"Nggak terasa ya, Bang. Dua minggulagi kita nikah." ucapku pada calon suami saat kami sedang duduk makan bakso di warung Bu Sri.
"Iya, dek. Rasanya udah dag dig dug ser, bayangin saat mengucapkan ijab qobul."
"Rencananya, kalau udah nikah, aku masih harus kerja, atau berhenti Bang?" tanyaku pada Bang Jali, untuk masa kedepannya.
"Ya, harus kerja dong. Kan biar kita bisa cepat bangun rumah sendiri. Sementara sebelum punya rumah, ya kita numpang dulu di rumah orang tuaku."
"Terus, setelah menikah apa aku masih boleh kasih uang belanja tiap bulannya untuk ibu kan? " tanyaku lagi.
Ibuku adalah seorang janda. Ayah sudah lama dipanggil sang Maha pencipta. Meskipun usia ibu tak lagi muda. Ia tetap bekerja demi bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selama ini, aku juga selalu memberinya sebagian gajiku, untuk meringankan sedikit bebannya. Tapi ya begitu, beliau sering menolak. Kadang diterima, tapi ia belikan untuk pakaianku.
"Dek, setelah menikah, seorang istri seutuhnya milik suaminya. Apapun yang dikatakan suami, istri harus menurutinya. Ingat, surganya istri ada pada suaminya. Maka istri harus berbakti sepenuhnya pada suami, bukan ibunya. Jadi, setelah menikah tak perlu lagi kamu beri uang pada ibumu. Apalagi tanpa sepengetahuanku. Dosa!"
"Iya, aku tau seorang istri harus berbakti pada suaminya. Tapi apakah tidak boleh memberi sedikit rejeki pada ibuku?"
"Kamu ini bagaimana sih. Setelah menikah, maka otomatis tanggung jawab atas dirimu berpindah padaku. Bahkan dosamu, aku juga ikut menanggungnya. Jadi, untuk masalah akhirat saja aku yang ikut menanggung, bukan orang tuamu. Maka, kamu tidak perlu lagi memberikan apapun padanya. Ibarat kata, istri itu sudah dibeli oleh suaminya."
'Dibeli' seperti rendah sekali istri di matanya. Sampai bisa dibeli.
"Terus, kalau untuk ibumu bagaimana?"
"Nah, ini yang harus kamu mengerti. Surganya anak laki-laki, ada pada ibunya. Meskipun sampai dia menikah. Jadi, anak lelaki tetap harus berbakti pada ibunya. Dan kamu sebagai istri tak boleh cemburu jika aku memberi sebagian gajiku padanya. Karena apa?"
"Surga anak lelaki ada pada ibunya," jawabku cepat.
"Pinter calon istriku. Kamu lihatkan, sekarang aku sudah menjadi guru. Semua ini berkat kerja keras ibu bapakku. Dari SD aku disekolahkan. Sampai menjadi sarjana, dan kini sudah menjadi guru. Sangat harus kamu bersyukur, apalagi aku sudah bukan lagi guru honorer alias negri. Pasti kamu sangat bangga jika ada yang bertanya apa profesi suamimu. Kamu mendapatkan aku tinggal terima jadi dan menikmati hasilnya. Bayangkan, sudah berapa banyak uang kedua orang tuaku untuk sampai aku menjadi seperti ini?"
Aku hanya terdiam tidak bisa berkata apa-apa. Jadi, begitukah pemikirannya tentang istri? Harus patuh dan taat kepada suami dan melupakan ibunya? Baiklah Bang, kita lihat saja seperti apa kedepannya.
"Jadi intinya, keluargaku adalah keluargamu. Dan ibuku, sebagai pengganti ibumu. Jangan pernah kamu menganggapnya orang lain. Karena syrgaku ada padanya, dan surgamu ada padaku."
Aku dan Bang Jali, sebenernya belum lama saling mengenal. Baru dua bulan yang lalu. Saat itu, aku sedang berkunjung ke rumah teman. Yang kebetulan bertetangga dengannya.
Saat sedang duduk-duk di teras, lelaki yang kini telah menjadi tunanganku itu, datang menghampiri kami. Lalu berkenalan denganku. Kebetulan sekali, saat itu aku sedang tak memiliki kekasih. Begitupun juga dia. Wajah, yang lumayan tampan membuatku jatuh hati padanya, begitu juga dengannya.
