Hai ... hai para penggemar Marisa. Dukung Marisa dengan memberi vote dan gem ya. I love U 💖🌹
"Lantas tentang apa? Kamu mengkhawatirkan tingkat keberhasilan program? Kamu takut program ini tidak berhasil? Kenapa? Apa karena kamu tahu kalau dirimu mandul?" Bu Santi menatap Marisa dengan pandangan curiga.Marisa terkesiap mendengar kata-kata Bu Santi. "Lagi-lagi dia menuduhku mandul. Tidakkah dia berpikir bisa saja anak kesayangannya yang mandul," batin Marisa. Perempuan yang belum genap berumur tiga puluh tahun itu menggeleng dengan tegas dan berkata, "Tidak, Ma. Saya tidak mandul! Bukannya saya sudah pernah bilang kalau saya tidak mandul. Saya sehat dan siap untuk hamil!" "Lalu kenapa kamu masih perlu waktu untuk berpikir? Kalau memang tidak ada yang kamu khawatirkan. Kalau kamu siap hamil seharusnya kamu cepat mengambil keputusan bukan malah menundanya. Permintaanmu untuk berpikir dulu membuat Mama curiga." Bu Santi menelengkan kepalanya ke kanan dan menatap Marisa dengan tajam."Maaf, Ma, saya memang perlu waktu untuk berpikir tapi bukan karena saya mandul. Untuk alasan
"Loh … kenapa dia bisa ada di sini? Darimana dia tahu tempat ini?" gumam Marisa. Kaki Marisa berhenti melangkah sejenak ketika melihat seseorang duduk di kursi di depan ruang VVIP. Merasa penasaran, dia kemudian mempercepat langkahnya menghampiri sosok itu."Kamu? Sedang apa di sini?" tegur Marisa sesampainya dia di depan orang itu. Marisa menatap dari atas sampai ke bawah sosok yang sangat dikenalnya itu. Tubuh tinggi kurus dengan rambut panjang yang diikat. Cambang menutupi dagunya menandakan dia semakin tidak terurus akhir-akhir ini."Kamu sudah datang, Risa? Tadi kata yang jaga suamimu kamu sudah kembali mengajar?" Marisa mengabaikan pertanyaan orang itu dan kembali bertanya, "Kamu kok bisa tahu kalau Mas Irawan dirawat di sini?""Jangan sinis gitu dong, Risa. Biasanya kamu manggil aku dengan lebih hormat … Mas Sandhy bukan kamu." Marisa terkesiap. Dia baru menyadari kesalahannya yang telah berbuat kasar kepada kakak kelasnya itu. Padahal Mas Sandhy tidak bersalah. Lelaki itu j
"Ooo jadi orang ini alasanmu menolak usul Mama? Pura-pura minta waktu berpikir tapi ternyata berduaan dengan lelaki lain?" Marisa menengok ke balik bahunya dan melihat ibu mertuanya sudah berkacak pinggang. "Ma! Bukan begitu, Ma. Pasti Mama salah paham." Marisa berdiri dan berusaha menjelaskan. Namun, Bu Santi sudah terlanjur emosi dan tidak peduli dengan usaha Marisa untuk menjelaskan duduk perkaranya.Kepala Bu Santi kemudian menoleh ke kanan dan menatap Sandhy dengan tajam."Kamu? Bukankah kamu yang pernah kami temui di rumah sakit di Mojokerto waktu itu?"Sandhy berdiri dan menjawab dengan sopan, "Iya, betul, Bu." Bu Santi mendengkus, "Huh! Sudah aku duga. Ngaku-ngaku istrimu selingkuh dengan anakku, ternyata justru kamu yang selingkuh dengan menantuku." "Ma, kami tidak selingkuh!" seru Marisa. Wajahnya memerah sebagian karena merasa marah mendengar tuduhan ibu mertuanya. Sebagian lagi karena merasa malu melihat para pengunjung kantin dan pegawai kantin mulai memperhatikan
"Nah, akhirnya dia datang juga. Ditunggu dari tadi akhirnya muncul juga." Baru saja membuka pintu ruangan VVIP, Marisa sudah disambut oleh nyinyiran Bu Santi. "Apa, sih, Ma! Kita kan juga baru saja sampai bukan dari tadi!" tegur Pak Hartawan. Wajah cantik Bu Santi seketika berubah masam mendapat teguran seperti itu dari suaminya. Bibirnya mengerucut dan mukanya cemberut karena kesempatannya menyindir sang menantu menjadi gagal. Untuk menghilangkan rasa kesalnya Bu Santi mendesak Marisa dengan nada tinggi. "Sekarang jelaskan kepada kami tentang pertemuan kamu tadi. Juga beritahu kami keputusanmu sekarang juga! Jangan menundanya lagi!" "Bukannya tadi sudah dijelaskan oleh Mas Sandhy ya, Ma? Apalagi yang ingin Mama ketahui?" jawab Marisa dengan tenang. "Itu bukan penjelasan. Itu pembelaan diri," bantah Bu Santi yang membuat Pak Hartawan geleng-geleng. "Kamu jelaskan saja dari awal, Risa. Kalau tidak, kamu akan terus dikejar dan dituduh oleh mama kamu ini," pinta Pak Hartawan.Maris
