk, kita ngerumpi bersama."
"Heheh, Bibi lagi sibuk, Ran! Mau masak untuk bekal Lek Tuhi ke ladang. Pamit dulu ya!"
Bi Badriah dan Bu Samini, juga mengikuti langkah seribu Bi Atun. Tanpa permisi, mereka lari terbirit-birit. Emang kalian pikir, aku Jin Iprit!
"Kasihan kamu, Ran! Jadi bahan gosipan satu kampung, gara-gara mahar."
"Ya, biarkan saja Bude. Mereka kan nggak tahu alasan sebenarnya kenapa aku minta mahar segede itu."
"Lah, opo toh alasannya?" tanya Bude Juni kepo.
"Panjang kalau diceritakan, Bude. Biarlah hanya waktu yang dapat menjawabnya."
"Hmmm. Senengane kok nggawe penasaran toh, Ran! (Senangnya kok bikin penasaran toh, Ran!). Jadi, kalian resmi batal nikah?"
"Iya, Bude. Mungkin memang belum jodoh. Aku ra popo."
"Mudah-mudahan lah, Ran. Jodohmu nggak akan susah. Karena biasanya, kalau sekali gagal tunangan, pasti susah dapat jodoh. Tu kayak Mas Paino, dulu waktu mudanya banyak yang antre. Tapi cuma satu wanita yang berhasil mendapatkan hatinya, Yaitu Sulastri. Pas udah tunangan, Mas Paino tertarik lagi dengan wanita lain bernama Asri, terus dia memutuskan pertunangnnya. Si Sulastri sakit hati, terus pergi dari kampung ini. Akhirnya, Mas Paino dan Asri juga nggak jadi menikah gara-gara Asri ketahuan selingkuh dengan lelaki lain. Akhirnya, sampai saat ini Mas Paino tidak mendapatkan jodoh. Padahal usianya sudah 50tahun."
"Itu berarti, Pak Paino kuwalat sama Bu Sulastri. Makanya nggak dapat jodoh. Kalau aku, kan beda ceritanya Bude."
"Tapi sama aja, Ran. Sama-sama gagal!"
"Percaya sama yang maha Kuasa aja lah, Bude."
"Sak karepmu lah! Yang penting Bude udah ingatkan."
"Nggeh, Bude."
Hari gini, mitos kok dipercaya. Biar sajalah, mereka dengan kepercayaannya dan aku dengan kepercayaanku.
"Berapa semuanya, Bude?" tanyaku pada semua belanjaan yang sudah kukumpulkan.
"30 ribu." Aku menyerahkan uang pas, lalu berjalan kembali pulang.
Saat berpapasan dengan para tetangga, pandangan mereka jadi agak aneh padaku. Apa karena gosip mahar 5 Milyar sudah menyebar luas di kampung ini?
Padahal baru tadi malam kejadiannya, tapi sudah secepat kilat menyambar, telinga para warga.
Ah, masa bodoh. Ternyata benar yang dikatakan ibu. Jika, orang zaman sekarang, hanya percaya dengan yang mereka dengar tanpa mencari tahu kebenarannya.
Tapi aku tak peduli. Toh dari zaman penjajahan Belanda hingga saat ini, para bujangan di kampungku tak ada yang tertarik padaku. Karena menurut mereka, aku adalah gadis miskin. Mereka tak tahu aja, biar miskin begini, keluargaku tak punya uang. Eh, maksudnya Hutang!
Lirikan-lirikan mata manusia julid terus saja mengikutiku hingga sampai di depan rumah. Bahkan ada yang terang-terangan berbisik saat aku melewatinya.
"Assalamu'alaikum, Bu! Ini, sayurnya." teriakku begitu sampai ruang tamu. Tapi ibu tak kutemukan di seluruh penjuru ruangan. Hingga ...
'Bugh!'
"Rasakan ini! punya mulut itu, harus dijaga. Jangan sampai kujadikan bibir geprek!" teriak ibu dari luar dapur.
Apa yang sedang terjadi? Aku harus segera berlari. Pasti Ibu sedang bertengkar dengan tetangga, jambak-jambakan, tendang-tendangan, karena tak terima putrinya yang paling cantik ini diolok-olok mereka.
