Sementara itu, di sebuah rumah sederhana, seorang wanita dengan badan subur tampak berkali-kali mengintip dari celah jendela. Entah kenapa, malam ini dia begitu cemas. Sejak tadi dia merasa ada yang mengawasi gerak-geriknya."Si Bapak ini kemana toh? kok yaa lama sekali mancing di sungai!? lama-lama kusuruh ngawinin ikan sekalian, biar ndak usah pulang!" omel Bu Rustam dengan mulut mengerucut.Sesekali, wanita berisi itu tampak mengusap tengkuknya yang meremang. Udara sekitar terasa berbeda, dingin dan mencekam. Terlebih burung hantu sejak tadi tak mau berhenti berbunyi, membuat suasana semakin seram saja."Kenapa aku jadi was-was gini yo? mana Bapak ndak pulang-pulang. Wis lah, mending aku tidur saja duluan, toh pintu depan ndak aku kunci," gumamnya.Bu Rustam berjalan masuk ke kamarnya. Dia naik ke atas amben kayu, lalu merebahkan diri disana. Wanita itu tidur terlentang, dia menutupi hampir seluruh tubuhnya dengan selimut.Baru saja akan memasuki alam mimpi, hawa dingin menerpa waj
Beberapa hari kemudian."Kalian tau ndak? Juragan Kohar sakit keras, itunya membusuk! Bahkan dia wis mencoba pengobatan terbaik, tapi ndak ketemu sebabnya. Sakitnya juga makin parah," ujar seorang wanita yang sedang istirahat setelah tandur padi di sawah."Iyo lho, Yu! aku juga baru dengar dari Painah, pembantu di rumahnya. Istri ketiganya wis minggat karena jijik, ndak tau gimana istri pertama dan keduanya." Ibu-ibu yang lain menimpali."Kasihan, opo karena sering main perempuan yo? makanya jadi kena penyakit aneh," ujar Bu Sumi."Hah, soal itu sih wis jadi rahasia umum di desa kita ini, Yu. Makanya kalau ndak mau anak gadis atau istri dicicip Juragan Kohar, jangan sampai pinjem uang ke dia. Kalau telat bayar, ngeri!" timpal Bu Yati.Sumi menyahuti, "Ho'oh, harga diri dan kehormatan sing jadi taruhannya, amit-amit. Aku sebutuh-butuhnya mending ndak makan daripada harus pinjam ke dia.""Tapi bukan cuma Juragan Kohar yang sakit aneh sekarang. Bu Rustam juga, ndak bisa ngomong dia. Bebe
Kartasakti duduk di teras rumah. Dia menatap langit malam bertabur bintang. Indah, bagai senyum teduh Rukmini, Ibunya."Mbok, apa sampean melihat aku yang kesepian ini dari atas sana?" gumamnya dengan tangan terangkat seolah ingin menyentuh langit."Itu ndak tergapai, Kang! Jauh," ujar Maryati yang entah sejak kapan duduk di samping Kartasakti."Oh! hm, aku tau itu." Kartasakti menyahut singkat."Kalau sudah tau, kenapa mau gapai langit?" cecar Maryati.Kartasakti kembali menatap langit lalu menyahut, "Aku cuma merindukan Emakku. Mungkinkah dia melihatku dari atas sana?"Maryati ikut menatap langit. "Entahlah, mungkin iya, bersama Ibuku," sahutnya."Omong-omong gimana keadaan Pak Tohir?" tanya Kartasakti.Maryati menghela napas panjang. "Belakangan ini Bapak sering batuk darah, tapi selalu berlaku seolah baik-baik saja. Dia sembunyikan sakitnya dariku," desah Marysti."Pak Tohir cuma ndak mau buat sampean sedih," timpal Kartasakti."Aku tau itu, Kang. Tapi ndak mungkin aku ndak sedih,
Bertahun-tahun berlalu, Kertawani tumbuh dengan baik di bawah pengasuhan Maryati. Sementara Kartasakti terlalu sibuk, semakin hari tamunya semakin banyak saja. Dia sudah sukses jadi dukun muda terkuat di desa.Dia disenangi oleh sesama hamba dunia, pecinta harta dan tahta. Namun, orang-orang desa justru merasa terancam pada akhirnya. Sebab, belakangan ini banyak sekali orang yang mati mendadak.Mereka semua khawatir, ini adalah ulah Kartasakti yang mencari tumbal. Terlebih lagi, sudah beberapa orang yang memberi kesaksian tentang wanita bermata merah yang menampakkan diri di depan rumah calon korban di malam hari.Keadaan desa di malam hari juga tak kalah aneh. Sudah beberapa bulan ini, desa selalu diselimuti kabut merah. Penyakit batuk parah hingga muntah darah sudah menyebar luas di desa. Anehnya orang yang sakit hanya akan sembuh jika berobat ke Kartasakti. Mereka jadi berpikir ini memang ulahnya."Kang, apa sampean sibuk?" tanya Maryati malam itu. Kartasakti yang sedang membelai b
