Nah loh ... tanggung jawab apa, nih? Yuk ikutin terus cerita ini, ya. Jangan lupa beri bintang lima, ulasan, vote dan gem. Terima kasih 🥰🥰🥰
"Sudah saya bilang Mbak nggak boleh masuk!" cegah Marisa yang melihat Clara memaksa masuk."Tidak bisa! Saya harus masuk karena saya mau minta tanggung jawab!" jerit Clara. "Tanggung jawab apa? Siapa yang mau Mbak minta untuk bertanggung jawab?" "Mas Irawan. Siapa lagi?" Marisa terdiam dia menatap perempuan bernama Clara yang terus memaksa untuk masuk. Meski merasa penasaran akan apa yang terjadi kepada Clara, tetapi Marisa masih enggan untuk mengizinkannya masuk. "Ayo minggir! Aku mau ketemu dengan Mas Irawan!" Clara kembali memaksa masuk. Dia tampak sangat marah karena keinginannya dihalangi sehingga lupa berbicara dengan anggun. Tidak lagi menyebut dirinya dengan saya tetapi aku. "Tidak! Mbak nggak boleh masuk! Sekarang sudah malam, waktunya kami beristirahat. Lagipula percuma juga ketemu, Mas Irawan tidak akan bisa mengerti apa yang akan Mbak katakan." "Mau mengerti atau tidak aku tidak peduli. Aku tetap mau masuk!" Clara kembali mendorong Mariss untuk minggir."Loh kok maks
"Tidak ada apa-apa kok, Mas. Risa hanya sedikit sedih," jawab Marisa sambil tersenyum. Dia berusaha menyembunyikan tangisnya agar Rian tidak curiga dan banyak bertanya."Tidak mungkin! Tidak apa-apa bagaimana. Wajah sepucat ini ditambah tangismu yang cukup keras hingga terdengar dari luar pasti bukan karena sesuatu yang remeh," tebak Rian dengan tepat. Marisa menunduk. Memang sulit untuk menipu kakak sepupunya ini. Rian sudah terlalu hafal dengan sifat dan tindak tanduk Marisa."Ayo cerita kamu kenapa? Apa ini ada hubungannya dengan tamu yang tadi kamu ceritakan?" desak Rian. Alis Marisa terangkat. Dia sedikit tak percaya kakak sepupunya itu bisa menghubungkan kesedihannya dengan tamu yang tadi datang. Marisa membisu dan hanya menatap lekat Rian. Dia bingung harus bercerita apa kepada kakak sepupunya ini."Kenapa? Aku benar, kan? Feelingku tadi kamu berbicara di telepon untuk menyindirnya. Memangnya orang yang tadi datang ke sini itu siapa? Dia bawa kabar apa sampai kamu menangis se
"Apa? Perempuan itu sudah kenal kedua mertuamu? Kok bisa?" Mata Rian terbelalak. Dia menatap Marisa sambil menggeleng berulangkali. "Aku juga belum tahu kok bisa begitu, Mas. Aku sendiri baru melihatnya tadi. Dia pun juga baru tahu kalau aku istri Mas Irawan," terang Marisa. "Terus bagaimana kamu tahu kalau dia kenal dengan kedua mertua kamu?" Rian menatap lekat Marisa dengan pandangan bertanya-tanya."Jadi, tadi kami saling adu mulut. Dia terus menerus mendesakku meminta masuk untuk menuntut Mas Irawan bertanggung jawab. Sementara aku tidak mengizinkannya melewati pintu. Saat itu dia beberapa kali menyebut nama Mama dan Papa. Katanya akan mengadukan aku kepada mereka berdua." Rian melongo mendengar cerita Marisa, "Terus bagaimana?""Akhirnya aku menyuruh dia untuk datang besok sore. Biasanya kedua orang tua Mas Irawan datang sepulang kantor untuk menjenguk anaknya. Jadi dia bisa menemui kedua mertuaku itu. Walaupun seandainya besok aku belum pulang mengajar, dia bisa langsung bi
"Apa aku perlu menghubungi kedua mertuaku dan menceritakan kejadian tadi? Aku khawatir juga kalau kedatangan Clara yang tiba-tiba membuat Papa dan Mama syok," gumam Marisa sambil menimang handphone-nya.Marisa tengadah dan melihat jam dinding. "Sudah hampir pukul sepuluh malam. Rasanya nggak pantas kalau aku telepon atau chat W* sekarang. Lebih baik aku tunda. Besok saja aku hubungi Papa atau Mama." Marisa menyimpan kembali ponselnya. "Sekarang aku mending istirahat aja. Badanku rasanya pegal semua. Belum lagi emosi yang dibuat naik turun hari ini. Bikin mental juga nggak stabil. Hari ini benar-benar ujian bagi fisik dan psikis aku," gumam Marisa lalu menghembuskan nafas lelah. Marisa kemudian mulai merebahkan tubuhnya.Keesokan harinya kesibukannya di sekolah membuat Marisa melupakan niatnya untuk menghubungi mertuanya. Dia baru teringat ketika waktu menunjukkan hampir pukul tiga sore. Marisa segera mengambil ponselnya dan menghubungi Pak Hartawan. Marisa menceritakan secara singk
