Hai Sahabat marisa ... terima kasih masih setia bersama marisa. Ikuti terus cerita ini, ya. Dapatkan kejutan-kejutan di bab-bab selanjutnya. Mohon supportnya dengan memberikan gem dan vote. I love you all 🥰🥰🥰
"Sebenarnya ada hal penting yang ingin aku sampaikan, Ris. Sudah lama aku menunda dan hanya menyimpannya dalam hati. Kali ini aku tidak mau mengulur waktu lagi." Sandhy menatap Marisa. Gestur tubuhnya tampak aneh. Matanya menatap tajam penuh tekad, tetapi berulang kali dia menggosokkan tangannya ke celana. Orang yang mengamatinya pasti akan tahu bahwa Sandhy sedang gugup. Marisa menelengkan kepala ke arah kiri tempat Sandhy duduk di sofa tunggal. Dia menyipitkan mata mendengar ucapan kakak kelasnya dulu itu. "Hal penting apa, Mas? Kamu membuatku penasaran saja." "Ehm … begini Marisa. Mungkin bagi kamu apa yang akan aku katakan itu terkesan tiba-tiba. Namun, bagiku tidak. Sudah lama aku memendamnya dan menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Akhirnya momen yang aku tunggu datang juga. Sepertinya sekarang saat yang tepat untuk mengatakannya." "Ada apa, sih, Mas. Kamu membuatku tambah bingung aja." Marisa berkata dengan nada kesal."Percayalah … aku juga bingung bagaimana c
"Baiklah kalau begitu, Risa. Aku akan berusaha meraih hatimu dengan cara lain." Setelah menyatakan tekadnya Sandhy meninggalkan rumah Marisa. Meski sudah berbicara setegas dan seyakin mungkin, tetapi bahu yang turun dan langkah lunglainya sudah menandakan Sandhy pasrah dengan keputusan perempuan yang disukainya itu. Marisa menatap punggung Sandhy yang menjauh dengan sedih. Dia tidak bermaksud menyakiti hati orang yang pernah dekat dengannya sebagai sahabat itu. Namun, hatinya tidak bisa berbohong. Selain belum ingin menikah lagi, Sandhy bukanlah pasangan hidup yang akan dicarinya kelak. Karena andai nanti menyempurnakan agamanya dengan menikah, Marisa ingin mencari sosok lelaki yang bisa membimbingnya menuju Surga Allah. Meski sempat tidak bisa tidur karena memikirkan banyak hal, tetapi setelah membaca doa memohon ketenangan akhirnya Marisa berhasil terlelap juga. Dia terbangun pukul empat pagi dan segera membersihkan diri. Rutinitas harian Marisa di pagi hari setelah menunaikan i
"Siapa dia? Sepertinya aku belum pernah melihatnya dalam pertemuan keluarga." Batin Marisa sambil melangkah memasuki ruang tamu. Bude Chusnul tersenyum lebar ketika melihat Marisa dan berkata dengan gembira, "Nah ini Marisa sudah datang." Marisa menjadi canggung ketika semua pasang mata di ruang tamu rumah Bude Chusnul menatapnya. Dengan ragu-ragu dia melangkah mendekati budenya dan meraih tangannya untuk dicium. Marisa melakukan hal yang sama kepada pakdenya. Kakak dari ayahnya itu mengelus puncak hijab Marisa ketika dia menunduk untuk mencium tangan pakdenya. "Apa kabar Bude, Pakde. Maaf Risa baru sempat berkunjung," ucap Marisa lalu tersenyum rikuh. "Iya, gak apa-apa. Kami paham kok dengan kesibukan kamu. Iya, kan, Bu?" sahut Pakde Hari sambil melirik Bude Chusnul yang segera membalas dengan mengangguk. "Nggak apa-apa, Nduk ayu. Bude ngerti kok kalau kemarin-kemarin kamu masih repot. Cuma hari ini bude kok kangen banget sama kamu. Makanya bude minta ibumu untuk ke sini dengan
"Ada apa ini? Kenapa kalian berduaan saja di ruangan ini? Marisa tolong kamu jelaskan siapa lelaki ini? Dan apa yang kalian lakukan di rumahku?" Suara menggelegar yang dilontarkan oleh sosok lelaki tinggi dan kekar membuat terkejut kedua orang yang duduk di ruang tamu. Mata Marisa terbeliak menatap lelaki yang langkah lebarnya segera membuat dia berdiri menjulang di depan Marisa. "Ma-mas Rian kamu membuatku kaget. Kenapa, sih, kamu itu suka sekali berteriak? Bikin orang jantungan aja. Biasa aja dong nadanya kalau ngomong."Rian melotot mendengar omelan Marisa. Dia menjadi semakin kesal melihat tegurannya tadi tidak ditanggapi oleh sepupunya dan lelaki yang tidak dikenalnya itu. "Kamu jangan mengalihkan pembicaraan, Ris. Mas tanya ngapain kamu di sini? Dan mengapa kamu berduaan dengan lelaki asing ini." "Aku nggak mengalihkan pembicaraan, Mas. Aku cuma nggak suka dengan caramu yang datang-datang marah. Oke aku akan jelaskan, tapi kamu duduk dulu. Capek leherku kalau harus tengadah te
