Sudah jam lima sore, para pekerja pabrik Mabel, mulai membubarkan diri. Termasuk aku.
"Memang kamu tega, Ran! Masa aku lagi makan, main tinggal aja!" gerutu Sinta saat kami bertemu di jalan menuju parkiran.
"Habis, kalau deket kamu, kewarasanku ikut menghilang! Pengennya itu, ngania-ya orang aja!" sahutku terus melangkahkan kaki cepat.
"Ck! Kayak baru kenal aku aja kamu ini!"
"Karena udah kenal lama, makanya aku was-was kalau udah dekat kamu. Takut ketularan!"
"Hissh! Emang kamu pikir, aku virus apa? Eh, ngomong-ngomong, aku nebeng ya! sepeda motorku tadi pagi mogok. Jadi, nggak bisa dibawa. Perginya aja tadi aku diantar sama bapak, naik sepeda ontel," rayunya sambil mengedipkan mata.
"Iya, ya udah ayo!" Aku menaiki sepeda motor dan diikuti olehnya yang duduk di jog belakang.
"Tapi, antar sampe rumah ya. Jangan diturunin di jalan."
"Iya! Gampang. Jangan lupa uang bensinnya!" selorohku, sambil melajukan sepeda motor.
Hanya dia harta satu-satunya yang kupunya. Motor butut hasil kerja keras selama ini. Dibeli secara cash, walaupun second. Daripada baru tapi kredit, aku lebih memilih cash, walaupun bekas. Alasannya karena malas mikirkan hutang. Kalau dikalikan, juga ruginya banyak. Udah kaya, makin kaya lah dealer motor di Indonesia ini. Sementara aku, semakin melarat mikirin kreditan.
"Perhitungan banget sih jadi orang! padahal, kan searah."
"Iya, arah kampungmu ke kiri, kampungku ke kanan!" gerutuku.
"Ya nggak apa lah! Hitung-hitung cari pahala. Sekalian nanti, aku kasih tau lelaki yang naksir sama kamu!"
"Ck! Itu lagi bahasanmu!"
"Siapa tau jodoh. Orangnya baik, kok. Pekerja keras juga."
"Kenapa nggak sama kamu aja!"
"Ck! Aku sih mau aja. Tapi dianya yang nggak mau sama aku. Bayangin aja, kalau ketemu di jalan, yang ditanyain kamu terus, sampe bosen dengernya. Gimana ada celah untuk kutikung hatinya coba?"
"Itu semua, karena dia cuma penasaran sama aku. Nanti kalau udah deket, pasti dia bosen dan cari yang baru."
"Makanya jangan lama-lama kenalan, langsung nikah!"
Enak aja dia kalau ngomong. Nggak tau kalau aku masih trauma dengan Bang Jali. Baru kenal dua minggu udah mau diajak tunangan. Ujung-ujungnya putus di tengah jalan.
"Kamu pikir, menikah segampang itu? Baru kenal langsung ngajak nikah. Kan belum tahu sifatnya. Kalau sama dengan yang udah-udah gimana?"
"Oalah, Ran! Yang namanya sifat asli, semua orang nggak akan pernah tau. Meskipun udah bertahun-tahun pacaran. Karena setiap orang, pasti nyembunyiin sifat aslinya sampai dia menikah. Kamu lihat kan, yang pacaran bertahun-tahun tapi usia pernikahannya cuma beberapa bulan. Itu semua karena sifat aslinya baru ketahuan pas udah jadi pasangan suami istri. Pacaran lama juga nggak menjamin kamu tau sifat asli lelaki. Yang ada cuma nambah dosa aja pacaran terlalu lama. Tiap jumpa pegangan tangan. Tiap jalan berhenti di gelap-gelapan ci*uman. Pikirkan udah berapa banyak dosa yang ditumpuk. Lagian, nggak ada manusia sempurna di muka bumi ini. Setiap kelebihan, pasti ada kekurangan. Termasuk diri kita sendiri. Nih, ya. Kalau aja ada yang mau langsung melamar aku. Pasti langsung kuterima. Asal sesuai dengan kriteria."
Bener juga yang dibilang Sinta. Meskipun ot*knya agak miring, kalau ngomong asal ceplos, tapi kadang pemikirannya ada benernya juga.
Banyak juga kok yang ta'aruf, tapi pernikahan mereka langgeng. Padahal, mereka tak saling kenal dan tau sifat masing-masing dari pasangannya. Sedangkan yang berpacaran lama, hanya beberapa bulan aja usia pernikahannya. Ya, walaupun nggak semuanya begitu.