"Ibu! Sudah, jangan bertengkar lagi. Aku tidak apa dan sudah terbiasa diolok-olok mereka!" teriakku, ngos-ngosan karena berusaha secepat kilat berlari menemuinya. Dan ternyata, apa yang ibu lakukan sungguh di luar dugaan.
Wanita renta yang kukira lemah, ternyata sedang memegangi kepala Kambing. Ia berusaha melakban mulut kambing tersebut dengan kesusahan. Suara hentakan kaki kambing meronta, membuat gaduh, seperti orang yang sedang bertengkar.
"Kamu kenapa, Nduk?" tanya ibu polos. Tangannya masih memegangi kambing tersebut. Sementara wajahnya seperti orang kebingungan.
"Nduk! Kenapa kamu teriak-teriak?" tanyanya lagi karena tak mendapatkan jawaban dariku.
Duh, Ibu. Ada aja tingkah lakunya. Pake kambing dilakban segala mulutnya.
Sudah berprasangka buruk terhadap tetangga. Ternyata ibu, melakukan hal yang tak terduga.
"Hish, ini sayurannya udah Rani, beli. Kok malah main peluk-pelukan sama kambing sih!" ucapku kesal meninggalkan ibu yang masih memegangi kambingnya.
"Embeekkkk ... "
Tak lama ibu masuk dan duduk di hadapanku.
"Kenapa kambingnya ibu lakban mulutnya?" tanyaku masih kesal dengan ulahnya.
Ada-ada saja. Masa kambing sampai dilakban. Kalau nggak bisa makan gimana? Kan kasihan. Bukannya moto kambing adalah Hidup untuk makan? Makanya jarang sekali aku melihat mulut kambing tidak mengunyah. Kecuali tidur.
"Iya, habis ibu emosi. Entah kambing siapa pagi-pagi di lepas liarkan. Kut-ang ibu yang baru aja selesai dibilas, dan ditinggal sebentar, langsung digondol dan dikunyah. Karena nggak bisa ditelen, eh langsung ditinggalkan begitu aja. Mana udah bolong-bolong kena giginya lagi! Makanya dia harus tanggung jawab!"
Aku hanya bisa menepuk jidat. Jangan ditiru kelakukan ibuku, saudara-saudara!
"Heh, Rani! Kamu beneran batal nikah sama Bang Jali?" tanya Sinta, tetangga Bang Jali sekaligus teman satu kerjaan denganku. Dari main ke rumahnya, juga lah yang membuatku mengenal lelaki itu. Kami sedang makan siang di kantin. Kebetulan sudah jam istirahat. Tadi pagi, sebelum masuk kerja, kami tidak bertemu. Jadi mungkin Sinta memendam pertanyaannya ini. Dan begitu ada kesempatan, dia langsung bertanya. "He'eh ... " jawabku mengangguk sambil melahap lontong sayur. Perut udah keroncongan, kalau nggak cepat diisi, bisa demo cacingnya. "Denger-denger, kamu minta mahar 10M ya?" tanyanya lagi semakin serius. Sampai lupa untuk makan. Padahal makanan yang dipesannya sudah ada di depan mata.u "He'eh ... " jawabku lagi, singkat. Menurutku, ini adalah bahasan yang tak penting. Jadi malas untuk bicara panjang lebar. Apalagi dalam kondisi perut minta diisi. "Hmmm, emang dasar nggak tau diri banget kamu! Pantas aja batal. Permintaanmu nggak masuk akal!" gerutunya, memukul lenganku. Belum t
Sudah jam lima sore, para pekerja pabrik Mabel, mulai membubarkan diri. Termasuk aku. "Memang kamu tega, Ran! Masa aku lagi makan, main tinggal aja!" gerutu Sinta saat kami bertemu di jalan menuju parkiran. "Habis, kalau deket kamu, kewarasanku ikut menghilang! Pengennya itu, ngania-ya orang aja!" sahutku terus melangkahkan kaki cepat. "Ck! Kayak baru kenal aku aja kamu ini!" "Karena udah kenal lama, makanya aku was-was kalau udah dekat kamu. Takut ketularan!" "Hissh! Emang kamu pikir, aku virus apa? Eh, ngomong-ngomong, aku nebeng ya! sepeda motorku tadi pagi mogok. Jadi, nggak bisa dibawa. Perginya aja tadi aku diantar sama bapak, naik sepeda ontel," rayunya sambil mengedipkan mata. "Iya, ya udah ayo!" Aku menaiki sepeda motor dan diikuti olehnya yang duduk di jog belakang. "Tapi, antar sampe rumah ya. Jangan diturunin di jalan." "Iya! Gampang. Jangan lupa uang bensinnya!" selorohku, sambil melajukan sepeda motor. Hanya dia harta satu-satunya yang kupunya. Motor butut hasi
