"Nah, akhirnya dia datang juga. Ditunggu dari tadi akhirnya muncul juga." Baru saja membuka pintu ruangan VVIP, Marisa sudah disambut oleh nyinyiran Bu Santi. "Apa, sih, Ma! Kita kan juga baru saja sampai bukan dari tadi!" tegur Pak Hartawan. Wajah cantik Bu Santi seketika berubah masam mendapat teguran seperti itu dari suaminya. Bibirnya mengerucut dan mukanya cemberut karena kesempatannya menyindir sang menantu menjadi gagal. Untuk menghilangkan rasa kesalnya Bu Santi mendesak Marisa dengan nada tinggi. "Sekarang jelaskan kepada kami tentang pertemuan kamu tadi. Juga beritahu kami keputusanmu sekarang juga! Jangan menundanya lagi!" "Bukannya tadi sudah dijelaskan oleh Mas Sandhy ya, Ma? Apalagi yang ingin Mama ketahui?" jawab Marisa dengan tenang. "Itu bukan penjelasan. Itu pembelaan diri," bantah Bu Santi yang membuat Pak Hartawan geleng-geleng. "Kamu jelaskan saja dari awal, Risa. Kalau tidak, kamu akan terus dikejar dan dituduh oleh mama kamu ini," pinta Pak Hartawan.Maris
"Kalau kamu memang mau jadi istri yang baik, harusnya kamu tidak menunda-nunda untuk mengikuti program bayi tabung!" sindir Bu Santi."Apa hubungannya, Ma?" tanyaku dengan cepat."Jelas ada. Mempunyai anak pasti impian Irawan sejak menikah. Nah istri yang baik itu yang bisa mewujudkan impian suaminya. Lagipula kenapa kamu masih menunda terus untuk mengikuti saran Mama? Kenapa kamu butuh waktu lama untuk memutuskan ikut program bayi tabung? Memangnya kamu nggak mau punya anak dari Irawan?" tuduh Bu Santi. Marisa tercenung mendengar pertanyaan ibu mertuanya. Hatinya bertanya-tanya setelah semua kejadian ini, benarkah sekarang dia tidak lagi ingin punya anak dari Irawan? "Heh! Diajak bicara kok malah ngelamun. Kamu itu gimana, sih, Risa. Benar-benar nggak menghormati orang tua. Padahal yang ngajak bicara itu bukan orang tua biasa tapi ibu mertua kamu. Kok bisa-bisanya kamu nggak sopan seperti ini!" Bu Santi mengomel karena merasa tidak dianggap oleh Marisa. "Maaf, Ma. Marisa nggak ber
"Wah taksinya fortuner ya, Bu?" tanya Bu Aisyah. Marisa mengamati mobil yang ditunjuk oleh Bu Aisyah. "Fortuner biru metalik. Aku seperti pernah melihatnya," gumam Marisa sambil mengerutkan keningnya.Lalu Marisa menoleh ke rekan kerjanya yang berdiri di sebelah kiri sambil berkata, "Bukan kok, Bu. Tapi sepertinya saya mengenal mobil itu." Mereka berdua menatap mobil yang baru berhenti di sebelah sepeda motor Bu Aisyah. Tak lama kemudian turunlah seorang lelaki gagah dengan tinggi sekitar 175 cm mengenakan baju koko lengan panjang berwarna biru muda dan celana kain warna biru tua. Bibir Marisa melongo melihat sosok yang sangat dikenalnya itu. Sungguh Marisa tidak menyangka bisa melihatnya di tempat ini. Lelaki itu berjalan santai ke arah pintu rumah Ustaz Yahya. Angin sore yang tiba-tiba berhembus kencang membuat rambut hitamnya berantakan. Tangan lelaki itu sibuk membenahi rambut sehingga dia tidak memperhatikan arah jalannya. Pupil mata lelaki itu melebar ketika menyadari ta
"Jadi gimana keputusan kamu? Ini sudah lewat dari waktu yang kamu minta!" Sebuah suara melengking menyambut Marisa.Marisa yang baru saja memutar handel pintu itu terkejut mendengar suara keras dari ibu mertuanya. Dia menggertakkan giginya karena masih separuh tubuhnya yang masuk, tapi suara melengking itu sudah mendesaknya. "Sabar, dong, Ma. Marisa aja belum masuk ruangan. Juga belum sempat istirahat sepulang mengajar. Kok Mama malah menyambutnya seperti ini," tegur Pak Hartawan. "Menyambutnya seperti ini bagaimana?" tanya Bu Santi dengan sinis. "Nah itu! Masa sih Mama nggak merasa? Mama itu tanya dengan nada marah, sinis, dan mendesak. Papa aja ngerasa loh sama cara Mama tanya itu yang kurang pengertian." "Kurang pengertian bagaimana? Mama itu dah ngasih waktu untuk Marisa berpikir loh, Pa. Masa sih Mama masih disalahkan kalau sekarang bertanya? Dianggap kurang pengertian pula. Terus biar dianggap pengertian apa Mama harus diam aja ngelihat Marisa terus menunda memberi keputusan
