"Sudahlah, Ma. Kenapa marah-marah lagi, sih." Pak Hartawan menegur Bu Santi."Papa gak ngeliat apa? Itu menantu kesayangan Papa berduaan dengan lelaki lain?" "Heh! Tante… jangan seenaknya sendiri kalau ngomong! Yang berduaan itu siapa?" Sandhy meradang mendengar tuduhan ngawur dari Bu Santi. "Loh itu kan jelas. Situ duduk, menantu saya berdiri di sebelah kursi. Kamu ke sini kan juga pasti mau ketemu dia!" Marisa menatap nanar Bu Santi. Bibirnya terkatup rapat dan tangannya terkepal di samping. Kalau tidak ingat Bu Santi adalah ibu mertuanya, pasti dia sudah melabraknya. Mulut tajam seperti itu tidak boleh dibiarkan. Namun, hal itu tidak dilakukannya, karena takut dicap sebagai menantu durhaka. "Bukan begitu, Ma. Saya berdiri karena baru keluar dari dalam ruangan ICU. Tadi saya menyeka tubuh Mas Irawan. Perawat yang meminta saya melakukannya. Nah, pas saya keluar ada Mas Sandhy duduk di kursi ini. Kami baru saja ngobrol waktu Mama dan Papa masuk." Marisa mencoba menjelaskan kejadia
Bab 26 Sindiran Pedas Bu Rahmi"Tidak, Bu!" jerit Marisa."Jangan begitu, Bu Rahmi," ucap Pak Hartawan. "Kan saya bilang seandainya. Seandainya Nak Irawan bangun. Seandainya Marisa mengajukan surat cerai … saya akan mendukung. Kalau salah satu itu tidak terjadi ya sudah, tidak apa-apa," jawab Bu Rahmi dengan tenang. Pak Hartawan dan Bu Santi memucat. Mereka baru sadar kalau ada kemungkinan Irawan tidak bangun. "Tidak! Irawan pasti bangun. Dia lelaki kuat, pasti dia akan berjuang untuk sembuh," jerit Bu Santi. "Saya juga berharap demikian, karena banyak hal yang ingin saya lakukan di sini. Salah satunya alasan dia melakukan hal itu. Apa dia tidak ingat dengan janji pernikahan yang dikatakannya di depan almarhum suami suami saya? Apa dia lupa bersumpah dengan nama Allah ketika mengucapkan akad nikah ?" Pertanyaan yang diucapkan dengan tenangnya oleh Bu Rahmi membuat Pak Hartawan dan Bu Santi terdiam. "Cuma saya ini kan bukan Tuhan. Meski saya ingin Nak Irawan segera sadar, tapi s
"Ibu kok dari tadi ngomongin cerai? Siapa yang mau cerai, Bu?" "Lho, kan ibu cuma tanya rencanamu setelah Irawan sadar.Apa kamu punya keinginan untuk bercerai?" "Marisa gak tahu, Bu. Marisa bingung. Otak Risa masih penuh jadi sulit diajak mikir." Kepala Marisa kemudian tertunduk. Dia tampak stres memikirkan masalahnya.Bu Rahmi lalu menjahit bahu Marisa. Tangannya mengelus punggung putri pertamanya itu. Dia mengerti hati anaknya itu pasti tengah hancur. Jadi, sebagai ibunya Bu Rahmi mencoba menguatkan Marisa. Gerakan ritmis tangan sang Ibu di punggungnya, ternyata tidak membuat Marisa menjadi tenang. Sebaliknya, isak berbisik satu demi satu lolos dari bibir Marisa. Mendengar isak putrinya Bu Rahmi mendesah pilu. Dia mengerti sekarang, tapi dia perlu memastikannya. "Kamu masih mencintai Irawan?" Marisa hanya diam. Namun, diamnya itu semakin meyakinkan hati Bu Rahmi bahwa bayi itu memang masih mencintai suaminya. Sekali lagi Bu Rahmi mendesah. Perempuan paruh baya yang sudah menja
Bab 28 Irawan Operasi "Su-suami saya kenapa, Suster? Ada apa dengannya?" Marisa bertanya dengan suara gugup. Terlihat sekali kalau dia sangat mencemaskan suaminya itu. "Dokter yang lebih tahu kondisinya, Bu. Mari ikuti saya untuk bertemu dengan Dokter Tommy," pinta perawat tersebut. "Iya, Suster," jawab Marisa pelan. "Saya yang akan nemani menantu saya, Suster." Pak Hartawan mengajukan dirinya. "Boleh, Pak. Mari … sudah ditunggu dokternya.""Silakan duduk, Bapak dan Ibu. Saya Dokter Tommy. Dokter Spesialis Bedah Syaraf yang menangani pasien Irawan. Jadi, tadi pagi Dokter Harun menghubungi saya karena curiga dengan kondisi pasien. Itu sebabnya tadi pasien diminta untuk MRI ulang, betul?" "Iya betul. Saya yang nungguin, Dok," jawab Pak Hartawan. Mata Marisa membulat mendengar ucapan ayah mertuanya. Kenapa tadi beliau tidak cerita? "Hasilnya bagaimana, Dok?" tanya Pak Hartawan."Dari hasil MRI terlihat ada edema serebral atau pembengkakan di otak. Ini harus segera diatasi agar