Saat sudah berada di persimpangan jalan. Entah dari mana datangnya. Mantan calon ibu mertua sudah berdiri seperti tugu selamat datang di situ. Mau tak mau, aku harus tetap melewatinya karena tak ada jalan lain. Mau terbang, nggak mungkin. Sayap pesawat mahal. Mana dandannya sangat cetar lagi. Sama persis seperti yang dibilang Sinta. Kayak toko emas berjalan. Kepalanya memang ditutupi hijab. Tapi hijab tersebut ia ikat ke leher sampai mencekik. Mungkin tujuannya agar semua orang tau kalau dia memakai emas sebesar rantai kapal. Bukannya iri. Tapi itu kelihatan norak. Banyak, kok orang yang lebih kaya, tapi pakai perhiasan tidak terlalu mencolok seperti itu. "Gimana, udah dapat lelaki yang mau kasih mahar lima Milyar belum?" tanyanya sewot. Ternyata Ibu Bang Jali, pendendam juga. Untung di sini hanya ada tiga orang. Jadi, tidak terlalu malu saat jadi pusat perhatian. Dengan sangat terpaksa kuda besiku ini kuhentikan. Kalau nggak dijawab, nanti katanya nggak sopan. Diajak ngomong oran
Sudah dua minggu, semenjak kejadian aku gagal menikah karena mahar. Para tetangga sudah sedikit meredup mulutnya menceritakan tentangku. Suasana desa hampir sembuh dari virus mahar Lima Milyar.Terkadang, memang ada yang masih membahasnya. Tapi hanya beberapa orang saja. Itu pun, mereka yang tak menyukaiku. Seperti Bu Samini, Bi Atun, dan Bi Badriah.Kalau Bu Samini tidak menyukaiku, karena dulu pernah ada lelaki yang dikejar oleh anaknya. Tapi lelaki itu malah, balik mengejarku. Meskipun Si Putri anak Bu Samini adalah calon bidan. Lelaki itu tetap tak menyukainya. Alasannya karena ia pernah melihat si Putri, kayak perangko. Nempel sana, nempel sini.Sedangkan Bi Atun, dia tidak menyukaiku karena cemburu pada ibu saat masih muda dulu. Ibu yang pada masanya menjadi kembang desa, membuat Bi Atun merasa marah karena tak pernah dilirik oleh pria. Setiap ada lelaki yang mendekati Bi Atun, ternyata tujuannya hanya demi bisa mengenal. ibu. Karena rumah mereka berdekatan, jadi Bi Atun selalu
Pov Bang Jali.Gara-gara mahar lima milyar, yang diajukan oleh Rani, aku jadi gagal menikah. Bukan hanya gagal saja. Tapi malunya luar biasa.Setiap ada yang bertanya, kapan pernikahannya digelar, maka aku akan mengatakannya gagal. Mereka semua yang mendengar hanya tertawa. Tak ada yang simpati satu orang pun padaku. Aku sangat dendam pada Rani. Pokoknya, harus bisa mencari pengganti yang lebih dari dia. Emang dia pikir, dia siapa. Menolak secara halus Jali Si guru PNS, yang sudah terjamin masa depannya. Hanya buruh pabrik aja sombongnya luar biasa.Apa susahnya, sih menuruti apa kata suami jika sudah menikah nanti? Kan dia juga yang bakal untung karena nantinya akan masuk surga.Sekarang ini, banyak sekali wanita durhaka pada suaminya. Selalu aja membangkang dengan yang diperintahkan oleh suami."Memangnya, apa alasan Rani minta mahar sebesar itu?" tanya Pak Tanto, guru olahraga. Hari ini, jam istirahat sekolah. Dan kami sedang duduk santai di dalam kantor.Guru satu ini, juga sudah