Saat sudah berkenalan dan saling bertukar nomor handphone, dia mengatakan perasaannya. Dan dia juga tak ingin berpacaran, melainkan langsung menikah. Usianya yang kini sudah menginjak dua puluh sembilan tahun, membuatnya tak ingin lagi bermain-main dalam urusan asmara. Begitu juga denganku yang sudah dikatakan cukup umur untuk menikah karena sudah dua puluh lima tahun.
Seminggu kemudian, dia bersama orang tuanya datang untuk meminangku. Kami pun bertunangan saat itu juga. Karena sama-sama suka.
Semua sifatnya, aku belum tahu betul. Dan saat ini, sedikit aku sudah mengetahuinya. Sebelumnya, kami tidak pernah membahas masalah keluarga seperti ini. Karena bagiku, nanti juga kami akan sama-sama menjalaninya. Tapi, hari ini hatiku merasa tak tenang dan ingin tahu bagaimana tanggapannya tentang aku yang masih tetap ingin membantu ibu setelah menikah. Dan jawabannya sungguh di luar dugaan.
***
Sudah seminggu, sejak pertanyaanku pada Bang Jali. Dan hari ini dia bersama keluarganya datang untuk menanyakan mahar.
Makanan, beserta minuman sudah ibu sediakan untuk kedatangan keluarga mereka. Tetangga, dan saudaraku juga sudah berkumpul untuk melihat dan mendengar berapa mahar yang akan aku dapatkan.
Suara ramai menyambut kedatangan calon suamiku itu. Aku yang sedari tadi duduk di dalam kamar, kini keluar untuk menemui mereka.
Satu persatu keluarga Bang Jali kusalam. Lalu aku duduk lesehan bersama yang lainnya. Ya, semua para tamu hanya duduk beralaskan tikar karena aku tak memiliki sofa mewah.
"Jadi, berapa mahar yang kamu pinta, Nak?" tanya ibu Bang Jali, dengan tangan yang ia gerakkan hingga gemercing gelang memenuhi indra pendengaran kami.
"Apakah berapapun yang aku pinta, ibu dan keluarga akan menyanggupinya?" tanyaku dengan wajah serius.
"Ya, jelas dong. Bukankah seorang wanita berhak meminta maharnya?" Calon ibu mertuaku itu masih berbicara dengan pergerakan yang berlebihan.
"Baiklah ... Ekhemm ..." Aku sedikit berdehem untuk menghilangkan rasa grogi karena ditonton banyak orang.
"Saya meminta mahar pada Bang Jali sebesar Lima Milyar!" ucapku lantang.
"APAAA?" Semua orang teriak bersamaan. Sepertinya mereka terkejut dengan mahar yang kusebutkan.
Mata kedua calon mertuaku serta calon suamiku melotot tak berkedip. Sepertinya mereka sangat syok dengan jawabanku.
"Saya meminta mahar pada Bang Jali sebesar Lima Milyar!" ucapku lantang. "APAAA?" Semua orang teriak bersamaan. Sepertinya mereka terkejut dengan mahar yang kusebutkan. Mata kedua calon mertuaku serta calon suamiku melotot tak berkedip. Sepertinya mereka sangat syok dengan jawabanku. Calon ibu mertua memegangi kepalanya. Aku tahu pasti dia pusing memikirkannya. Biarkan saja, toh setelah menikah, aku tidak akan lagi bisa membantu ibu. Jika mereka menyanggupinya maka uang itu sepenuhnya akan kuberikan pada ibu. Agar di hari tuanya ia tak lagi harus kesusahan mencari nafkah. "Kamu ini apa-apaan toh, nduk!" bisik ibu di telingaku. "Stttt ... Ibu diam aja. Pokoknya, terima jadi ajalah," balasku juga berbisik. "Rani, apakah itu tidak terlalu berlebihan mahar yang kamu ajukan?" tanya Bang Jali berkeringat. "Ya, tidak toh Bang. Malah kurasa, semua itu belum cukup untuk membayar jasa orang tuaku. Seperti kata Abang, setelah menikah aku harus berbakti pada suami. Karena saat ijab qobul