Kertawani menggeliat pelan di atas amben panjang. Suara ramai membuatnya terjaga. Rupanya tempat yang dia pilih untuk melepas penat semalam adalah sebuah pasar tradisional."Sudah tau ndak ... kabarnya di desa Ledok lagi geger! dukun muda sing terkenal sakti mandraguna itu dibantai," ujar seseibu bernama Sri memulai gosip pagi."Ah sing bener, Sri? aku ndak tau tuh," tanya Inah."Lho beneran, bojoku kan semalam kesana nengokin Pak Leknya yang sakit keras. Ternyata sakitnya itu juga katanya karena ulah si dukun yang nyari tumbal," sahut Sri meyakinkan."Maksudmu piye? tumbalnya ambil dari warga desa Ledok begitu?" Painem, si pedagang kembang ikut bertanya."Ho'oh, kabarnya sih begitu. Makanya, dia dan istrinya benar-benar disiksa habis-habisan semalam. Babak belur karena dipukuli, dicambuk juga." Sri memberi keterangan."Terus piye?" tanya Sutija penasaran."Kata suamiku, terakhir Ki Kartasakti dan Istrinya itu, uhm ...," ujar Sri tagu."Kenapa? Ono opo?" desak Inah tak sabaran."Ki Ka
"Ngik! Ngik! Uhuk uhuk! opo iki!? aduh, dadaku kok sesak yo!?" Mamat tampak terbatuk-batuk sambil memukul-mukul dadanya."Uhuk uhuk! asap opo iki?" tanya Astri."Ndak tau! argh sesak!" sahut Mamat.Perempuan 28 tahun itu turun dari amben dengan gemetar. Kekurangan oksigen membuatnya melemas. Dia amati sekeliling kamar yang dipenuhi kabut merah. "Ini bukan asap, Mas! Ini kabut merah! Ah, coba sampean cek Ragil di kamarnya, Mas!" pinta Astri pada suaminya.Mamat berjalan dengan gontai menuju kamar belakang. Di kamar itu Ragil, bocah 9 tahun itu lelap sendirian. Mamat terhenyak melihat Ragil sudah tergeletak di bawah. Wajahnya pucat, napasnya pelan."Gusti! Ragil, Nak!!" panggil Mamat panik. Lelaki 33 tahun itu menghambur masuk. Dia raih putranya ke dalam gendongannya. Dia paksa kakinya yang lemas untuk melangkah keluar."Dek! Ragil ndak sadar! ayo keluar, kita cari bantuan!" teriak Mamat dari ambang pintu.Astri yang terkejut bergegas menyusul suaminya keluar. Namun langkahnya terhent
Di tengah kepanikan dan suasana ricuh, Markus menyeret tubuhnya dengan satu tangan. Dia tak peduli meski kaosnya kotor dengan darah bercampur tanah. Dia hanya ingin menyelamatkan diri.Deg deg deg deg!Suara detak jantung Markus begitu kencang. Dia bahkan bisa mendengarnya dengan jelas. Rasa remuk dan nyeri yang merajai diri tak dia pedulikan kali ini. Markus belum ingin mati sekarang."Datanglah kalian semua! Disini ada pesta, ramaikanlah! hhahaha!" Nyai Larapati dengan wajah mode seramnya tersenyum jahat. Urat-urat halus kebiruan menyembul jelas di wajahnya. Berbagai sosok lelembut dengan rupa menyeramkan satu persatu muncul dalam gelap. Suara tangis, tawa, geraman berbaur jadi satu. Suasana kian mencekam saja, di antara banyaknya orang kesurupan, mereka yang masih sadar memilih kabur."Mau kemana kau?" desis Mawar yang ternyata sudah berdiri angkuh menghadang tepat di depan Markus."A-aku ... ampun, Mawar! biarkan aku hidup, aku menyesal ... aku ndak berniat menghabisimu, malam it
Jenazah para korban semalam termasuk Markus sudah dimakamkan bersamaan. Langit mendung, nampaknya siang ini akan turun hujan begitu deras. Pak Bagyo yang baru datang dari rumah sakit dan mendengar kabar tak mengenakkan dari warganya.Mendadak, Pak Bagyo merasa menyesal karena pulang. Saat itu juga, dia langsung berkemas. Dia bersiap mengajak keluarganya pergi ke rumah kerabatnya di luar kota sana."Ndak bisa! kita harus segera pergi dari desa terkutuk ini!" ujar Kardi yang baru saja pulang dari pemakaman."Tapi nang ndi, Lek? (mau kemana?)" tanya Indana."Kemana saja, ndak apa meski harus jadi gelandangan asalkan jantung dan nyawa aman! disini ini wis benar-benar ndak aman, bahaya!" Kardi menyahut dengan raut muka serius."Lihat sendiri gimana mereka kesurupan sampai bakar diri? belum lagi soal Markus yang tangannya putus terus ujungnya mati gosong. Hiiy, serem banget!" bisik Mbak Yati sambil mengusap tengkuknya.Bu Mai yang sejak tadi diam ikut menimpali. "Iyo, Mawar benar-benar mena