"Kadang, ot*kmu bener juga, Sin. Aku sempet nyesel baru kenal langsung mau diajak tunangan loh. Karena kejadian ini."
"Ngapain disesali yang udah terjadi. Anggap aja itu sebagai perjalanan hidup."
"Iya, juga ya. Tapi, tetep aja. Aku kan belum ketemu dan kenalan sama orangnya. Ngapain berpikiran sejauh itu."
"Hmmm ... Orangnya ganteng, loh. Cuma agak hitam aja, terpanggang sinar matahari. Kalau dibandingkan sama Si Jali, jelas kalah telak dia gantengnya. Si PNS itu, kan cuma menang putih aja."
"Nggak usah sebut namanya lagi, bisa! Eneg aku dengarnya."
"Iya, nggak akan kusebut namanya lagi."
Lima belas menit sudah berlalu, akhirnya kami sampai di kediaman Sinta.
"Sttt! Itu orangnya, Ran!" bisik Sinta, melirik ke jalan. Aku spontan mengikuti pandangannya.
Ternyata benar, ada seorang lelaki muda yang sedang melintas sambil memperhatikan kami. Dia tersenyum saat bertemu pandang denganku Tak ingin dikatakan sombong, aku pun ikut senyum sebagai balasannya.
Ternyata memang wajahnya cukup tampan. Seperti aktor twilight, yang jadi srigalanya itu. Si Jacob, kalau nggak salah. Tapi ini versi Indonesia. Jadi, nggak terlalu berotot.
Lelaki itu, terus saja melihat ke arahku, tanpa memperhatikan jalannya.
"Eh, Bang Juna! Awas, di depan ada parit!" teriak Sinta pada lelaki itu.
'GRASAK!'
Tak sempat menghindar, akhirnya dia nyungsruk ke parit.
"Tuh, kan! Makanya, kalau lagi jalan, yang dilihat jalannya Bang. Bukan malah jelalatan!" teriak Sinta lagi, tanpa berusaha menolongnya.
Mungkin karena malu, lelaki yang dipanggil Juna tersebut oleh Sinta, tak lagi melihat ke arah kami. Ia berusaha keluar dari parit dan pergi begitu saja.
Bukannya simpati, Sinta justru tertawa terbahak-bahak, sambil memegangi perutnya. Bahagia sekali dia melihat orang kesusahan.
"Heh, udah! Kasihan, tu orang malu, kamu ketawain."
"Habis lucu sih. Bisa-bisanya nyungsep di parit. Karena terpesona kecantikanmu!" Aku juga jadi ikut tersenyum mengingat kejadian yang barusan terjadi.
"Ehemm. Tuh, kan. Langsung kesemsem! Baru lihat orangnya, udah senyum-senyum sendiri,"
"Apaan sih. Itu tadi, karena dia duluan yang senyum. Makanya aku bales senyum. Nanti dikatain sombong pula!"
"Halah, alasan! Tapi ... Ganteng kan?"
"Lumayan," sahutku keceplosan.
"Cuiitt, cuiitt. Nggak butuh waktu lama untuk move on nih!"
"Apaan, sih! Udahlah, aku mau pulang dulu."
"Oke, makasih ya! Mau nitip salam nggak sama yang tadi? Salam tempel gitu misalnya!"
"Sak karepmu! Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam. Hati-hati di jalan. Kalau jatuh, jangan lupa bangun!" teriak Sinta saat aku sudah melajukan sepeda motor.