"Jangan keterlaluan kamu, Rani! Jika maharnya sebesar itu, mana ada lelaki yang mau jadi suamimu!" ucap Bang Jali, meninggikan suaranya. "Hush! Jangan ngomong begitu! Kalau persyaratan menjadi istrimu juga seperti itu, nggak akan ada yang mau jadi istrimu!" jawabku masih santai. Meladeni orang seperti dia, tak perlu dengan emosi juga. Dengan begini saja, pasti dia semakin kebakaran jenggot. "Kamu tidak tahu saja, banyak yang mengantri untuk menjadi istriku. Apalagi pekerjaanku sudah mapan. Seharusnya kamu bersyukur, karena beruntung akan menjadi istri seorang PNS!" Beruntung apanya? Yang ada malah buntung. Mending dapat suami buruh tani, tapi mau bekerja sama dan saling membantu untuk orang tua. Daripada dapat PNS, maunya menang sendiri. "Ya, karena mereka yang antre, belum tahu kehidupan seperti apa yang nantinya akan dijalani setelah menikah. Makanya mereka sampai rela antre. Coba kalau sudah tahu akan dijadikan romusha, pasti mereka semua kabur satu persatu." "Romusha bagaiman
Bukan hanya anaknya beruntung tidak jadi menikah denganku. Tapi aku lebih sangat beruntung karena tak jadi memiliki suami seperti anaknya. Tidak bisa kubayangkan hidup tanpa Ibu, yang sudah melahirkan dan membesarkanku. Sampai kapan pun, tidak ada anak yang bisa membalas jasa ibu dan bapaknya. Meski dunia dan seisinya ia berikan. Aku tidak akan pernah dibutakan oleh yang namanya cinta. Saat lelaki tak bisa menerima keluargaku terutama ibuku. Maka aku tidak akan melanjutkan hubungan itu. Untuk apa aku berbahagia di atas penderitaan ibu. Mencari suami, bukan hanya melihat tampang, jabatan, dan uang. Tapi, harus yang ikhlas menyayangi dan menghormati ibu kita seperti ibunya sendiri. Jika seorang lelaki berpikir, bahwa surganya ada pada ibunya sampai kapan pun, karena sang ibu lah, yang melahirkan dan membesarkannya. Lalu apa bedanya dengan wanita? Mereka juga dilahirkan dan dibesarkan oleh ibunya. Mereka juga dididik dan disekolahkan dengan hasil jerih payahnya. Jadi, jangan pernah b
Gosip Semua makanan yang tadi sempat kami persiapkan, sudah dibagikan ke tetangga. Karena tamu, keburu pergi padahal belum sempat menikmati hidangan yang kami sediakan. Mungkin mereka terlanjur kenyang mendengar mahar, yang kukatakan. Hingga tak sempat lagi mengisi perutnya. Tidak apa, semua masih bisa kusedekahkan pada tetangga. Meskipun tak jadi syukuran tujuh hari tujuh malamnya. "Wes, gagal mangan degeng kita! (udah,gagal makan daging kita)" celetuk Bi Parni sambil membungkus jajanan ke dalam plastik untuk ia bawa pulang. "Halah, ora popo. Seng penting, dino iki kita intok panganan gratis. Mangan dageng pun, yo harus eneng salam tempel. (Halah, nggak papa. Yang penting hari ini kita dapat makanan gratis. Makan Daging pun, ya harus ada salam tempel)." sahut Bude Yati, mencomot kue bolu dan melahapnya. "Iyo, juga yo!" ** Para tetangga sudah pada pulang ke rumah masing-masing. Saatnya aku meluruskan pinggang, yang sedikit bengkok karena kebanyakan duduk. Ibu juga sudah masuk
Salah sangka "Memang, cocok kali Bang PNS itu dengan Si Putri. Mereka pasti seperti pasangan Romeo dan Juliet. Hanya ajal yang bisa memisahkannya." Mendengar ucapanku, semuanya terkaget-kaget. Bu Samini, tersedak kacang panjangnya. Bi Atun langsung berdiri seperti melihat hantu. Dan Bi Badriah terjungkal karena bangku yang ia duduki ditinggal pemiliknya berdiri. Kebetulan, bangku memanjang itu, seperti jungkit-jungkit. Jika salah satunya berdiri, maka yang satu lagi akan langsung nyungsep. Aku hanya bisa nyengir melihat mereka yang terkejut seperti melihat hantu. "Ka-kamu! Sejak kapan di situ?" tanya Bu Samini tergagap "Sudah dari tadi, Bu. Ayo, lanjutkan gosipnya. Aku kan juga pengen nggosip. Biar pun masih muda, jiwa tuaku meronta, saat ada yang bergosip. Pengen ikut nimbrung gitu," jawabku, terus memperhatikan mereka dengan serius. Sengaja ingin membuat mereka jantungan. Biar mereka kapok, dan tak lagi menceritakan orang lain di belakangnya. Ya, meskipun itu mustahil. Sudah p