"Maaf apa saya mengganggu?" tanya Dokter Harun. Dia bersama dua orang perawat masuk ketika Bu Santi memarahi Marisa dan menuduhnya mandul. Marisa yang terlalu kaget dengan tuduhan itu. Dia juga bingung dengan masuknya orang lain ke ruang rawat inap suaminya secara tiba-tiba. Membuat Marisa tidak bisa segera membantah tuduhan ibu mertuanya. Selama beberapa saat suasana masih canggung jadi Dokter Harun kembali bertanya, "Apa saya mengganggu? Apakah saya perlu kembali lagi nanti?" Pak Hartawan yang tersadar lebih dahulu segera menjawab, "O tidak, Dok. Silakan kalau mau memeriksa anak saya. Ka-kami hanya sedang berdiskusi saja." "Baiklah kalau begitu," jawab Dokter Harun sambil matanya menatap bergantian antara Marisa dan Bu Santi. Keduanya sama-sama terdiam tetapi dengan ekspresi yang berbeda. Bu Santi dengan mata menatap nanar menantunya dan Marisa dengan wajah memerah seperti menahan malu. Dokter Harun melangkah mendekati kasur Irawan dan berkata, "Suster, tolong rekam medik pas
"Anda tidak apa-apa Bu Marisa?" Suara berat dan dalam itu terdengar dari balik punggung Marisa. Tanpa menoleh pun perempuan berusia 28 tahun ini mengenali pemilik suara tersebut."Sa-saya tidak apa-apa kok, Dok," sahut Marisa dengan canggung. Masih dia ingat tatapan dokter itu kepadanya beberapa jam lalu. Tatapan prihatin yang membuatnya malu dan tidak berani balas menatapnya. "Alhamdulillah kalau begitu," jawab Dokter Harun yang segera melepas pegangan tangannya di bahu istri salah seorang pasiennya. Tadi dia tak sengaja melihat Marisa berdiri dengan kaki gemetar. Tubuhnya limbung sehingga dia segera berlari menahannya dari belakang agar perempuan itu tidak terjatuh. "Ibu sepertinya sedang kesemutan. Mungkinn karena terlalu lama duduk bersila tadi. Lebih baik ibu tidak memaksa untuk segera bergerak. Duduk saja dulu di bangku ini, Bu. Selonjorkan kakinya. Meluruskan kaki itu bisa membuat peredaran darahnya lancar kembali. Kalau sudah tidak kesemutan baru ibu bisa jalan lagi," sar
"Nah ini dia akhirnya kamu datang juga. Mama pikir kamu nggak kembali dan pergi bersama lelaki itu!" Rupanya kebiasaan baru ibu mertua marisa itu adalah mengomeli orang yang baru datang. Terbukti sekarang ini untuk kedua kalinya Marisa yang baru membuka pintu kamar VVIP sudah disambut suara nyinyir Bu Santi. "Lelaki, Ma?" Marisa bertanya dengan ekspresi bingung. Mungkinkah ibu mertuanya itu melihat dia sedang mengobrol bersama Dokter Harun? Agar tidak terjadi salah paham. Marisa buru-buru menjelaskan, "Tadi itu Dokter Harun membantu Marisa yang hampir jatuh, Ma. Beliau juga melarang Marisa segera kembali ke kamar karena masih limbung. Setelah Marisa agak enakan baru Dokter Harun mengizinkan Marisa pergi." "Yang bilang lelaki itu Dokter Harun siapa?" tanya Bu Santi dengan kesal."Loh terus siapa, Ma? Hanya Dokter Harun lelaki yang Marisa temui setelah Salat Magrib berjamaah tadi. Itu pun tidak sengaja." "Kamu bicara jujur? Memangnya dia gak hubungi kamu?" Bu Santi menatap Marisa d
"Nomor tidak dikenal. Siapa sih? Kenapa menelepon malam-malam begini?" gumam Bu Santi sambil menatap layar handphone-nya yang berisi sederet angka yang tidak dia kenal."Angkat ajalah, Ma. Barangkali kenalan Mama yang nomor barunya belum Mama save," perintah Pak Hartawan. Bu Santi mengangguk lalu menggeser layar ke tombol hijau untuk menerima panggilan. "Halo siapa ini ya?" Tangan Bu Santi menjauhkan ponselnya dari telinga lalu memutuskan sambungan telepon. "Ini orang siapa, sih, kok cuma menjerit terus menangis bikin sakit telinga aja!" gumamnya dengan jengkel."Siapa, Ma?" tanya Pak Hartawan dengan penasaran. "Enggak tahu, Pa. Cuma nangis aja. Jadi Mama matikan aja teleponnya," jawab Bu Santi sambil memasukkan kembali ponsel berlogo apel tergigit itu ke dalam tas branded kesayangannya. "Wah jangan-jangan orang yang mau nipu. Biasanya para penipu itu kan modusnya begitu. Mereka telpon terus nangis-nangis bilang lagi di rumah sakit atau kantor polisi terus minta transfer. Nominal