Saat sudah berada di persimpangan jalan. Entah dari mana datangnya. Mantan calon ibu mertua sudah berdiri seperti tugu selamat datang di situ. Mau tak mau, aku harus tetap melewatinya karena tak ada jalan lain. Mau terbang, nggak mungkin. Sayap pesawat mahal. Mana dandannya sangat cetar lagi. Sama persis seperti yang dibilang Sinta. Kayak toko emas berjalan. Kepalanya memang ditutupi hijab. Tapi hijab tersebut ia ikat ke leher sampai mencekik. Mungkin tujuannya agar semua orang tau kalau dia memakai emas sebesar rantai kapal. Bukannya iri. Tapi itu kelihatan norak. Banyak, kok orang yang lebih kaya, tapi pakai perhiasan tidak terlalu mencolok seperti itu. "Gimana, udah dapat lelaki yang mau kasih mahar lima Milyar belum?" tanyanya sewot. Ternyata Ibu Bang Jali, pendendam juga. Untung di sini hanya ada tiga orang. Jadi, tidak terlalu malu saat jadi pusat perhatian. Dengan sangat terpaksa kuda besiku ini kuhentikan. Kalau nggak dijawab, nanti katanya nggak sopan. Diajak ngomong oran
Sudah dua minggu, semenjak kejadian aku gagal menikah karena mahar. Para tetangga sudah sedikit meredup mulutnya menceritakan tentangku. Suasana desa hampir sembuh dari virus mahar Lima Milyar.Terkadang, memang ada yang masih membahasnya. Tapi hanya beberapa orang saja. Itu pun, mereka yang tak menyukaiku. Seperti Bu Samini, Bi Atun, dan Bi Badriah.Kalau Bu Samini tidak menyukaiku, karena dulu pernah ada lelaki yang dikejar oleh anaknya. Tapi lelaki itu malah, balik mengejarku. Meskipun Si Putri anak Bu Samini adalah calon bidan. Lelaki itu tetap tak menyukainya. Alasannya karena ia pernah melihat si Putri, kayak perangko. Nempel sana, nempel sini.Sedangkan Bi Atun, dia tidak menyukaiku karena cemburu pada ibu saat masih muda dulu. Ibu yang pada masanya menjadi kembang desa, membuat Bi Atun merasa marah karena tak pernah dilirik oleh pria. Setiap ada lelaki yang mendekati Bi Atun, ternyata tujuannya hanya demi bisa mengenal. ibu. Karena rumah mereka berdekatan, jadi Bi Atun selalu
Pov Bang Jali.Gara-gara mahar lima milyar, yang diajukan oleh Rani, aku jadi gagal menikah. Bukan hanya gagal saja. Tapi malunya luar biasa.Setiap ada yang bertanya, kapan pernikahannya digelar, maka aku akan mengatakannya gagal. Mereka semua yang mendengar hanya tertawa. Tak ada yang simpati satu orang pun padaku. Aku sangat dendam pada Rani. Pokoknya, harus bisa mencari pengganti yang lebih dari dia. Emang dia pikir, dia siapa. Menolak secara halus Jali Si guru PNS, yang sudah terjamin masa depannya. Hanya buruh pabrik aja sombongnya luar biasa.Apa susahnya, sih menuruti apa kata suami jika sudah menikah nanti? Kan dia juga yang bakal untung karena nantinya akan masuk surga.Sekarang ini, banyak sekali wanita durhaka pada suaminya. Selalu aja membangkang dengan yang diperintahkan oleh suami."Memangnya, apa alasan Rani minta mahar sebesar itu?" tanya Pak Tanto, guru olahraga. Hari ini, jam istirahat sekolah. Dan kami sedang duduk santai di dalam kantor.Guru satu ini, juga sudah
Acara lamaran Putri pun tiba. Aku sudah dandan secetar mungkin. Biar nggak dikatain pucat karena menghadiri lamaran mantan. Maklum, di sana isinya banyak orang-orang julid. Jadi harus bisa terlihat wah. Biar mereka nggak bisa menghina. "Ayo kita berangkat, Ti," ajakku, pada Murti yang juga sudah siap. Semua gadis di desa ini diundang oleh Putri dan Bu Samini. Alasannya agar ada yang mendampingi Putri. Padahal kami tau, jika tujuan mereka hanya untuk pamer mantu."Walah, cantik banget toh, Ran! Nanti Bang PNS, malah gagal move on, dan pokusnya sama kamu lagi! Nggak fokus sama calonnya," goda Murti yang juga udah berdandan kayak bintang pantura."Ck! Biar mereka semua tau. Kalau aku itu, udah move on. Nanti kalau pucet, apa kata dunia? Udah yukk, jalan. Keburu ketinggalan."***Aku dan Murti duduk berdampingan dengan calon pengantin wanita. Ini semua adalah ide Bi Atun. Katanya, biar semakin tegar menghadapi kenyataan. Begini kalau ada manusia julid. Maunya menyiksa. Padahal aku biasa