"Dok, bagaimana operasi suami saya?" Marisa menatap cemas ke arah Dokter Tommy yang baru saja keluar dari ruang operasi. Dokter Tommy membuka maskernya lalu tersenyum, "Alhamdulillah operasi pasien Irawan berjalan lancar. Tinggal kita menunggu masa kritisnya berlalu." "Alhamdulillah," seru Marisa dan keluarganya. "Setelah ini apa suami saya bisa diprediksi kapan sadar dari koma, Dok?" tanya Marisa. "Sabar Bu. Untuk itu masih perlu waktu. Perlu diobservasi lagi. Saya tidak bisa menjawabnya sekarang," jawab Dokter Tommy. "Baik, Dok. Terima kasih banyak sudah melakukan yang terbaik untuk operasi anak saya," sahut Pak Hartawan. Dokter bedah saraf itu hanya mengangguk dan segera berlalu dari hadapan Pak Hartawan dan keluarganya. Mata Marisa mengiringi langkah Dokter Tommy yang meninggalkan ruang operasi. Tubuhnya tiba-tiba saja melemas hingga adiknya Ratih yang ada di belakangnya harus memeganginya agar tidak terjatuh. “Mbak… mbak kamu kenapa?” seru Bu Rahmi. Dia membantu Ratih
Bab 30. Siapa Perempuan itu?"Loh, kok belum pulang, Dok? Saya kira sudah pulang karena ruangannya kosong," sapa seseorang dengan suara lembut. Marisa menatap sosok yang menyapa Dokter Harun. Perempuan itu berwajah bulat telur dengan kulit wajah putih halus seperti porselen. Rasanya kalau ada lalat yang menempel di pipinya akan terpeleset. Penampilan perempuan itu juga sangat elegan. Tunik polos berwarna biru muda dengan rok A line biru tua dilengkapi dengan hijab motif bunga dengan dasar berwarna biru. Marisa terpesona melihat perempuan itu. Dia tersadar ketika mendengar suara Dokter Harun."Iya ini saya mau pulang." Dokter Harun menjawab singkat. "Sudah makan atau belum? Saya mau konsul, boleh? Sekalian makan malam atau ngopi gitu," ajak perempuan cantik itu. "Di kantin aja ya, Dok. Saya harus segera pulang soalnya besok pagi-pagi sudah ada jadwal visite di Griyu." Dokter Harun menjawab singkat lalu dia menoleh ke Marisa lalu berpamitan. Marisa menatap punggung kedua orang itu
"Marisa! Kamu kemana saja, sih? Kamu gak lihat jam? Nyadar gak sih udah berapa jam kamu pergi, hah!" bentak Bu Santi. "Maaf, Bu." Marisa tertunduk di depan ibu mertuanya. Bukan karena dia merasa bersalah, tetapi karena dia tidak mau membuat mabuk. "Jangan cuma bisa minta maaf! Jelasin kamu kemana?" tanya Bu Santi dengan nada mendesak. “Sabar, Ma. Ingat kita ada di mana,” tegur Pak Hartawan. Namun, seperti nada biasa selama bicara Pak Hartawan bukan seperti orang marah, maka Bu Santi akan mengabaikannya. "Tadi itu selain Salat Magrib dan makan, Marisa bertemu Dokter Harun. Dokter Spesialis Jantungnya Mas Irawan, Ma. Jadi Marisa tanya-tanya soal kondisi Mas Irawan ke dokter itu. Marisa pikir mumpung dia lagi punya waktu. Takutnya besok dia gak visite karena harus ke Surabaya, karena tadi mobilnya di sebelah mobil Papa." Marisa mencoba menjelaskan agar ibu mertuanya tidak salah paham. "Terus jawaban dokter itu bagaimana?" Bu Santi mulai merasa penasaran dan lupa dengan amarahnya.
"Ada apa ini?" Marisa yang tersentak bangun menatap bingung ke arah serombongan dokter dan perawat yang berlari memasuki ruang ICU. "Ada kebakaran?" tanyanya ke arah Sandhy yang saat ini juga sudah duduk sambil mengucek matanya. Sandhy mengedikkan pundaknya. Dia juga baru pertama kali mendengar di rumah sakit ada bunyi seperti sirine pemadam kebakaran. Marisa menutupi tubuhnya yang terasa pegal karena tidur di kursi sambil duduk. Lalu dia bangkit dan melangkah menuju jendela Ruang ICU. Namun karena tidak sempat berkunjung maka jendela ditutup oleh tirai. Marisa mencoba mengintip dari celah tirai. Namun sayang celahnya terlalu kecil sehingga dia tidak bisa melihat sedikitpun aktivitas di dalam ruangan.Pintu kaca Ruang ICU terbuka, muncul dua orang perawat yang setengah berlari keluar. Salah satunya kembali tak lama kemudian. Marisa menahan lengannya dan bertanya, "Ada apa, Suster? Itu suara sirene apa, ya?""Code blue," jawab perawat itu singkat dan segera memasuki ruangan ICU. "