"Maaf apa saya mengganggu?" tanya Dokter Harun. Dia bersama dua orang perawat masuk ketika Bu Santi memarahi Marisa dan menuduhnya mandul. Marisa yang terlalu kaget dengan tuduhan itu. Dia juga bingung dengan masuknya orang lain ke ruang rawat inap suaminya secara tiba-tiba. Membuat Marisa tidak bisa segera membantah tuduhan ibu mertuanya. Selama beberapa saat suasana masih canggung jadi Dokter Harun kembali bertanya, "Apa saya mengganggu? Apakah saya perlu kembali lagi nanti?" Pak Hartawan yang tersadar lebih dahulu segera menjawab, "O tidak, Dok. Silakan kalau mau memeriksa anak saya. Ka-kami hanya sedang berdiskusi saja." "Baiklah kalau begitu," jawab Dokter Harun sambil matanya menatap bergantian antara Marisa dan Bu Santi. Keduanya sama-sama terdiam tetapi dengan ekspresi yang berbeda. Bu Santi dengan mata menatap nanar menantunya dan Marisa dengan wajah memerah seperti menahan malu. Dokter Harun melangkah mendekati kasur Irawan dan berkata, "Suster, tolong rekam medik pas
"Anda tidak apa-apa Bu Marisa?" Suara berat dan dalam itu terdengar dari balik punggung Marisa. Tanpa menoleh pun perempuan berusia 28 tahun ini mengenali pemilik suara tersebut."Sa-saya tidak apa-apa kok, Dok," sahut Marisa dengan canggung. Masih dia ingat tatapan dokter itu kepadanya beberapa jam lalu. Tatapan prihatin yang membuatnya malu dan tidak berani balas menatapnya. "Alhamdulillah kalau begitu," jawab Dokter Harun yang segera melepas pegangan tangannya di bahu istri salah seorang pasiennya. Tadi dia tak sengaja melihat Marisa berdiri dengan kaki gemetar. Tubuhnya limbung sehingga dia segera berlari menahannya dari belakang agar perempuan itu tidak terjatuh. "Ibu sepertinya sedang kesemutan. Mungkinn karena terlalu lama duduk bersila tadi. Lebih baik ibu tidak memaksa untuk segera bergerak. Duduk saja dulu di bangku ini, Bu. Selonjorkan kakinya. Meluruskan kaki itu bisa membuat peredaran darahnya lancar kembali. Kalau sudah tidak kesemutan baru ibu bisa jalan lagi," sar
"Nah ini dia akhirnya kamu datang juga. Mama pikir kamu nggak kembali dan pergi bersama lelaki itu!" Rupanya kebiasaan baru ibu mertua marisa itu adalah mengomeli orang yang baru datang. Terbukti sekarang ini untuk kedua kalinya Marisa yang baru membuka pintu kamar VVIP sudah disambut suara nyinyir Bu Santi. "Lelaki, Ma?" Marisa bertanya dengan ekspresi bingung. Mungkinkah ibu mertuanya itu melihat dia sedang mengobrol bersama Dokter Harun? Agar tidak terjadi salah paham. Marisa buru-buru menjelaskan, "Tadi itu Dokter Harun membantu Marisa yang hampir jatuh, Ma. Beliau juga melarang Marisa segera kembali ke kamar karena masih limbung. Setelah Marisa agak enakan baru Dokter Harun mengizinkan Marisa pergi." "Yang bilang lelaki itu Dokter Harun siapa?" tanya Bu Santi dengan kesal."Loh terus siapa, Ma? Hanya Dokter Harun lelaki yang Marisa temui setelah Salat Magrib berjamaah tadi. Itu pun tidak sengaja." "Kamu bicara jujur? Memangnya dia gak hubungi kamu?" Bu Santi menatap Marisa d
"Nomor tidak dikenal. Siapa sih? Kenapa menelepon malam-malam begini?" gumam Bu Santi sambil menatap layar handphone-nya yang berisi sederet angka yang tidak dia kenal."Angkat ajalah, Ma. Barangkali kenalan Mama yang nomor barunya belum Mama save," perintah Pak Hartawan. Bu Santi mengangguk lalu menggeser layar ke tombol hijau untuk menerima panggilan. "Halo siapa ini ya?" Tangan Bu Santi menjauhkan ponselnya dari telinga lalu memutuskan sambungan telepon. "Ini orang siapa, sih, kok cuma menjerit terus menangis bikin sakit telinga aja!" gumamnya dengan jengkel."Siapa, Ma?" tanya Pak Hartawan dengan penasaran. "Enggak tahu, Pa. Cuma nangis aja. Jadi Mama matikan aja teleponnya," jawab Bu Santi sambil memasukkan kembali ponsel berlogo apel tergigit itu ke dalam tas branded kesayangannya. "Wah jangan-jangan orang yang mau nipu. Biasanya para penipu itu kan modusnya begitu. Mereka telpon terus nangis-nangis bilang lagi di rumah sakit atau kantor polisi terus minta transfer. Nominal