"Makanya, udah tua jangan ngeyel. Itu lah suka mengambil hak orang. Jadi kena batunya kan! Pilih-pilih, akhirnya kepilih!" celetuk Murti masih tertawa.Semua orang yang melihat kami juga tertawa. Apalagi saat melihat, gigi ompong ibu Bang Jali."Kamu itu, ada orang tua kena musibah malah diketawain. Kuwalat, baru tahu rasa!" omel Ibu Bang Jali sambil memakai gigi palsunya kembali.Padahal, Putri juga ikut menertawakannya. Tapi hanya Murti yang kena tegur, karena psti dia tak menyukai kami."Makanya, Bu. Udah tua itu tobat! Jangan maunya menang sendiri. Ini loh, bukti kalau sampean langsung ditegur Tuhan karena udah semena-mena sama yang lebih muda. Nggak anak muda aja yang bisa kuwalat, wong tuo juga bisa," ucap Murti mengingatkan. Namanya juga orang tua, pasti nggak pernah mau mengalah dan merasa salah. Ya, orang tua selalu benar dan anak muda selalu salah. itu lah yang selalu terjadi."Nggak usah ceramah, anak kecil! Ini semua gara-gara kamu yang mau ngerjain aku, kan!" tuduhnya.U
"Kenapa sepeda motornya didorong, Nak? Itu, rok juga kenapa dicincing? Apa kebanjiran tadi di jalan?" tanya ibu yang sedang menungguku di teras.Murti udah pulang ke rumahnya, karena tadi dia ngompol di celana, saking takutnya."Tadi mati, pas di bambuan, Bu. Banjir dari mana. Nggak ada hujan nggak ada angin kok bisa banjir." jawabku megap-megap mengatur napas.Kalau aja tadi nggak jumpa hantu, mungkin setengah jam kami baru sampai rumah karena motor mogok ini. Karena hantu itu, secepat kilat, tiga menit kami langsung sampai."Siapa tau hujan dan banjir lokal, Nduk.""Masih satu kampung loh, Bu. Gimana ceritanya banjir lokal?""Ya, siapa tau kan, keajaiban Tuhan. Terus, kok bisa mati motormu itu? Apa nggak kamu kasih perawatan selama ini?" tanya ibu, melihat motor tak menyala."Dikasih kok, Bu. Kemarin aja baru kubelikan skincare biar glowing," jawabku langsung luruh ke tanah. Sekalian ngembali'in napas yang hampir hilang."Hm, pantes aja. Aturnya, kamu belikan skincare untuk ibu juga
"Abang lapar?" tanya Sinta, melihat tangan lelaki itu terus bergetar. "Eng-enggak, kok!" jawabnya terbatah. Tak. Tak. Tak. Tak.Getaran di tangan Bang Juna semakin parah. Teh yang berada di tangannya sampai tumpah-tumpah."Ah, kayaknya Nak Juna lapar. Mungkin dia belum makan. Kasihan sampai gemetaran begitu. Ayo, Nak. Kita makan dulu. Jangan sampai pingsan. Di sini nggak ada yang sanggup gendong kamu!"-Bukan cuma gemetaran aja. Bang Juna juga mengeluarkan keringat sebesar biji jagung. Ah jangan-jangan dia bukan lapar. Tapi lagi nahan kentut. "Sa-saya, sudah makan tadi, Bu," ucapnya masih terbata."Oh, mungkin Bang Juna ini herpes! Karena pertama kali jumpa sama kamu Ran, dan juga Ibu," celetuk Sinta. "Kok herpes?" tanyaku, memandangnya dengan penasaran."Iya. Itu loh. Kalau orang yang mau nampil ke panggung. Kadang tangannya dingin, kakinya dingin, kebelet pipis lah, eek lah," jawabnya, menjelaskan."Itu nervous, Sinta!" ucapku geram. Bisa-bisanya dia bilang herpes.Herpes itu k
"Kalau sudah menikah nanti, apa Rani masih harus bekerja?""Kalau bisa, di rumah aja, Bu. Karena tugas istri hanya di rumah. Saya masih sanggup kok memenuhi kebutuhannya.""Bagus, begitulah laki-laki yang bertanggung jawab. Kalau Ibu, terserah aja sama anaknya. Mau atau tidak itu keputusannya. Kalau pun dia mau, pesan ibu hanya satu. Jangan sia-siakan dia. Jika suatu saat sudah menikah dan menemukan sesuatu yang nggak cocok di hatimu, entah itu dari sifatnya, tingkah lakunya. Pulangkan saja dia pada ibu. Jangan pernah sakiti dia dengan main tangan."-"Iya, Bu. Saya akan mencoba menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dan tak akan pernah main tangan pada istri saya nanti," jawabnya mantap.Sebelum menikah, semua laki-laki akan berjanji dengan sungguh-sungguh di depan orang tuanya. Tapi, setelah menjalani pernikahan, maka mereka akan bosan dan melupakan janjinya.Banyak sudah kejadian yang kulihat dengan mata kepala sendiri. Saat belum jadi, mereka mengejar setengah mati. Saat sudah j