"Heh, Rani! Kamu beneran batal nikah sama Bang Jali?" tanya Sinta, tetangga Bang Jali sekaligus teman satu kerjaan denganku. Dari main ke rumahnya, juga lah yang membuatku mengenal lelaki itu. Kami sedang makan siang di kantin. Kebetulan sudah jam istirahat. Tadi pagi, sebelum masuk kerja, kami tidak bertemu. Jadi mungkin Sinta memendam pertanyaannya ini. Dan begitu ada kesempatan, dia langsung bertanya. "He'eh ... " jawabku mengangguk sambil melahap lontong sayur. Perut udah keroncongan, kalau nggak cepat diisi, bisa demo cacingnya. "Denger-denger, kamu minta mahar 10M ya?" tanyanya lagi semakin serius. Sampai lupa untuk makan. Padahal makanan yang dipesannya sudah ada di depan mata.u "He'eh ... " jawabku lagi, singkat. Menurutku, ini adalah bahasan yang tak penting. Jadi malas untuk bicara panjang lebar. Apalagi dalam kondisi perut minta diisi. "Hmmm, emang dasar nggak tau diri banget kamu! Pantas aja batal. Permintaanmu nggak masuk akal!" gerutunya, memukul lenganku. Belum t
Sudah jam lima sore, para pekerja pabrik Mabel, mulai membubarkan diri. Termasuk aku. "Memang kamu tega, Ran! Masa aku lagi makan, main tinggal aja!" gerutu Sinta saat kami bertemu di jalan menuju parkiran. "Habis, kalau deket kamu, kewarasanku ikut menghilang! Pengennya itu, ngania-ya orang aja!" sahutku terus melangkahkan kaki cepat. "Ck! Kayak baru kenal aku aja kamu ini!" "Karena udah kenal lama, makanya aku was-was kalau udah dekat kamu. Takut ketularan!" "Hissh! Emang kamu pikir, aku virus apa? Eh, ngomong-ngomong, aku nebeng ya! sepeda motorku tadi pagi mogok. Jadi, nggak bisa dibawa. Perginya aja tadi aku diantar sama bapak, naik sepeda ontel," rayunya sambil mengedipkan mata. "Iya, ya udah ayo!" Aku menaiki sepeda motor dan diikuti olehnya yang duduk di jog belakang. "Tapi, antar sampe rumah ya. Jangan diturunin di jalan." "Iya! Gampang. Jangan lupa uang bensinnya!" selorohku, sambil melajukan sepeda motor. Hanya dia harta satu-satunya yang kupunya. Motor butut hasi
Saat sudah berada di persimpangan jalan. Entah dari mana datangnya. Mantan calon ibu mertua sudah berdiri seperti tugu selamat datang di situ. Mau tak mau, aku harus tetap melewatinya karena tak ada jalan lain. Mau terbang, nggak mungkin. Sayap pesawat mahal. Mana dandannya sangat cetar lagi. Sama persis seperti yang dibilang Sinta. Kayak toko emas berjalan. Kepalanya memang ditutupi hijab. Tapi hijab tersebut ia ikat ke leher sampai mencekik. Mungkin tujuannya agar semua orang tau kalau dia memakai emas sebesar rantai kapal. Bukannya iri. Tapi itu kelihatan norak. Banyak, kok orang yang lebih kaya, tapi pakai perhiasan tidak terlalu mencolok seperti itu. "Gimana, udah dapat lelaki yang mau kasih mahar lima Milyar belum?" tanyanya sewot. Ternyata Ibu Bang Jali, pendendam juga. Untung di sini hanya ada tiga orang. Jadi, tidak terlalu malu saat jadi pusat perhatian. Dengan sangat terpaksa kuda besiku ini kuhentikan. Kalau nggak dijawab, nanti katanya nggak sopan. Diajak ngomong oran