"Maaf Anda siapa, ya?" tanya Marisa. Dia mengamati penampilan perempuan itu yang tampak seksi dengan baju ala cheongsam yang ketat membungkus tubuhnya. Perempuan itu mengabaikan pertanyaan Marisa dan balik bertanya. "Apa ini benar ruangan tempat Mas Irawan dirawat?"Marisa tidak segera menjawab pertanyaan itu. Dia menatap tajam perempuan yang berpenampilan kurang pantas saat berkunjung ke rumah sakit itu. Lantas dia mengalihkan perhatian kepada ponselnya yang masih terhubung dengan sepupunya. "Mas Rian nanti Risa hubungi lagi, ya," ucap Marisa. Dia terdiam beberapa saat untuk mendengar jawaban sepupunya itu. "Ada tamu, Mas. Tapi aku nggak kenal siapa, ditanya namanya malah diam saja." Marisa kembali terdiam dan mendengarkan ucapan sepupunya di telepon. "Iya Risa tahu. Pasti dong aku nggak bakal biarin orang nipu aku. Ya sudah, Mas nanti aku hubungi lagi setelah urusanku selesai, ya." Selama Marisa berbicara dengan sepupunya, mata hazelnya terus menatap tajam tamu yang berdiri di a
"Sudah saya bilang Mbak nggak boleh masuk!" cegah Marisa yang melihat Clara memaksa masuk."Tidak bisa! Saya harus masuk karena saya mau minta tanggung jawab!" jerit Clara. "Tanggung jawab apa? Siapa yang mau Mbak minta untuk bertanggung jawab?" "Mas Irawan. Siapa lagi?" Marisa terdiam dia menatap perempuan bernama Clara yang terus memaksa untuk masuk. Meski merasa penasaran akan apa yang terjadi kepada Clara, tetapi Marisa masih enggan untuk mengizinkannya masuk. "Ayo minggir! Aku mau ketemu dengan Mas Irawan!" Clara kembali memaksa masuk. Dia tampak sangat marah karena keinginannya dihalangi sehingga lupa berbicara dengan anggun. Tidak lagi menyebut dirinya dengan saya tetapi aku. "Tidak! Mbak nggak boleh masuk! Sekarang sudah malam, waktunya kami beristirahat. Lagipula percuma juga ketemu, Mas Irawan tidak akan bisa mengerti apa yang akan Mbak katakan." "Mau mengerti atau tidak aku tidak peduli. Aku tetap mau masuk!" Clara kembali mendorong Mariss untuk minggir."Loh kok maks
"Tidak ada apa-apa kok, Mas. Risa hanya sedikit sedih," jawab Marisa sambil tersenyum. Dia berusaha menyembunyikan tangisnya agar Rian tidak curiga dan banyak bertanya."Tidak mungkin! Tidak apa-apa bagaimana. Wajah sepucat ini ditambah tangismu yang cukup keras hingga terdengar dari luar pasti bukan karena sesuatu yang remeh," tebak Rian dengan tepat. Marisa menunduk. Memang sulit untuk menipu kakak sepupunya ini. Rian sudah terlalu hafal dengan sifat dan tindak tanduk Marisa."Ayo cerita kamu kenapa? Apa ini ada hubungannya dengan tamu yang tadi kamu ceritakan?" desak Rian. Alis Marisa terangkat. Dia sedikit tak percaya kakak sepupunya itu bisa menghubungkan kesedihannya dengan tamu yang tadi datang. Marisa membisu dan hanya menatap lekat Rian. Dia bingung harus bercerita apa kepada kakak sepupunya ini."Kenapa? Aku benar, kan? Feelingku tadi kamu berbicara di telepon untuk menyindirnya. Memangnya orang yang tadi datang ke sini itu siapa? Dia bawa kabar apa sampai kamu menangis se
"Apa? Perempuan itu sudah kenal kedua mertuamu? Kok bisa?" Mata Rian terbelalak. Dia menatap Marisa sambil menggeleng berulangkali. "Aku juga belum tahu kok bisa begitu, Mas. Aku sendiri baru melihatnya tadi. Dia pun juga baru tahu kalau aku istri Mas Irawan," terang Marisa. "Terus bagaimana kamu tahu kalau dia kenal dengan kedua mertua kamu?" Rian menatap lekat Marisa dengan pandangan bertanya-tanya."Jadi, tadi kami saling adu mulut. Dia terus menerus mendesakku meminta masuk untuk menuntut Mas Irawan bertanggung jawab. Sementara aku tidak mengizinkannya melewati pintu. Saat itu dia beberapa kali menyebut nama Mama dan Papa. Katanya akan mengadukan aku kepada mereka berdua." Rian melongo mendengar cerita Marisa, "Terus bagaimana?""Akhirnya aku menyuruh dia untuk datang besok sore. Biasanya kedua orang tua Mas Irawan datang sepulang kantor untuk menjenguk anaknya. Jadi dia bisa menemui kedua mertuaku itu. Walaupun seandainya besok aku belum pulang mengajar, dia bisa langsung bi