"Entahlah, Bu. Sebenarnya Risa juga ingin segera move on dari masa lalu yang menyedihkan. Tapi rasanya masih sulit. Lubang di dada Risa masih cukup besar dan dalam. Jadi, tidak mudah untuk ditutup kembali." Marisa menelungkupkan wajah di kemudi mobil. Posisi kendaraan yang tengah berada dalam antrian lampu merah membuat Marisa leluasa untuk sedikit meratapi nasib. Bu Rahmi menatap anaknya yang sedang bersedih di sebelahnya. Tangannya terulur dan sedikit merangkul pundak Marisa. Dengan gerakan perlahan dia mengelus bahu putri sulungnya itu dan berkata, "Lampunya sebentar lagi hijau, loh. Kamu harus siap-siap jalanin mobil biar tidak diklakson terus dari belakang." Melihat putrinya belum mengangkat wajah, Bu Rahmi kembali melanjutkan, "Atau kamu butuh waktu? Setelah dari lampu merah ini kita menepi dulu, ya di depan. Kita cari taman atau cafe dan ngobrol-ngobrol sebentar." Marisa mengangkat kepalanya yang tadi menelungkup di kemudi mobil. Dia menoleh ke kiri dan memandang ibunya, kem
"Loh … dia? Apakah dia adalah Om-nya Amanda?" Mata marisa terbeliak ketika melihat orang yang turun dari mobil itu. Dia mengamati gerak gerik lelaki yang tampak gagah dengan kemeja biru muda yang lengannya digulung di siku. Tak berbeda dengan Marisa, sosok yang baru turun dari mobil itu juga tampak terkejut ketika melihat perempuan yang berdiri tak jauh dari keponakannya. Dia segera mempercepat langkahnya untuk menghampiri perempuan itu. "Loh, Bu Marisa kok ada di sini?" "Assalamualaikum, Dokter Harun. Apa kabar?" Marisa memberikan salam tanpa menjawab pertanyaan sang dokter. Wajah Dokter Harun memerah. Dia tampak salah tingkah karena terlalu terburu-buru sehingga dia lupa memberikan salam. Padahal selama ini dia tidak pernah melupakan adab itu ketika bertemu dengan seorang muslim atau muslimah. "Waalaikumsalam … alhamdulilah baik. Semoga Bu Marisa juga baik-baik saja." "Aamiin." Marisa menyahut pelan karena tiba-tiba saja dia menjadi grogi berdiri di dekat Dokter Harun. Padahal d
"Ma-maksud Dokter … tadi Dokter Harun bertemu dengan Mas Irawan? Apakah Dokter juga mengajak Mas Irawan berbicara?" Wajah Marisa memucat. Dengan suara bergetar dia bertanya kepada Dokter Harun."Hanya menyapa sekadarnya saja. Memangnya kenapa Bu Marisa?" selidik Dokter Harun. Mata hitam sang dokter menatap Marisa dengan tatapan heran. "Tidak … tidak ada apa-apa, Dok." Marisa menjawab cepat agar Dokter Harun tidak curiga. Dia lalu membuang pandang agar tidak perlu bersitatap dengan sang dokter. Sebenarnya di hati kecilnya Marisa bertanya-tanya alasan dia khawatir Dokter Harun berbicara dengan suaminya. Apakah karena dia takut Dokter Harun mengetahui statusnya sebagai seorang janda? Memangnya apa yang harus dia cemaskan kalau benar Dokter Harun tahu status yang disandangnya sekarang?"O saya kira ada apa. Kalau melihat dari raut wajahnya, sih, Pak Irawan tampak makin cerah, ya, Bu. Semoga dengan rajin terapi, suami Bu Marisa bisa pulih seperti sedia kala." "Aamiin Yaa Robbal'aalaami
"Loh bukankah Anda dokter yang pernah merawat mantan suami anak saya?" Marisa terkesiap dan wajahnya memucat mendengar kata-kata ibunya. Dia sama sekali tidak menyangka Bu Rahmi akan berkata seperti itu. Sementara itu Dokter Harun tidak kalah terkejutnya. Mulutnya ternganga mendapat pertanyaan tidak terduga dari ibunya Marisa. Namun, bukannya menjawab, Dokter Harun justru balik bertanya, "Mantan? Bu Marisa sudah berpisah dengan Pak Irawan?" "Iya, Pak Dokter," jawab Bu Rahmi. Dia menatap curiga kepada lelaki yang berdiri di depannya ini. Kenapa lelaki ini harus se terkejut itu? Kenapa pula dia yang mengantar Marisa ketika mobilnya mogok? Apa mereka berdua mempunyai hubungan? Berbagai pertanyaan berkelindan di benak Bu Rahmi. Membuat perempuan separuh baya itu menatap bergantian wajah anaknya dan Dokter Harun. "O begitu," jawab Dokter Harun singkat.Dokter Spesialis Jantung itu lalu berdeham untuk menghilangkan suara seraknya. Dia kemudian menatap Marisa dan berkata, "Saya ikut p