Acara lamaran Putri pun tiba. Aku sudah dandan secetar mungkin. Biar nggak dikatain pucat karena menghadiri lamaran mantan. Maklum, di sana isinya banyak orang-orang julid. Jadi harus bisa terlihat wah. Biar mereka nggak bisa menghina. "Ayo kita berangkat, Ti," ajakku, pada Murti yang juga sudah siap. Semua gadis di desa ini diundang oleh Putri dan Bu Samini. Alasannya agar ada yang mendampingi Putri. Padahal kami tau, jika tujuan mereka hanya untuk pamer mantu."Walah, cantik banget toh, Ran! Nanti Bang PNS, malah gagal move on, dan pokusnya sama kamu lagi! Nggak fokus sama calonnya," goda Murti yang juga udah berdandan kayak bintang pantura."Ck! Biar mereka semua tau. Kalau aku itu, udah move on. Nanti kalau pucet, apa kata dunia? Udah yukk, jalan. Keburu ketinggalan."***Aku dan Murti duduk berdampingan dengan calon pengantin wanita. Ini semua adalah ide Bi Atun. Katanya, biar semakin tegar menghadapi kenyataan. Begini kalau ada manusia julid. Maunya menyiksa. Padahal aku biasa
"Makanya, udah tua jangan ngeyel. Itu lah suka mengambil hak orang. Jadi kena batunya kan! Pilih-pilih, akhirnya kepilih!" celetuk Murti masih tertawa.Semua orang yang melihat kami juga tertawa. Apalagi saat melihat, gigi ompong ibu Bang Jali."Kamu itu, ada orang tua kena musibah malah diketawain. Kuwalat, baru tahu rasa!" omel Ibu Bang Jali sambil memakai gigi palsunya kembali.Padahal, Putri juga ikut menertawakannya. Tapi hanya Murti yang kena tegur, karena psti dia tak menyukai kami."Makanya, Bu. Udah tua itu tobat! Jangan maunya menang sendiri. Ini loh, bukti kalau sampean langsung ditegur Tuhan karena udah semena-mena sama yang lebih muda. Nggak anak muda aja yang bisa kuwalat, wong tuo juga bisa," ucap Murti mengingatkan. Namanya juga orang tua, pasti nggak pernah mau mengalah dan merasa salah. Ya, orang tua selalu benar dan anak muda selalu salah. itu lah yang selalu terjadi."Nggak usah ceramah, anak kecil! Ini semua gara-gara kamu yang mau ngerjain aku, kan!" tuduhnya.U
"Kenapa sepeda motornya didorong, Nak? Itu, rok juga kenapa dicincing? Apa kebanjiran tadi di jalan?" tanya ibu yang sedang menungguku di teras.Murti udah pulang ke rumahnya, karena tadi dia ngompol di celana, saking takutnya."Tadi mati, pas di bambuan, Bu. Banjir dari mana. Nggak ada hujan nggak ada angin kok bisa banjir." jawabku megap-megap mengatur napas.Kalau aja tadi nggak jumpa hantu, mungkin setengah jam kami baru sampai rumah karena motor mogok ini. Karena hantu itu, secepat kilat, tiga menit kami langsung sampai."Siapa tau hujan dan banjir lokal, Nduk.""Masih satu kampung loh, Bu. Gimana ceritanya banjir lokal?""Ya, siapa tau kan, keajaiban Tuhan. Terus, kok bisa mati motormu itu? Apa nggak kamu kasih perawatan selama ini?" tanya ibu, melihat motor tak menyala."Dikasih kok, Bu. Kemarin aja baru kubelikan skincare biar glowing," jawabku langsung luruh ke tanah. Sekalian ngembali'in napas yang hampir hilang."Hm, pantes aja. Aturnya, kamu belikan skincare untuk ibu juga