"Kalau kamu memang mau jadi istri yang baik, harusnya kamu tidak menunda-nunda untuk mengikuti program bayi tabung!" sindir Bu Santi."Apa hubungannya, Ma?" tanyaku dengan cepat."Jelas ada. Mempunyai anak pasti impian Irawan sejak menikah. Nah istri yang baik itu yang bisa mewujudkan impian suaminya. Lagipula kenapa kamu masih menunda terus untuk mengikuti saran Mama? Kenapa kamu butuh waktu lama untuk memutuskan ikut program bayi tabung? Memangnya kamu nggak mau punya anak dari Irawan?" tuduh Bu Santi. Marisa tercenung mendengar pertanyaan ibu mertuanya. Hatinya bertanya-tanya setelah semua kejadian ini, benarkah sekarang dia tidak lagi ingin punya anak dari Irawan? "Heh! Diajak bicara kok malah ngelamun. Kamu itu gimana, sih, Risa. Benar-benar nggak menghormati orang tua. Padahal yang ngajak bicara itu bukan orang tua biasa tapi ibu mertua kamu. Kok bisa-bisanya kamu nggak sopan seperti ini!" Bu Santi mengomel karena merasa tidak dianggap oleh Marisa. "Maaf, Ma. Marisa nggak ber
"Wah taksinya fortuner ya, Bu?" tanya Bu Aisyah. Marisa mengamati mobil yang ditunjuk oleh Bu Aisyah. "Fortuner biru metalik. Aku seperti pernah melihatnya," gumam Marisa sambil mengerutkan keningnya.Lalu Marisa menoleh ke rekan kerjanya yang berdiri di sebelah kiri sambil berkata, "Bukan kok, Bu. Tapi sepertinya saya mengenal mobil itu." Mereka berdua menatap mobil yang baru berhenti di sebelah sepeda motor Bu Aisyah. Tak lama kemudian turunlah seorang lelaki gagah dengan tinggi sekitar 175 cm mengenakan baju koko lengan panjang berwarna biru muda dan celana kain warna biru tua. Bibir Marisa melongo melihat sosok yang sangat dikenalnya itu. Sungguh Marisa tidak menyangka bisa melihatnya di tempat ini. Lelaki itu berjalan santai ke arah pintu rumah Ustaz Yahya. Angin sore yang tiba-tiba berhembus kencang membuat rambut hitamnya berantakan. Tangan lelaki itu sibuk membenahi rambut sehingga dia tidak memperhatikan arah jalannya. Pupil mata lelaki itu melebar ketika menyadari ta
"Jadi gimana keputusan kamu? Ini sudah lewat dari waktu yang kamu minta!" Sebuah suara melengking menyambut Marisa.Marisa yang baru saja memutar handel pintu itu terkejut mendengar suara keras dari ibu mertuanya. Dia menggertakkan giginya karena masih separuh tubuhnya yang masuk, tapi suara melengking itu sudah mendesaknya. "Sabar, dong, Ma. Marisa aja belum masuk ruangan. Juga belum sempat istirahat sepulang mengajar. Kok Mama malah menyambutnya seperti ini," tegur Pak Hartawan. "Menyambutnya seperti ini bagaimana?" tanya Bu Santi dengan sinis. "Nah itu! Masa sih Mama nggak merasa? Mama itu tanya dengan nada marah, sinis, dan mendesak. Papa aja ngerasa loh sama cara Mama tanya itu yang kurang pengertian." "Kurang pengertian bagaimana? Mama itu dah ngasih waktu untuk Marisa berpikir loh, Pa. Masa sih Mama masih disalahkan kalau sekarang bertanya? Dianggap kurang pengertian pula. Terus biar dianggap pengertian apa Mama harus diam aja ngelihat Marisa terus menunda memberi keputusan
"Maaf apa saya mengganggu?" tanya Dokter Harun. Dia bersama dua orang perawat masuk ketika Bu Santi memarahi Marisa dan menuduhnya mandul. Marisa yang terlalu kaget dengan tuduhan itu. Dia juga bingung dengan masuknya orang lain ke ruang rawat inap suaminya secara tiba-tiba. Membuat Marisa tidak bisa segera membantah tuduhan ibu mertuanya. Selama beberapa saat suasana masih canggung jadi Dokter Harun kembali bertanya, "Apa saya mengganggu? Apakah saya perlu kembali lagi nanti?" Pak Hartawan yang tersadar lebih dahulu segera menjawab, "O tidak, Dok. Silakan kalau mau memeriksa anak saya. Ka-kami hanya sedang berdiskusi saja." "Baiklah kalau begitu," jawab Dokter Harun sambil matanya menatap bergantian antara Marisa dan Bu Santi. Keduanya sama-sama terdiam tetapi dengan ekspresi yang berbeda. Bu Santi dengan mata menatap nanar menantunya dan Marisa dengan wajah memerah seperti menahan malu. Dokter Harun melangkah mendekati kasur Irawan dan berkata, "Suster, tolong rekam medik pas