"Papa dan Mama mengenalnya?" Clara menoleh mendengar pertanyaan Marisa. Dia menatap Marisa dengan pandangan meremehkan. Bibirnya menyunggingkan senyum kemenangan. "Tentu saja kami mengenal Clara. Dia adalah menantu pilihan Mama," sahut Bu Santi dengan sengit Marisa terbelalak mendengar jawaban ibu mertuanya. Dia terpaku dan kehilangan kata-kata. "Ma!" tegur Pak Hartawan."Apaan, sih, Pa. Emang benar kan kata-kata Mama. Dari awal Clara itu calon menantu pilihan Mama. Kalau saja waktu itu Papa nggak menyodorkan dia. Terus Papa juga nggak mendesak Irawan untuk menikahinya sudah pasti Clara lah yang akan menjadi istri anak kita." Bu Santi membantah ucapan suaminya sambil melirik Marisa dengan sinis. Tubuh Marisa gemetar mendengar kata-kata ibu mertuanya. Hatinya jadi bertanya-tanya "Apa itu artinya Mas Irawan terpaksa menikahiku? Apa karena dia tidak sungguh-sungguh mencintaiku maka dia mudah sekali berselingkuh?" Tubuh Marisa luruh bagaikan tanpa tulang dan hanya Pak Hartawan y
"Tidak. Kamu mungkin saja benar-benar hamil, tapi itu bukan anak Mas Irawan. Karena sebenarnya Mas Irawan itu mandul!" Marisa menatap sinis perempuan yang baru saja berteriak histeris itu."Apa?" seru ketiga orang yang duduk di depan Marisa. "Ya benar. Papa, Mama, dan kamu tidak salah dengar. Mas Irawan sudah divonis mandul oleh dokter." "Ti-tidak … tidak mungkin," jerit Bu Santi yang terlebih dulu sadar dari kekagetannya. "Tidak mungkin apa, Ma?" tanya Marisa."Tidak mungkin Irawan mandul. Kamu pasti berbohong," tuduh Bu Santi. "Buat apa Marisa bohong, Ma? Kenyataannya memang seperti itu. Awalnya Marisa pun tidak percaya tapi buktinya jelas jadi mau tidak mau ya harus mau percaya," papar Marisa."Buat apa katamu? Ya jelas buat menghalangi Clara. Kamu iri sama Clara, kan? Makanya kamu mengarang cerita Mas Irawan mandul biar Clara tidak bisa minta tanggung jawab kepada keluarganya," sergah Clara. "Iri? Kenapa aku harus iri. Aku bisa saja hamil kalau Mas Irawan tidak mandul," ba
"Saya minta kamu melakukan tes DNA! Saya tidak ingin kamu menipu kedua mertua saya ini!" kata Marisa dengan tegas.Marisa menatap Clara dengan tajam dan membuat perempuan itu salah tingkah. Mata Marisa melihat bagaimana wajah model itu berubah menjadi gugup dan tampak ketakutan. Hal itu membuatnya semakin yakin bahwa Clara memang berniat tidak baik kepada keluarganya. "Ya aku akan jalani tes DNA … nanti kalau anakku sudah lahir," jawab Clara dengan ketus. "Kenapa harus nanti? Kenapa tidak sekarang? Kalau kamu melakukan tes DNA-nya nanti berarti biaya hidup juga akan kamu terima nanti saja." Marisa tersenyum sinis melihat wajah Clara terkejut dan berubah menjadi pucat. "Loh ya nggak bisa gitu. Kan aku hamilnya sekarang. Kebutuhan bayinya Mas Irawan gimana kalau biaya hidupnya baru bisa aku dapat nanti." "Iya kamu nih aneh-aneh aja, Risa. Lagipula kamu ngapain pakai acara ngatur-ngatur segala. Itu kan uang Papa bukan uang kamu yang bakal dikasih ke Clara," sahut Bu Santi sinis. Mari
"Iya betul, Pa. Bisa kok dilakukan sekarang. Marisa sudah konfirmasi ke dokter spesialis kandungan langganan Risa. Kalau Mbak Clara mau, saya bisa temani." "Tidak usah. Aku bisa sendiri," tolak Clara. Dia mendelik kepada Marisa yang dianggapnya terlalu ikut campur. "Bagus kalau begitu. Jadi kapan Mbak Clara mau tes DNA?" "Secepatnya!" "Secepatnya itu kapan? Ingat Mbak, keluarga ini butuh bukti kalau Mbak benar-benar mengandung anak dari Mas Irawan." Clara menatap nyalang Marisa. Tangannya yang mencekram di samping tubuhnya seolah-olah ingin mencakar Marisa. Matanya yang melotot juga seakan-akan ingin menelan Marisa bulat-bulat. Model cantik itu merasa Marisa sudah menghalangi keinginannya. "Ya secepatnya! Nanti aku yang akan hubungi." Clara berkata dengan ketus."Tante Santi nanti Clara hubungi lagi, ya. Sekarang Clara mau pemotretan lagi."Tanpa berpamitan kepada Pak Hartawan dan Marisa. Model cantik berusia sekitar pertengahan dua puluhan itu berderap meninggalkan ruang VVIP. U